Moji Cita-Citaku

anak kecil memakai pakaian moji

SETINGGI apakah cita-cita yang Anda miliki? Jika pertanyaan itu diajukan kepada anak kecil, mungkin saja mereka akan menjawab dokter, polisi, tentara, astronot, ataupun pramugari. Inilah jawaban standar atas sebuah cita-cita. Namun, pernahkah anda mendengar cita-cita seorang anak kecil menjadi ulama tradisional di kampung?

Setahun silam, saya menyaksikan pawai anak-anak kecil di Baubau, Sultra. Anak-anak itu berpakaian sesuai dengan cita-citanya. Ada yang berpakaian dokter, namun ada pula yang berpakaian seperti tentara. Di tengah kerumunan itu, saya menyaksikan seorang anak berpakaian ala moji atau pemuka agama di era Kesultanan Buton. Pada masa kesultanan, para moji memegang peranan penting untuk meletakkan landasan nilai, memberikan rekomendasi kepada sultan, sekaligus tempat bertanya menyangkut urusan keagamaan. Anak itu memakai jubah, kampurui (sejenis ikat kepala), dan memegang tongkat. Anak itu berjalan dengan anggun dengan memegang tongkat ala seorang moji yang sudah sepuh. Ia penuh percaya diri. 

Saya bertanya pada gurunya, apakah ini adalah cita-cita sang anak? Sang guru mengangguk. Mungkin sang guru belum mengecek, jangan-jangan ini adalah cita-cita si orang tua. Saya melihatnya secara positif. Jika anak ini memang bercita-cita sebagai moji, maka ia akan menyandang tugas mulia untuk membina akhlak dan karakter msyarakat. Ia akan menunjukkan jalan terang kepada banyak orang, sesuai dnegan kearifan lokal tradisional yang dianutnya.

Saya mendoakan cita-citanya terpenuhi. Tapi seorang teman berbisik, "Ah, ini bukan cita-citanya. Dia hanya pengen ikut arak-arakan. Dan memakai busana moji terbilang unik di acara pawai semacam itu." Ah, masak sih? 

0 komentar:

Posting Komentar