Lucunya Gerakan Buruh Negeri Ini

BULAN Mei memiliki penanda unik. Kota-kota besar akan dilanda kemacetan. Kaum buruh tiba-tiba saja menghambur ke jalan untuk menyatakan sikap politiknya. Sekian puluh tahun reformasi berjalan di negeri ini, kaum buruh tetap merasa termarginalkan. Setiap tahun mereka mengulang ritual yang sama: demonstrasi di jalan-jalan, tanpa upaya refleksi mengapa tuntutan sejak tahun 1998 itu tidak terkabulkan.

Mungkin ada yang salah dengan gerakan buruh di negeri ini. Gerakan itu terlampau elitis sebab sarat wacana pergerakan yang hanya dipahami para pemimpin buruh. Di luar negeri, gerakan buruh amat menakutkan. Tapi di sini, siapa sih yang sadar kalau dirinya adalah buruh? Di sini, kosa kata buruh identik dengan mereka yang mengangkat beban di pasar-pasar ataupun di pelabuhan. Buruh hanya identik dengan pekerja pabrik. Sementara mereka yang jadi staf personalia atau staf ahli di perusahaan besar tidak pernah menyadari keberadanannya sebagai buruh.

Masalah lain mendera karena mereka yang menyebut diri pemimpin buruh itu ikut pula melestarikan ketidaktahuan para buruh, lalu memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Mereka mengangkangi gerakan buruh untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Mereka mudah menjilat ludah atas nama pergerakan. Bukan rahasia lagi jika banyak pemimpin buruh yang kini jadi staf ahli di kementrian atau lembaga pemerintahan. Mereka ikut mereproduksi ketidakseimbangan yang melestarikan penindasan atas buruh.

Jika setiap tahun kita melihat demonstrasi buruh, maka kita sedang melihat lagu lama yang dipentaskan terus-menerus. Kita tidak sedang melihat buruh yang bergolak. Kita melihat rombongan yang dipimpin elite yang kemudian mengklaim kekuatan tersebut lalu 'menjual' pada pejabat pemerintah. Kita melihat parade kekuatan yang mengatasnamakan buruh, namun terselip sejumlah kepentingan politik yang ujung-ujungnya adalah mengisi perut dan memperkaya diri. Melihat buruh berdemo, kita melihat sebuah karikatur tentang masyarakat negeri ini: berpanas-panas tanpa tahu apa yang mau dituntut, setelah itu bubar, dan mengambil jatah nasi bungkus. Kita melihat ironi, paradoks, yang kemudian dimanfaatkan dengan kejam oleh para elite buruh.

Bisakah kita berharap pada gerakan seperti ini? Entah apakah ada keseriusan dan keikhlasan untuk membela yang lemah di situ. Kok saya jadi amat pesimis?

0 komentar:

Posting Komentar