Balla Lompoa yang Kehilangan Getar

KEMARIN, Istana Balla Lompoa dikosongkan. Mereka –para keluarga raja—yang menghuni istana itu dipaksa pindah. Mereka harus mengosongkan rumah bersejarah sebab pemerintah kabupaten akan menggelar hajatan Festival Keraton Nusantara (FKN) yang akan mempertemukan seluruh keraton di nusantara. Sebuah rumah yang dulunya menjadi sentrum gravitasi kesultanan, titik pusat kharisma pemerintahan, sekarang menjadi rumah kayu biasa yang tanpa pengaruh sama sekali.

Sebuah rumah, tempat di mana segala hal dipertaruhkan termasuk nyawa manusia, kini menjadi sepi dan tontonan banyak orang. Ada sorak-sorai membahana, sekaligus rasa miris menyaksikan rumah itu dipreteli dan para penghuninya dipaksa hengkang. Para keluarga raja yang menghuni rumah itu merasa berhak tinggal dan menjalani hari. Namun, pemerintah juga punya dalih dan klaim atas nama undang-undang dan tanggungjawab memangku negeri di era modern ini. Apa boleh buat. Suara para turunan raja itu menjadi suara yang lirih dan nyaris tak terdengar dalam gerak zaman hai ini. Suara mereka tak lagi menggetarkan. Gelar karaeng itu sudah diturunkan derajatnya. Seolah suara masa silam yang tanpa wibawa dan pengaruh.

Saya melihat ada beberapa isu penting yang menarik untuk ditelaah. Pertama, barangkali inilah zaman di mana segala yang tradisional seakan digerus dan menjadi monumen nostalgia semata. Berbagai gelar dan atribut masa silam adalah lagu lama yang usang diperdengarkan di masa kini. Kita, generasi masa kini, adaah generasi tanpa romantisme, generasi tanpa sejarah yang melihat masa silam tidak lebih dari episode kegemilangan dalam rentang peradaban manusia. Kita tidak pernah berpikir bahwa masa silam bisa hadir dan menyapa kita hari ini melalui sejumlah cerita yang kelak memperkaya ziarah kemanusiaan kita hari ini. Masa silam hanya menjadi seonggok cerita lama, tanpa keinginan menyerap mutiara hikmah yang membuat langkah kita lebih rentang ke depan. Maka zaman kita hari ini adalah zaman tanpa visi yang merentang jauh, yang digali dari telaah atas situasi kelampauan, melihat realitas kekinian dan memandang keakanan. Kita generasi yang terombang-ambing dalam laut sejarah, tanpa peta dan pelampung yang bisa menjadi mercu suar bagi zaman kita hari ini.

Kedua, transformasi dari tatanan tradisional ke tatanan yang modern tidaklah diantisipasi oleh mereka yang menghuni istana kerajaan. Mereka seakan membeku dalam waktu. Mereka seakan hidup dalam zaman yang statis dan tidak mampu mengarahkan bahtera kesultanan pada zaman yang lebih modern dan lebih adaptif. Sejarawan Arnold Toynbee punya teori tentang dinamika challenge and response. Sebuah peradaban akan selalu berhadapan dengan tantangan (challenge) dan mereka harus menyediakan jawaban-jawaban (response) yang sifatnya kreatif demi menjaga tegaknya peradaban. Ketika sebuah kebudayaan atau peradaban gagal menghadirkan jawaban kreatif atas tantangan yang dihadapinya, maka kebudayaan itu akan tenggelam dalam arus sejarah dan hanya menyisakan sebuah nama saja untuk dikenang atau ditelusuri jejaknya. Toynbee menunjuk beberapa peradaban seperti Mesir atau Sumeria yang tenggelam dan berakhir gerak sejarahnya.

Saya menilai Gowa dan sebagian besar kerajaan di Indonesia timur, kehilangan jawaban kreatif atas situasi zamannya. Tatkala modernisasi menggempur dan nilai lama mulai memudar, para keluarga raja itu hanya hidup dalam waktu yang seakan membeku. Tatkala Indonesia menggerus tatanan yang sudah berusia ratusan tahun, mereka tak berdaya dan dipreteli kuasanya. Mereka masih saja mengandalkan “kesaktian” atau kehebatan yang diwariskan secara genetic seolah seorang raja bisa menyihir rakyatnya menjadi monyet ketika membangkang. Mereka tidak memperkaya dirinya dengan pendidikan dan penguasaan akan sains yang menjadi lampu terang bagi peradaban modern. Mereka perlahan hidup dalam gelap dan mulai tak berdaya ketika hadir sejumlah elite baru yang menguasai sains sekaligus menaklukan peradaban.

Kita tak belajar dari Kekaisaran Jepang yang berhasil memasuki modernisasi, tanpa kehilangan identitas sebagai bangsa Jepang. Kekaisaran sukses melakukan transformasi dan memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan serta semangat modernitas yang menyala-nyala dalam jiwa bangsanya. Atau bangsa Kerajaan Thailand yang sukses membangun pusat riset dan pengembangan kesejahteraan rakyat. Raja Thailand adalah sosok yang dicintai setinggi langit, bukan karena karomah dan kesaktiannya, namun karena ikhtiarnya yang menyala-nyala demi menyejahterakan rakyatnya –yang sebagian besar berada di pedesaan.

Barangkali kita tak terkejut ketika menyaksikan olahragawan Thailand yang membawa foto rajanya di ajang olahraga sekelas Asian Games. Ada semangat kecintaan pada raja sebab sang raja tidak berdiri di menara gading, namun turun membumi dan menterjemahkan kuasanya menjadi berkah atau rahmat bagi umat.

Namun di jejak Kesultanan Gowa, apakah yang bisa kita saksikan? Sebuah miris dan mereka yang menjerit tak berdaya dan masih mengklaim dirinya sebagai penguasa masa silam yang memangku negeri dan berhak memutuskan hidup mati seseorang. Duh….


Makassar, 10 November 2008


0 komentar:

Posting Komentar