HARI ini, saya menyaksikan sebuah tayangan yang menggetarkan hati. Tiga terpidana bom Bali yaitu Amrozy, Mukhlas, dan Imam Samudera telah dieksekusi. Jenazah ketiganya dibawa ke rumah masing-masing dengan penuh pekik dan teriakan Allahu Akbar. Massa menyemut dan bergerak bagai air bah menemani jenazah ketiga sosok itu ke liang lahat. Alam seakan bersedih ketika mendung menebal dan rintik-rintik hujan turun tetes demi tetes.
Saya menyaksikan spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Syuhada.” Meskipun saya sendiri bertanya, apakah ada syuhada dalam keranda hijau yang berbalut kain dengan huruf Arab itu. Apakah ada jalan terang yang sedang membuka untuk jenazah itu? Sebuah jalan yang konon katanya sangat lempang dan hanya ditujukan buat mereka yang syahid demi keyakinannya.
Segudang pertanyaan berseliweran di benakku. Apakah Allah sedang tersenyum dan mengembangkan tangan untuk ketiga sosok itu? Apakah Allah menempatkan mereka pada titik terindah di surga-Nya? Apakah ketiga sosok itu akan disambut jerit marah dari arwah para korban bom yang masih geram karena tewas secara mengenaskan dan keluarganya harus menjalani hidup yang berat?
Menyaksikan kejadian itu melalui televisi, saya cukup lama tertegun. Pekik Allahu Akbar dan massa yang berduyun-duyun itu seakan menegaskan keyakinan publik bahwa Amrozy cs tewas dalam satu ritus ziarah spiritual yang agung demi menegakkan kalimat Allah. Walau pemerintah melabel mereka dengan teroris dan bukan jalan Islam, tetap tidak mengubah pandangan publik bahwa ketiganya mati di jalan kebenaran.
Fenomena yang saya saksikan ini memberikan isyarat bahwa ada pengkutuban yang cukup tegas dalam melihat fenomena Islam dan jalan kesyahidan. Nampaknya, dua kutub asumsi yaitu surga dan neraka telah menjadi asumsi yang paling umum dalam arus besar diskursus tentang matinya ketiga sosok itu. Saya teringat Levi Strauss yang punya teori tentang the deepest structure of mind. Kata Strauss, benak berpikir manusia dipenuhi logika berpasang-pasangan yang berhadapan. Manusia membangun dua kutub kategori yang berpasangan seperti kiri-kanan, baik-buruk, indah-tidak indah. Kategorisasi ini adalah fenomena yang universal dan berlaku pada semua manusia di manapun. Amrozy pun membangun dua kategori tersebut. Pernyataannya tentang hanya ada dua jalan yaitu jalan Islam dalam jalan kafir, adalah bentuk pandangan dunianya yang melihat realitas secara sederhana. Ia memilih jalan pada realitas yang sederhana itu.
Amrozy mewakili satu tafsir atau interpretasi ajaran. Sejak masa Rasulullah, persoalan tafsir ini tak pernah bisa tungal dan selalu saja berbeda. Sebuah tafsir dari Rasulullah, kemudian membiak dan berujung pada temali perbedaan yang rapuh. Fenomena Amrozy kian menunjukkan tafsir yang berbiak itu. Orang-orang kembali memperdebatkan apakah ketiganya diposisikan ke surga ataukah neraka. Pilihan pendapat orang menunjukkan posisinya dalam memandang religiusitas serta jalan spiritual. Namun, apakah jalan itu memang hanya dua? Apakah kita terpaksa memilih satu dari dua itu? Bisakah saya memilih tempat yang bukan surga dan bukan neraka? Mungkinkah , dunia pasca-kematian adalah sebuah dunia di mana pengkutuban itu menjadi serba kabur dan tidak jelas. Dan manusia bebas memilih hendak ke mana atau tak berdaya ketika Yang Maha Memilih telah menjatuhkan pilihan untuk kita.
Namun, terus larut dalam perdebatan isu ini bukanlah hal yang produktif. Itu hanya kegenitan berpikir manusia Islam hari ini. Religiusitas ibarat mengumpulkan bekal demi perjalanan jauh. Persoalan di mana posisi gerak Amrozy, itu adalah urusan Allah sendiri. Apakah berada di surga atau neraka, semuanya adalah kemurahan Allah. Neraka sekalipun –sepanjang itu adalah pilihan Allah—tetap menjadi surga bagi siapapun. Persoalan yang menurutku lebih menarik dibahas adalah bagaimana memposisikan peta sosial kita dalam mempersepsi kematian Amrozy cs. Nampaknya, dunia social kita berhadapan dengan satu tanda yang kemudian mengkutubkan masyarakat dalam beragam posisi berpijak. Fenomena Amrozy cs seakan mengingatkan kita bahwa soal teologi atau keberagamaan tak pernah bias tunggal. Teologi atau cara pandang manusia pada jalan Allah adalah sebuah keniscayaan yang menghamparkan kita pada lingkaran debat yang tak beresudahan.
Maka, biarlah kita menyaksikan saja dua titik kutub keberislaman itu. Mereka yang mendukung Amrozy ataukah meeka yang mendukung pemerintah –yang melabel Amrozy dengan label teroris.
Namun apapun sebutan itu, saya tetap saja salut dengan pilihan Amrozy cs. Meminjam istilah Dee, mereka adalah pahlawan abad 21 yang menghadapi kematian dengan senyum. Mereka menjadikan kematian sebagai pilihan rasional dan demi menegakkan satu keyakinan atau ideology. Mereka tidak melangitkan satu ideologi, namun mereka telah menggiring ideologi untuk berpijak ke bumi. Mereka telah mencoba menegakkan yang mereka yakini yaitu membangun Kerajaan Allah di muka bumi.
Satu hal yang saya salut, ketiganya sedang meneriakkan pesan pada dunia tentang Amerika yang brutal. Ketiganya sedang berteriak di bawah desingan peluru bahwa umat Islam adalah saudara yang harus merasa sakit ketika saudara lainnya disiksa, bahkan meski siksa itu dilakukan oleh negara yang superpower sekalipun.
Barangkali, ini adalah persoalan metodologi. Cara Amrozy menyampaikan kegelisahannya telah meluluhlantakkan sebuah negeri di mana ratusan orang yang tak bersalah ikut menjadi korban. Sebagaimana sering dikatakan Imam Samudera –sosok yang bermata elang itu--, mereka menjadi korban karena berada di tengah suasana yang kafir. Metodologi yang mereka pilih adalah suatu metodologi yang telah membunuh mereka yang tak tahu apa-apa tentang kejadian itu.
Metodologi hanyalah manifestasi dari sebuah jalan yang secara sadar kita pilih demi menegakkan ideologi. Mungkin, di sinilah letak dilemanya sebuah ideologi. Sebagaimana kata Karl Marx, ideologi bisa menggerakkan, namun sekaligus bisa membutakan. Keyakinan tentang Amerika telah membutakan nalar dan logika. Jangan-jangan itu hanya wacana yang semu tanpa realitas. Seolah ada, namun sesungguhnya seperti debu yang disaput angin. Keyakinan itu menjelma menjadi api yang membakar. Mungkin di sinilah kita bisa memposisikan Amrozy dan mereka yang memilih jihad itu.
Saya menyaksikan spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Syuhada.” Meskipun saya sendiri bertanya, apakah ada syuhada dalam keranda hijau yang berbalut kain dengan huruf Arab itu. Apakah ada jalan terang yang sedang membuka untuk jenazah itu? Sebuah jalan yang konon katanya sangat lempang dan hanya ditujukan buat mereka yang syahid demi keyakinannya.
Segudang pertanyaan berseliweran di benakku. Apakah Allah sedang tersenyum dan mengembangkan tangan untuk ketiga sosok itu? Apakah Allah menempatkan mereka pada titik terindah di surga-Nya? Apakah ketiga sosok itu akan disambut jerit marah dari arwah para korban bom yang masih geram karena tewas secara mengenaskan dan keluarganya harus menjalani hidup yang berat?
Menyaksikan kejadian itu melalui televisi, saya cukup lama tertegun. Pekik Allahu Akbar dan massa yang berduyun-duyun itu seakan menegaskan keyakinan publik bahwa Amrozy cs tewas dalam satu ritus ziarah spiritual yang agung demi menegakkan kalimat Allah. Walau pemerintah melabel mereka dengan teroris dan bukan jalan Islam, tetap tidak mengubah pandangan publik bahwa ketiganya mati di jalan kebenaran.
Fenomena yang saya saksikan ini memberikan isyarat bahwa ada pengkutuban yang cukup tegas dalam melihat fenomena Islam dan jalan kesyahidan. Nampaknya, dua kutub asumsi yaitu surga dan neraka telah menjadi asumsi yang paling umum dalam arus besar diskursus tentang matinya ketiga sosok itu. Saya teringat Levi Strauss yang punya teori tentang the deepest structure of mind. Kata Strauss, benak berpikir manusia dipenuhi logika berpasang-pasangan yang berhadapan. Manusia membangun dua kutub kategori yang berpasangan seperti kiri-kanan, baik-buruk, indah-tidak indah. Kategorisasi ini adalah fenomena yang universal dan berlaku pada semua manusia di manapun. Amrozy pun membangun dua kategori tersebut. Pernyataannya tentang hanya ada dua jalan yaitu jalan Islam dalam jalan kafir, adalah bentuk pandangan dunianya yang melihat realitas secara sederhana. Ia memilih jalan pada realitas yang sederhana itu.
Amrozy mewakili satu tafsir atau interpretasi ajaran. Sejak masa Rasulullah, persoalan tafsir ini tak pernah bisa tungal dan selalu saja berbeda. Sebuah tafsir dari Rasulullah, kemudian membiak dan berujung pada temali perbedaan yang rapuh. Fenomena Amrozy kian menunjukkan tafsir yang berbiak itu. Orang-orang kembali memperdebatkan apakah ketiganya diposisikan ke surga ataukah neraka. Pilihan pendapat orang menunjukkan posisinya dalam memandang religiusitas serta jalan spiritual. Namun, apakah jalan itu memang hanya dua? Apakah kita terpaksa memilih satu dari dua itu? Bisakah saya memilih tempat yang bukan surga dan bukan neraka? Mungkinkah , dunia pasca-kematian adalah sebuah dunia di mana pengkutuban itu menjadi serba kabur dan tidak jelas. Dan manusia bebas memilih hendak ke mana atau tak berdaya ketika Yang Maha Memilih telah menjatuhkan pilihan untuk kita.
Namun, terus larut dalam perdebatan isu ini bukanlah hal yang produktif. Itu hanya kegenitan berpikir manusia Islam hari ini. Religiusitas ibarat mengumpulkan bekal demi perjalanan jauh. Persoalan di mana posisi gerak Amrozy, itu adalah urusan Allah sendiri. Apakah berada di surga atau neraka, semuanya adalah kemurahan Allah. Neraka sekalipun –sepanjang itu adalah pilihan Allah—tetap menjadi surga bagi siapapun. Persoalan yang menurutku lebih menarik dibahas adalah bagaimana memposisikan peta sosial kita dalam mempersepsi kematian Amrozy cs. Nampaknya, dunia social kita berhadapan dengan satu tanda yang kemudian mengkutubkan masyarakat dalam beragam posisi berpijak. Fenomena Amrozy cs seakan mengingatkan kita bahwa soal teologi atau keberagamaan tak pernah bias tunggal. Teologi atau cara pandang manusia pada jalan Allah adalah sebuah keniscayaan yang menghamparkan kita pada lingkaran debat yang tak beresudahan.
Maka, biarlah kita menyaksikan saja dua titik kutub keberislaman itu. Mereka yang mendukung Amrozy ataukah meeka yang mendukung pemerintah –yang melabel Amrozy dengan label teroris.
Namun apapun sebutan itu, saya tetap saja salut dengan pilihan Amrozy cs. Meminjam istilah Dee, mereka adalah pahlawan abad 21 yang menghadapi kematian dengan senyum. Mereka menjadikan kematian sebagai pilihan rasional dan demi menegakkan satu keyakinan atau ideology. Mereka tidak melangitkan satu ideologi, namun mereka telah menggiring ideologi untuk berpijak ke bumi. Mereka telah mencoba menegakkan yang mereka yakini yaitu membangun Kerajaan Allah di muka bumi.
Satu hal yang saya salut, ketiganya sedang meneriakkan pesan pada dunia tentang Amerika yang brutal. Ketiganya sedang berteriak di bawah desingan peluru bahwa umat Islam adalah saudara yang harus merasa sakit ketika saudara lainnya disiksa, bahkan meski siksa itu dilakukan oleh negara yang superpower sekalipun.
Barangkali, ini adalah persoalan metodologi. Cara Amrozy menyampaikan kegelisahannya telah meluluhlantakkan sebuah negeri di mana ratusan orang yang tak bersalah ikut menjadi korban. Sebagaimana sering dikatakan Imam Samudera –sosok yang bermata elang itu--, mereka menjadi korban karena berada di tengah suasana yang kafir. Metodologi yang mereka pilih adalah suatu metodologi yang telah membunuh mereka yang tak tahu apa-apa tentang kejadian itu.
Metodologi hanyalah manifestasi dari sebuah jalan yang secara sadar kita pilih demi menegakkan ideologi. Mungkin, di sinilah letak dilemanya sebuah ideologi. Sebagaimana kata Karl Marx, ideologi bisa menggerakkan, namun sekaligus bisa membutakan. Keyakinan tentang Amerika telah membutakan nalar dan logika. Jangan-jangan itu hanya wacana yang semu tanpa realitas. Seolah ada, namun sesungguhnya seperti debu yang disaput angin. Keyakinan itu menjelma menjadi api yang membakar. Mungkin di sinilah kita bisa memposisikan Amrozy dan mereka yang memilih jihad itu.
Makassar, 9 November 2008
0 komentar:
Posting Komentar