Isu Sejarah dalam Festival Keraton

TANGGAL 14 November lalu, saya menghadiri ajang Festival Keraton Nusantara (FKN) di Kabupaten Gowa, Sulsel. Saya tertarik dengan promosi melalui media massa bahwa ajang ini adalah yang terbesar dalam sejarah penyelenggaraan FKN. Sebanyak 38 keraton berpartisipasi di ajang ini. Saya penasaran ingin menyaksikan bagaimana berbagai kebudayaan Nusantara saling belajar bersama dan saling memahami melalui sebuah festival.

Saya selalu suka menyaksikan festival budaya semacam ini. Festival ini mengingatkan kita bahwa Indonesia tidaklah seragam. Indonesia bukanlah satuan yang tunggal dan dirajut oleh ibu pertiwi yang sama. Indonesia dibangun di atas landasan kultural yang beragam dan berbeda-beda. Namun kebudayaan yang beragam itu bisa membangun sebuah konsensus dan persilangan demi kesepahaman dan kerja sama. Kita bisa menjelajahi sejarah demi menemukan pertautan antar kebudayaan dan bagaimana mereka mempersembahkan tarian pluralitas dalam interaksi dan dialog kebudayaan yang harmoni.

Meski agak telat menghadiri pembukaan di Lapangan Syekh Yusuf, Gowa, saya cukup puas menyaksikan defile berbagai keraton. Saya lebih suka menyaksikan defile kerajaan di Indonesia timur. Masing-masing menampilkan keperkasaan dan kehebatan. Pasukan Gowa menampilkan bala tentara yang tampak perkasa dan diiringi puisi perlawanan yang mendidihkan darah. Demikian pula dengan pasukan Ternate, pasukan Buton, dan kerajaan lainnya. Episode penting dalam jejak Kerajaan Gowa adalah ketika mempersembahkan sebuah pertarungan paling dahsyat dalam sejarah kehadiran Belanda di Nusantara. Meskipun Gowa kalah dan menandatangani Perjanjian Bungaya, namun semangat Sultan Hasanuddin seakan menetes-netes dalam sanubari masyarakat Gowa hingga kini. Mungkin, semangat itu pula yang tetap menetes di darah Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, yang pada hari itu dengan bangga selalu menyebut nama Hasanuddin.

Saya melihat ada hal menarik di ajang kolosal itu. Jika Gowa selalu membanggakan Sultan Hasanuddin, bagaimana pula dengan persepsi kerajaan lainnya tentang sultan itu? Bukankah pada masa itu Sultan Hasanuddin digempur dari beragam sisi oleh Belanda yang bekerja sama dengan pasukan Bugis yang dipimpin si gagah Arung Palakka? Bukankah saat itu, pasukan Bugis juga dibantu pasukan yang gagah berani dari Kesultanan Buton dan Ternate? Tidak inginkah Bugis, Buton,dan Ternate mengulangi pertempuran yang sungguh dahsyat itu?

Saya hanya bercanda. Itu adalah dinamika di masa silam. Kita hanya bisa melihat masa silam dengan portal sejarah. Tentunya, kita tak mungkin mengulanginya. Mungkin hanya Doraemon, Sun Go Kong, dan Hanuman, yang bisa memutar mundur jarum sejarah. Jejak masa silam yang tersisa hingga kini adalah sebuah prasangka yang boleh jadi akan susah menghapusnya. Para sosiolog menyebutnya stereotype, sebuah situasi di mana kita nyinyir melihat etnis lain. Kita merasa besar dan melihat yang lain dengan sebelah mata. Semacam keangkuhan yang disamarkan melalui sikap memandang enteng.

Stereotype adalah produk berpikir manusia di masa kini. Kita melihat masa silam kemudian memelihara stereotype di masa kini. Jangan heran jika kemudian manusia masa kini punya stereotype pada mereka yang berbeda dengannya. Jangan heran pula jika dalam fragmen Perang Makassar, beberapa daerah disebut pengkhianat oleh Gowa. Barangkali ini faktor sejarah kita yang disajikan dengan tidak adil. Ketika Indonesia berdiri, banyak etnis besar yang sejarahnya dijadikan patokan. Kerajaan yang kecil-kecil itu sejarahnya dinafikan dan dianggap angin lalu saja. Ketika Bugis, Buton, dan Ternate dianggap pengkhianat dalam sejarah, maka itu adalah buah dari stereotype yang kita pelihara karena tidak pernah tuntas membaca sejarah.

Sebuah peristiwa masa lalu bisa menjadi heroik di masa kini. Semuanya tergantung pada titik pijak (standpoint) kita dalam memahami dinamika sejarah. Bagi orang Gowa, Sultan Hasanuddin adalah seorang hero yang siap menjadi martir bagi negerinya. Sementara bagi orang Bugis dan Buton, Hasanuddin adalah seorang tiran yang mengukuhkan rezim pemerintahannya dengan tangan besi. Hasanuddin adalah horor bagi negeri-negeri yang dihembus angin timur sebab bala tentaranya ekspansif dan sering mencaplok wilayah. Kearifan ilmu Syekh Yusuf adalah nyanyi sunyi di negeri yang selalu membanggakan keperkasaan itu.

Namun benarkah kata pengkhianat itu jika dilabel terhadap Bugis, Buton, dan Ternate? Kayaknya saya tidak sepakat. Membaca kepingan masa lalu harus diiringi dengan sikap memahami historical mindedness. Kita harus bisa sedapat mungkin melemparkan diri kita ke masa itu kemudian memahami pola pikir manusia di masa itu. Kita tak mungkin membawa prasangka kita di masa kini demi menjelaskan kejadian di masa lalu. Bagaimana mungkin disebut berkhianat jika di masa itu Indonesia belum terbentuk. Berada di bawah payung Indonesia membuat kita selalu menilai sesuatu dengan cara pikir Indonesia yang merasa benci pada Belanda. Kitapun ikut membenci Belanda. Padahal dalam sejumlah kerajaan di timur Nusantara, kehadiran Belanda adalah kehadiran sosok mitra yang cerdas dan memperkaya dialog kebudayaan. Dinamika masa itu adalah dinamika regional antar kerajaan atau antar negara yang kemudian kian memanas ketika Belanda menawarkan senyum yang membebaskan kerajaan kecil lainnya.

Saya hanya bisa menggumam. Saya sendiri tidak yakin jika mereka yang menyaksikan defile itu bisa memahami bagaimana dinamika masa silam. Di negeri ini, sejarah hanya catatan kaki yang dianggap tidak penting dari sains rekayasa yang dikembangkan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sejarah seolah tidak penting sebab hanya membahas mereka yang sudah meninggal dan tiba-tiba ditahbiskan sebagai pahlawan.

Toh, masa lalu dianggap sudah lepas berlalu. Hari ini saya menyaksikan jejak masa silam itu dalam defile. Masing-masing dengan keperkasaan dan kehebatannya. Semua pasukan itu tinggal kenangan yang di masa kini hanya diperankan saja oleh sejumlah figuran yang banyak di antaranya memakai lipstick menor. Setidaknya ada sukma dan spirit yang masih tersisa di masa kini. Meskipun setelah itu, spirit tersebut tersaput angin tatkala kita bergegas pulang dan menyalakan televisi.(*)

Makassar, 14 November 2008
www.timurangin.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar