Gelar Sarjana dan Sejumput Kebanggaan


APA sih arti gelar sarjana? Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, barangkali gelar sarjana sudah bukan lagi sesuatu yang penting. Gelar itu tidak lagi mendatangkan getar tersendiri. Ribuan sarjana “dicetak” setiap tahunnya oleh ribuan universitas hingga lembaga sejenis pelatihan yang tersebar di mana-mana. Ribuan sarjana meramaikan pasar pencari kerja dan sibuk menawarkan dirinya ke berbagai penyedia lapangan kerja. Sebahagian besar terpental dan tidak tertampung kemudian tinggal di masyarakat, tanpa tahu harus berbuat apa. Ironis.

Pernahkah anda berpikir bagaimana menjadi sarjana di satu kampung atau daerah yang kecil dan boleh jadi tak tercatat dalam peta negeri ini? Sebuah kebanggaan. Sebuah kebahagiaan. Seakan-akan ada buntalan rezeki yang tiba-tiba jatuh dari langit hingga membuat hari-hari seakan berubah. Berhasil menjadi sarjana di satu daerah kecil adalah keberhasilan dalam mengangkat harkat dan derajat diri. Jika sebelumnya menempati lapis terbawah dari satu struktur sosial dan hidup dengan selalu membungkukkan badan pada yang lain, setelah menjadi sarjana hidup tiba-tiba berubah. Tumbuh rasa percaya diri serta keyakinan bahwa keluarga itu sudah bisa sejajar dengan yang lain.

Hari ini saya menyaksikan fenomena tersebut. Seorang keluarga di Ereke (Buton Utara) bernama Nani yang tinggal di rumahku, diwisuda hari ini. Ia berhasil mendapatkan gelar sarjana di bidang pendidikan matematika di Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Bau-Bau. Mungkin, saya termasuk orang yang agak sinis melihat itu. Sebagai orang yang pernah wisuda di salah satu universitas bonafid yaitu Universitas Hasanuddin (Makassar), saya memandang persoalan wisuda selalu dengan pandangan yang biasa. Saya melihatnya sebagai sebuah ritual rutin yang digelar universitas dan tidak punya makna apa-apa selain dari sebuah pelepasan.

Namun bagi Nani dan keluarganya melihat ini dengan cara yang berbeda. Bagi mereka, wisuda adalah momentum yang sangat bermakna untuk menaikkan status dan kelas sosialnya. Ibu, nenek, serta adiknya sudah datang sejak dua minggu sebelumnya demi menghadiri acara hari ini. Sementara bapak dan seorang adiknya baru datang kemarin. Hari ini saya melihat bagaimana mereka berhias, serta mengenakan pakaian yang terbaik demi menghadiri acara wisuda. Sang bapak yang kesehariannya terbiasa mengenakan sarung yang lusuh, hari ini mengenakan jas yang sangat bagus.
Ia agak repot ketika harus memasang dasi sebab seumur-umur ini adalah pengalaman pertama baginya mengenakan dasi. Sementara ibunya mengenakan kebaya serta sanggul ala Jawa. Sang nenek juga tak mau ketinggalan mengenakan kebaya khusus yang nampaknya sengaja dibeli untuk hari ini. Adik-adiknya juga demikian. Mereka juga mengenakan pakaian yang baru demi menghadiri momen spesial ini. Seluruh anggota keluarga mereka berseri-seri. Bahagia selalu terpancar di wajah mereka. Mereka melangkah dengan tegap sebab satu langkah maju telah ditorehkan anggota keluarganya.

Saya teringat dengan seorang sepupu yang dulunya tinggal di rumahku yaitu Tiudi. Ia besar dan menghabiskan sebagian hari-harinya di kebun yang terletak di daerah Laasongka di Buton Utara. Seperti halnya keluarga besarnya, Tiudi tidak punya banyak pengalaman bertemu orang-orang sehinga selalu pemalu dalam setiap interaksinya. Namun ia berusaha keras untuk sekolah dan menuntaskan pendidikannya di Unidayan Bau-Bau. Saat diwisuda sebagai sarjana di bidang pendidikan, ayahnya memasang foto wisuda anaknya dalam ukuran besar di ruang tamu ruamhnya.

Waktu itu, saya agak heran dan sempat bertanya mengapa ia memasang foto itu dengan ukuran besar. Bapaknya Tiudi menjawab, “Foto ini sangat berharga. Dulunya kita selalu dipandang enteng dan diinjak-injak sama babinsa (militer yang tugas di desa). Tapi sejak ada foto ini, babinsa tidak berani lagi. Dia takut bodoh-bodohi kita lagi sebab ada anakku yang sarjana.” Mendengar kisahnya, saya tersentuh. Ternyata gelar sarjana sangat penting bagi mereka yang berada di strata bawah. Gelar itu sangat berharga bagi mereka yang terbiasa menjadi grass root, menjadi lapis terbawah dari struktur sosial dan pembagian kelas di masyarakat. Menggapai gelar sarjana adalah strategi untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining) dan sebagai alat negosiasi dalam arena kehidupan. Satu siasat untuk melepaskan diri dari proses marginalisasi atau peminggiran dari satu ranah sosial.(*)

17 Mei 2008
Pukul 09.26 wita

1 komentar:

Anonim mengatakan...

huahaha, babinsa memang mahluk lucu yg aneh

Posting Komentar