BAHAN Bakar Minyak (BBM) akan segera dinaikkan. Pemimpin sibuk memberikan penjelasan, rakyat mulai menjerit karena harga-harga mulai naik, sedangkan mahasiswa mulai turun ke jalan dan meneriakkan penolakan. Media
Yah, sebuah keterkejutan. Bagi kaum yang berpunya, hal ini tidak seberapa mengejutkan. Tapi, bagaimana dengan mereka yang keuangannya pas-pasan? Tentu saja, reaksinya pasti berbeda. Wacana kenaikan BBM membuat banyak orang mulai panik dan memikirkan ulang perencanaan keuangannya. Dalam khasanah teori komunikasi, wacana ini ibarat jarum hypodermik yang kemudian menimbulkan efek berupa keterkejutan sosial. Masyarakat seakan semaput dan panik sebab kenaikan itu pasti berdampak bagi kehiduapnnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada dua arus besar wacana yang tengah bertarung. Yang pertama adalah wacana mendukung kenaikan BBM sedang yang satunya adalah penolakan kenaikan BBM. Keduanya saling berebut porsi pemberitaan media
Wacana yang kedua adalah wacana yang mendukung kenaikan BBM. Ini banyak disuarakan pemerintah serta sejumlah ekonom yang banyak memberikan analisis untuk memperkuat rencana kenaikan tersebut. Setiap kali ditanya tentang apa alasannya, pemerintah lalu mengeluarkan sejumlah analisis yang rumit-rumit. Mulai dari kenaikan harga minyak di pasar dunia, beban keuangan negara, hingga kesulitan pemerintah menyusun belanja anggaran. Saya tak tahu secara detail apa sesungguhnya alasan pemerintah. Setiap mendengar penjelasan pemerintah, saya selalu tidak mengerti. Penjelasan itu terlampau rasional dan mengangkat sesuatu yang bagiku sangat mengawang seakan-akan berada di langit.
Saat dijelaskan tentang beban keuangan negara, saya tak bisa mengerti. Penjelasannya banyak menggunakan istilah teknis ekonomis yang sangat rumit. Alasan yang “berat-berat” seperti itu seakan menjadi strategi pemerintah untuk menutupi proses yang sedang berlangsung. Bahasa yang rumit itu menjadi cermin bekerjanya kuasa pengetahuan. Melalui penjelasan dan istilah yang berat itu, masyarakat dipaksa untuk menerima begitu saja bahwa seolah-olah kenikan itu adalah keniscayaan. Dengan bahasa yang rumit –kadang ditunjang dengan berbagai data statistik yang juga sama membingungkannya—pemerintah seakan hendak mengatakan bahwa wacana ini adalah wacana akademis yang hanya bisa dipahami segelintir orang, sedangkan rakyat kebanyakan tidak usah protes sebab mereka pasti tidak paham apa yang sedang terjadi. Bahasa itu mempertegas kuasa pengetahuan yang hanya dimiliki pemerintah, sementara bahasa rakyat yang simpel itu seakan diabaikan begitu saja sebab dianggap tidak penting. Bahasa rakyat seakan terlalu sederhana sehingga tidak layak menjadi bagian dari diskursus pemerintah. Antara bahasa pemerintah dan bahasa rakyat seakan terbentang jurang menganga. Pemerintah dengan bahasa “susah” sedangkan rakyat dengan bahasa yang juga berkisah tentang kesusahan hidupnya.
Lebih aneh lagi karena penjelasan ini disampaikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam pidatonya beberapa hari lalu di televisi, ia mengajak rakyat memahami sikap pemerintah yang sekarang ini sedang kesulitan. Lagi-lagi ia menjelaskan bagaimana harga minyak di pasar dunia serta beban keuangan negara. Apakah rakyat paham dengan itu? Pastilah tidak. Yang bisa memahami penjelasan Presiden SBY adalah mereka yang punya basic ilmu ekonomi yang kuat. Jika tidak, siap-siaplah untuk berkerut kening. Lebih aneh lagi, Presiden SBY meminta rakyat agar memahami alasan pemerintah. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin rakyat membangun sebuah empati kepada pemerntah kalau duduk perkara dari persoalan ini saja tidak dipahami?
3 komentar:
memang beginilah indonesia. Semakin lama semakin memperihatinkan :(
pa kabar, bang.
kasian betul bangsa ini...
salam
bang boleh yah saya curi idenya..saya mau tulisan itu dari perspektif kegagalan komunikasi politik SBY-JK gmana bang ? nanti saya daur ulang terus abang edit lagi baru kita kirim ke media gmana bang ? saya ingin abang menjadi matahari bagiku yang tak pernah lelah menyinariku dengan ilmu pengetahuan dan menumbuhkan pohon rindang di dalam jiwaku...
Posting Komentar