Susahnya Mencari Pemimpin
IKLAN yang dibuat pemerintah tentang perlunya kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di beberapa televisi swasta, membuatku tertegun. Iklan itu lebih banyak berisikan pernyataan bahwa pemerintah berempati dengan penderitaan anak bangsa yang banyak di antaranya beban hidupnya mulai terengah-engah akibat naiknya harga BBM. Iklan itu menampilkan komentar sejumlah pihak seperti Menkeu Sri Mulyani, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, hingga Jubir Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng.
Mereka seakan-akan menampilkan rasa keprihatinan yang dalam. Mereka beberapa kali mengatakan sangat memahami betapa beratnya penderitaan rakyat akibat kebijakan ini. Saya sendiri jadi geli menyaksikannya. Bagaimana mungkin bisa lahir empati jika mereka tiap saat bergelimang kemewahan? Bagaimana mungkin bisa memahami rakyat kalau sehari-harinya mereka naik mobil ber-AC, bekerja di ruang AC, serta ke mana-mana mengenakan baju dan sepatu mahal?
Saya jadi ingat puisi yang ditulis Rendra jelang reformasi. Kalau tak salah Rendra mengatakan, “Kami makan batu sementara kamu bergelimang kemewahan… karena kami setiap hari kelaparan, sementara kamu kekenyangan…” Bersetuju dengan Rendra, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa pejabat harus ikut lapar bersama rakyatnya. Saya hendak mengatakan bahwa ada jurang yang cukup lebar antara pemerintah dan rakyatnya sehingga pemerintah tak banyak memahami bagaimana bahasa rakyat yang ada di lapangan.
Jembatan empati yang semestinya bisa diretas di antara keduanya akan sulit dibangun tatkala pemerintah hidup dengan dunianya yang berlimpah sedangkan rakyat hidup dalam dunianya yang berkesusahan. Makanya, iklan politik yang hadir di televisi menjadi cemooh dan olok-olok sebab dunia yang sungguh berbeda itu.
Saya teringat dua tokoh besar yaitu Ayatullah Khomeini dan Gandhi. Keduanya penuh keterbatasan sebagai rakyat biasa. Mereka juga tidak punya senjata sebagaimana pemimpin militer. Namun suara keduanya bergema ke seluruh relung-relung hati rakyatnya. Ketika keduanya meneriakkan sesuatu, maka seluruh rakyatnya akan mengepalkan tinju ke udara. Keduanya hidup sederhana dan bersahaja. Namun, kebersahajaan itulah yang kemudian menjadi kekuatan keduanya. Rakyat paham bahwa mereka hidup hanya dengan selembar kain dan membaktikan seluruh hidupnya untuk rakyat banyak. Rakyat paham bahwa mereka tidak sedang memperkaya diri dan hidup dalam kemewahan. Semua kata-kata mereka adalah cerminan dari penderitaan dan suara lirih rakyat sehingga kata-kata mereka sanggup menjelma menjadi mantra yang efektif untuk menggerakkan mesin perubahan sosial.
Gandhi hanya hidup dengan selembar kain yang ditenunnya sendiri, sedangkan Khomeini setiap harinya tidur di atas tikar yang rusak di satu rumah sederhana. Kesederhanaan yang sungguh luar biasa itu telah menyentuh hati orang banyak. Ketika mereka ditimpa musibah, semua orang mencucurkan air mata. Ketika mereka marah dan ditindas, semua orang tiba-tiba berlari di belakang mereka. Baik rakyat India maupun Iran bisa merasakan bahwa keduanya telah memilih menjadikan dirinya sebagai prasasti rakyat yang hidup senapas dan sealiran darah dengan rakyat yang mereka cintai.
Lantas, ketika melihat pejabat kita seperti Aburizal, Sri Mulyani. Mari Pangestu dan Mallarangeng mengatakan memahami penderitaan rakyat, apa yang bisa kita katakan? Tak lebih dari rasa sinis dan kegelian. Mana mungkin kau memahami kami sedangkan kamu tiap hari naik mobil mewah? Sedangkan kekayaanmu menggunung sementara kami hanya bisa mengurut dada dan mengencangkan ikat pinggang.(*)
0 komentar:
Posting Komentar