Involusi Pedesaan (Ekspedisi Buton Utara 3)



TERAKHIR saya mengunjungi Kulisusu di Buton Utara sekitar lima belas tahun yang lalu, saat menghadiri pernikahan pamanku (kini anaknya sudah menginjak bangku kelas 3 SMP). Dalam imajinasiku, pasti ada perubahan yang cukup signifikan seiring dengan kemajuan pembangunan dari berbagai rezim pemerintahan yang ada di negeri ini. Apalagi, daerah ini sudah menjadi ibukota kabupaten yang belum lama terbentuk. Namun saat menyaksikannya langsung, ternyata anggapan itu sungguh jauh dari realitas. Kulisusu yang kusaksikan masih Kulisusu yang dulu. Tak ada perubahan sedikitpun.

Apakah kehidupan itu diam? Tidak. Namun di Kulisusu, waktu seakan statis. Tak terlihat adanya perubahan yang berarti, kecuali cat rumah yang sudah mulai terkelupas, jalanan yang kian rusak parah, listrik yang selalu padam, hingga anak kecil yang kian bertambah ramai. Di luar itu, tak ada sedikitpun perubahan terlihat hingga memaksa horison pandanganku untuk melihat pemandangan itu-itu terus. 

Jalanan di depan rumahku hingga pasar dan pusat kota (lebih cocok dibilang pusat desa) tetap saja rusak parah. Jalanan itu tersusun dari batu-batu karang yang pernah diratakan dengan buldoser. Tak ada aspal. Kini sudah berantakan lagi. Jalanan yang diaspal hanya dari pasar menyusuri pinggir laut. Itupun cuma sekitar 300 meter. Kadang-kadang saya meminjam motor dari pamanku dan mengajak ibuku jalan-jalan di jalan rusak tersebut. Namun, baru berjalan sekitar 10 menit, ibu sudah meringis dan mengatakan, “Mopii tongangku“ (Pinggangku sakit). Wah.... susah juga nih. Ternyata jalan ini bisa membuat tingkat stres meninggi. 

Sementara pasar Kulisusu justru semakin buruk dari yang pernah kusaksikan. Pasar yang dulunya berdiri kokoh, kini sudah rubuh karena terbakar. Kata warga setempat, beberapa bulan yang lalu, api mengamuk dan membakar pasar tersebut hingga rata dengan tanah. Puing-puing bangunan yang hangus masih terlihat berserakan. Kemudian di depan puing-puing itu, sudah berdiri pasar darurat yang kondisinya benar-benar darurat. Di atas tanah milik keluargaku –yang kemudian diserobot secara paksa tersebut—sudah didirikan bangunan dari kayu yang kemudian ditempati pedagang setempat. Situasinya sangat semrawut.

Hal yang juga kuperhatikan adalah fisik kota yang juga seakan tak ada perubahan. Mestinya, kota ini kian tumbuh seiring dengan kian membaiknya pendidikan masyarakatnya. Kian banyaknya warga kota ini yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat di daerah lain, mestinya bisa memberikan dampak bagi pemandangan dalam kota. Minimal, ada rumah atau bangunan baru yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan protokol. Minimal ada pusat pertokoan baru atau pusat pertumbuhan ekonomi yang kemudian memicu pertumbuhan di dalam kota. Namun, semua anggapan tersebut laksana melukis di atas awan.

Saya menduga ini terkait dengan beberapa hal. Warga banyak merantau ke tempat lain yang secara ekonomi dianggap lebih menjanjikan. Mereka bersekolah kemudian berkarier di tempat lain, sehingga modal yang mereka miliki hanya beredar di kota lain, sementara kampungnya tetap merana. Mereka tidak membangun rumah di kampung sebab kampung hanya menjadi tempat persinggahan sewaktu-waktu di saat mereka hendak pulang kampung dan bernostalgia ke daerah asalnya. Saya banyak menyaksikan kenyataan ini. Begitu banyaknya warga Kulisusu yang berhasil atau sukses di Bau-Bau dan Kendari, tidak juga membawa pengaruh bagi perekonomian setempat. Sebab, kebanyakan warga hanya menjadikan kampungnya sebagai tempat transit di saat liburan. Mungkin, di masa depan perlu digalakkan semacam Gerakan Balik Kampung agar ada kesadaran di kalangan para perantau untuk kembali dan membangun kampungnya sendiri.

Asumsi kedua yang saya duga adalah banyaknya resource atau sumber daya setempat hanya dinikmati oleh orang luar. Dugaan ini muncul setelah saya melihat aktivitas ekonomi serta politik justru lebih banyak berada di tangan orang luar. Sumber daya terbaik di daerah ini pergi merantau sehingga yang tersisa adalah mereka yang tidak terlalu unggul dalam pendidikan. Akhirnya, persaingan yang ada seakan tidak seimbang dan selalu dimenangkan orang luar. Makanya, warga yang ada hanya menjadi penonton yang pasif dan tak berdaya. Baru-baru ini saya mendengar kalau di situ akan dibuka banyak areal pertambangan, namun setelah saya mencek siapa saja yang menjadi investor, lagi-lagi orang luar. Dalam bayanganku, ini akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Ketika warga lokal tidak diakomodasi, maka akan ada suatu saat di mana mereka akan meradang dan mengamuk. Bencana sosial ini bisa lebih parah jika di masa kini tidak dibuat satu desain atau perencanaan yang matang.






Asumsi lain yang saya duga adalah faktor tiadanya perhatian pemerintah atas daerah ini. Tingginya kontestasi politik di Kabupaten Muna, membuat daerah ini dipandang sebelah mata. Pemerintah kabupaten lebih berkosentrasi pada pengembangan kota kabupaten. Infrastruktur dasar di daerah ini tak pernah disentuh sehingga menimbulkan ketidakpuasan. Selama saya berada di Buton Utara, selalu saja saya mendengar komentar penduduk yang mengatakan bahwa di Sulawesi Tenggara, hanya kabupaten ini yang mekar melalu proses yang “berdarah-darah.“ Dimulai dari serangkaian demonstrasi di Kabupaten Muna, kemudian demonstrasi di Kendari, hingga desakan agar demonstrasi digelar di Jakarta. 

Untunglah kabupaten ini akhirnya berhasil mekar. Sebagai bentuk “pemberontakan“ atas Muna, warga memilih nama Buton Utara, bukannya Muna Timur sebagaimana yang diminta oleh Kabupaten Muna. Pelajaran berharga yang bisa diambil adalah prosedur demokrasi dan tata pemerintahan harus memperhatikan dinamika dan kontestasi lokal. Pengalaman di era sentralisasi, menyebabkan segala urusan selalu dilihat dari titik pandang pusat sehingga tidak merangkum cara pandang daerah. Ketika satu daerah sudah dibentuk, seakan-akan persoalan sudah selesai. Padahal, semestinya ada ruang kontestasi yang diciptakan, semacam arena yang bisa memastikan bahwa politik di tingkat lokal terus bergulir. Kekuatan politik di tingkat lokal mendapatkan posisi yang sama sehingga bisa menjadi kontrol yang efektif bagi jalannya pemerintahan.

Selama di sini, saya selalu teringat Clifford Geertz. Dia pernah melakukan riset di satu desa pertanian di Jawa. Ia melihat kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun hingga muncul pola yang selalu melingkar dan mengalami pengulangan secara terus-menerus. Dalam konteks berbeda, Kulisusu juga mengalami involusi atau gerak melingkar tersebut. Bukannya berkembang ke arah kemajuan, namun justru bergerak ke titik mundur. Makanya, selama 20 tahun seakan-akan tak ada perubahan yang terjadi.(*)


14 Januari 2008

1 komentar:

saysuri mengatakan...

I also very sad to see the condition in North Buton now,,,,,A rich region with a lot of resources the human resource and natural resource but in fact our region stay poor......it is the time to fond of our region.....I agree with you that we have to give many contribution to our region.....I also in overseas now but I have promise to myself after finish my study at college I'll go back to develop my beloved region......NORTH BUTON!!!!!!!

Posting Komentar