Binar Bahagia di Wajah Anak Kecil Kakenauwe (Ekspedisi Buton Utara II)


14 Januari 2008


AKHIRNYA, berangkat juga saya bersama ibu ke Buton Utara. Empat hari berada di Kota Bau-Bau cukup melelahkan dan rindu dengan nuansa petualangan baru. Rasa kesal karena sehari sebelumnya gagal berangkat, langsung sirna dan berganti semangat. Kami naik mobil jenis kijang yang sesak dengan penumpang. Idealnya, jumlah penumpang hanya sekitar 10 orang, namun penumpang mobil ini mencapai sekitar 25 orang. Kelihatan betul, sang sopir ingin memaksimalkan jumlah keuntungan sehingga tempat tas di mobil, juga diisi penumpang.

Buton Utara merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Muna. Kabupaten ini terletak di sebelah utara Pulau Buton dengan wilayah yang cukup luas. Potensinya sangat beragam. Sayang, potensi itu tidak bisa dikelola dengan maksimal karena kebijakan Pemkab Muna yang agak diskriminatif terhadap mereka. Praktis, selama puluhan tahun berdiri, kabupaten ini seakan hanya berdiri di tempat dan tidak beranjak jauh. Pantas saja, jika masyarakatnya seakan berontak dan ingin segera membentuk kabupaten baru bernama Buton Utara.

Untuk sementara, ibu kota kabupaten baru ini berlokasi di Kulisusu, tempat kelahiranku. Jarak Bau-bau ke Kulisusu hanya sekitar 180 kilometer. Mestinya, perjalanan ke sana tidak begitu jauh dan melelahkan. Berhubung karena kondisi jalan yang rusak parah, maka perjalanan ini menjadi begitu berat. Perjalanan melewati sejumlah daerah seperti Bungi, Ngkaring-Ngkaring, Kapontori hingga beberapa desa di sepanjang perjalanan seperti Kakenauwe hingga Kambowa. Jalanan yang paling rusak parah kita temui setelah melewati Kakenauwe. Bahkan, pada satu ruas jalan yang rusak berat dan harus mendaki, sopir meminta agar penumpang pria untuk turun dan selanjutnya berjalan kaki hingga ke atas bukit. Kemudian, mobil itu berjalan pelan meniti jalan rusak parah tersebut.

Sebelum melintasi daerah yang rusak parah tersebut, sopir menghentikan kenderaan dan singgah di satu warung. Sebagian besar penumpang ikut turun dan singgah mengisi perut pada satu warung yang ada di situ. Saya dan ibu juga turun. Saat itu, saya melihat sejumlah anak Sekolah Dasar sedang melintas di depan sekolah dalam keadaan tidak mengenakan sepatu.

Saat melihatku yang hendak memotret, mereka langsung tersenyum. Beberapa di antaranya tunduk tersipu, sedang lainnya langsung berlarian. Menurutku, ini fenomena yang menarik. Di tengah parade kemewahan anak sekolah di perkotaan yang kadang menenteng handphone ke sekolah, masih banyak anak kecil yang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu. Di depan sekolah itu, saya juga melihat sejumlah anak kecil yang sedang bermain bola kasti. Mereka berlari dan saling mengejar dengan gesit. Mereka sangat riang gembira dan selalu bersorak-sorai. Mereka tertawa saat beberapa siswa terjatuh ketika sedang mengejar bola. Sementara anak yang jatuh, segera bangkit lagi kemudian tertawa-tawa. Mereka bermain dengan penuh kegemberiaan, tanpa ada rasa khawatir. Mereka juga sangat berani, tanpa memikirkan banyak resiko. Aku juga menyaksikan beberapa anak yang memanjat pohon tinggi tanpa rasa takut.

Dunia anak-anak di sini adalah dunia yang ceria. Mereka lepas dan bebas sebebas burung merpati, tanpa harus dicekam dengan persaingan atau ambisi orang tua yang menginginkan anaknya kelak memenangkan semua persaingan itu. Anak kecil di desa itu tidak dibebani dengan sejumlah les tambahan mulai dari bahasa Inggris hingga piano, yang kesemuanya hanya untuk memuaskan dahaga orang tua yang menginginkan anaknya kelak unggul dalam persaingan. Padahal, dunia anak adalah dunia ceria dan kebebasan. Dunia itu terpancar pada sorot mata anak kecil di satu desa di Kakenauwe, yang terletak nun jauh di pedalaman Pulau Buton.

Saat mengagumi anak tersebut, sopir memanggil semua penumpang. Saya dan ibu bergegas dan masuk ke dalam mobil yang bergerak lambat karena medan jalan yang rusak parah. Setelah sekitar satu setengah jam, mobil tiba di Kambowa. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menumpang speedboat dengan jarak tempuh sekitar satu setengah jam. Kami melewati beberapa kampung Bajo, yang semua rumah penduduknya didirikan di atas laut, demikian pula dengan sekolahnya. Saya sempat memotret beberapa rumah penduduk serta sekolah yang didirikan di kampung tersebut. Hingga akhirnya, saya tiba di Kulisusu dan selanjutnya dimulailah petualangan baru.(*)


4 komentar:

Jamal Azhar mengatakan...

nukilan sdr mencuit hati saya dan mengimbas kembali nostalgia masa silam. tahniah.

Anonim mengatakan...

selamat menulis lagi sayang

ririn mengatakan...

itu yang di gambarnya adikku,,,,,,,,,

Unknown mengatakan...

huhu..jadi kangen rumah

Posting Komentar