Sumur Umum sebagai Pusat Aktivitas (Eksp Buton Utara 6)

sumur umum di Linsowu, Buton Utara

DI banyak tempat di Buton Utara, sumur masih menjadi pusat aktivitas bagi warga. Tiadanya fasilitas air minum dari pemerintah, membuat semua warga masyarakat beraktivitas di sumur. Di sini, ada beberapa sumur tua yang diperkirakan sudah berumur lebih dari 100 tahun. Di antara sumur yang legendaris di situ yang paling populer adalah E’e Bula dan E’e Mataoleo. Masing-masing punya legenda dan riwayat tersendiri. Saya beruntung sebab bisa langsung menyaksikan E’e Bula dan memotretnya.

Sedangkan E’e Mataoleo masih menjadi legenda buat saya. Warga Kulisusu punya cerita yang selalu diceritakan turun-temurun tentang E’e Mataoleo ini. Menurut warga, di sini pernah ada cerita tentang tragedi La Nda’u. Tersebutlah kisah tentang seorang pemuda bernama La Nda’u. Pemuda ini hidup sezaman dengan nenek saya (andai masih hidup kira-kira umurnya sama dengan Soeharto yaitu 90 tahun). Di zaman itu, sumur Mataoleo sudah menjadi aktivitas semua warga setempat, termasuk gadis-gadis. Semua warga beraktivitas mandi, mencuci, memandikan ternak, hingga mengambil air minum di sumur itu. Nah, di tengah keramaian itu, La Nda’u kerap menunjukkan aksi-aksi heroik yang mendebarkan saat berada di sumur. Misalnya berjumpalitan di atas sumur, bergelantungan dengan hanya satu tangan, atau pura-pura jatuh di sumur, namun masih memegang pinggiran sumur.

Setiap kali La Nda’u salto, warga –khususnya gadis-gadis—langsung menjerit tertahan dan memanggil namanya. Namun, bukannya keder atau kapok, semua teriakan itu justru kian menambah nyali La Nda’u untuk mencoba berbagai aksi heorik. Ia semakin semangat melakukan aksi akrobatik. Tak dihiraukannya larangan dari banyak orang. Baginya, teriakan gadis-gadis adalah energi yang memompa semua pergerakannya. Teriakan gadis-gadis ibarat teriakan histeris suporter sepakbola atau suporter basket. La Nda’u serasa menemukan kebahagiaannya di tengah teriakan tersebut. Hingga suatu hari. Nahas seakan menyapanya hari itu ketika pegangannya terlepas. La Nda’u jatuh ke sumur yang sangat dalam itu. Ia langsung tewas setelah kepalanya hancur. Ternyata, teriakan histeris gadis-gadis bisa menjadi bencana baginya. Sejak kejadian itu, La Nda’u menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun untuk siapapun yang sok aksi saat berada di sumur. Rupanya, larangan tersebut cukup efektif. Sebab semua anak-anak yang mendengar kisah La Nda’u langsung ketakutan.





Itu cerita tentang sumur Mataoleo. Tentang sumur E’e Bula, saya nelum tahu apa legendanya. Yang jelas, sumber air ini sangat populer. Sumur ini terletak di bawah benteng keraton. Saat menyaksikannya, ternyata sumur itu sangat dalam. Menurut warga, jika kita memasukkan timba yang cukup besar, maka saat tiba di dasar sumur akan kelihatan seperti sebuah titik kecil. Ternyata, pandangan itu benar juga. Saya menyaksikan langsung bagaimana dalamnya sumur itu. Pada saat saya singgah ke sumur ini, saya melihat banyak warga yang sedang menimba air ataupun mencuci di situ. Jumlah timba di sumur itu tidak begitu banyak, makanya mereka harus antri. Di saat antri tersebut, mereka lalu bercengkerama dan tertawa-tawa saat menceritakan sejumlah gosip di kampung itu. Sementara para pemuda menggunakan ajang itu untuk berkenalan dengan gadis yang ditaksirnya. Bagi anak-anak, moment menunggu antrian itu digunakan untuk bermain-main dengan sesamanya di sumur.

Intinya adalah sumur itu sangat penting sebab menjadi pusat aktivitas. Sumur menjadi unsur yang memediasi semua pertemuan warga. Sumur menjadi titik awal serta titik akhir dari semua aktivitas dalam sehari. Sumur juga menjadi pusat komunikasi di mana semua orang bisa bertemu dan membahas berbagai hal secara bersama-sama. Sumur menjadi tempat yang mengukuhkan solidaritas dan gotong-royong di kalangan warga. Pada saat bersamaan, sumur itu menjadi tempat merajut kembali benang-benang jaringan sosial serta menautkan banyak hubungan di kalangan warga lokal. 

Saya membayangkan, andaikan sumur itu kehilangan fungsi, dalam artian masyarakat mulai percaya pada sistem air modern seperti ledeng, pastilah solidaritas dan gotong-royong itu akan mengabur dengan sendirinya. Jika itu terjadi, warga akan mulai bersikap individual dan tidak lagi memperdulikan yang lain. Sebab mereka kehilangan sumur yang telah menautkan solidaritasnya.(*)



0 komentar:

Posting Komentar