Ritual Bongkaana Tao di Buton


23 Februari 2008

HARI ini, saya berkesempatan menyaksikan acara ritual Bongkaana Tao di Lowu-Lowu, satu desa kecil dalam wilayah Kota Bau-Bau. Perjalanan ke sama cukup jauh melelahkan sebab menyusuri pesisir pantai. Jika menggunakan kenderaan bermotor, maka ditempuh dengan waktu sekitar 40 menit. Bersama beberapa teman yaitu Dambo, Epri, Nas, dan Lulu, kami pergi ke sana untuk menyaksikan ritual budaya yang digelar setahun sekali tersebut.

Secara harfiah, Bongkaana Tao berarti membongkar tahun. Saya tak paham apa kaitannya dengan acara tersebut. Namun menurut seorang penduduk, acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual menolak bala (bahaya). Menurut penduduk tersebut, akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas. Ada dua maksud digelarnya acara tersebut. Yang pertama adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dicurahkan Allah kepada warga sekitar. Kedua adalah memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala bahaya dan sial yang bisa datang sewaktu-waktu. Mendengar penjelasan ini, saya seakan bisa menghubungkan apa makna Bongkaana Tao. Barangkali maksudnya adalah menutup masa panen dengan penuh suka cita sambil berharap agar tahun berikutnya lebih mendatangkan rezeki dan pengharapan.

Awalnya, saya tak begitu tertarik. Namun, ketika mendengar penjelasan tersebut, saya langsung tertarik. Saya penasaran karena hal ini bukanlah merupakan tradisi Islam. Barangkali, ini adalah tradisi yang sudah hidup sejak masa pra-Islam di Buton. Kehadiran Islam, tidak lantas menenggelankan tradisi ini begitu saja. Namun justru tetap dilestarikan dengan sejumlah modifikasi di sana-sini. Misalnya bacaan mantra diganti dengan bacaan yang ada dalam kitab Al-Quran. Suatu sintesis antara Islam dengan tradisi lokal yang sudah berabad-abad lamanya bertahan.

Saat saya tiba di lapangan dekat pasar Lowu-Lowu, penduduk sudah mulai bersiap-siap menggelar pesta adat tersebut. Di tengah lapangan itu telah berdiri tenda dan di bawahnya dipasang karpet yang memanjang. Di atas karpet tersebut, sudah dipasang begitu banyak nampan yang ditutup dengan penutup berwarna merah. Dalam bahasa Buton, penutup tersebut bernama Panombo. Di atas nampan yang ditutup panombo tersebut, diletakkan berbagai jenis makanan mulai dari lapa-lapa (semacam ketupat, namun bentuknya memanjang), cucuru (kue cucur), serta lauk-pauk. Ada juga buah-buahan.

Hal paling menarik yang kusaksikan adalah semua nampan tersebut, ditunggui gadis-gadis dengan pakaian adat yang sangat indah. Dalam khasanah kebudayaan Buton, tradisi ini disebut pekande-kandea atau makan-makan. Biasanya, pekande-kandea dilakukan untuk menyambut tamu penting atau dilakukan saat pesta panen. Teknisnya adalah gadis cantik berpakaian adat tersebut, akan menyuap tamunya yang hendak mencicipi makanan di situ. Ritual ini tidak sekedar menyambut tamu, namun juga menjadi ajang di mana muda-mudi bisa bertemu dan saling melirik. Saya menduga, di masa lalu tidak banyak ajang untuk mempertemukan muda-mudi sebab sang pemudi harus menjalani pingitan (posuo). Ajang semacam pekande-kandea ini menjadi ajang show bagi pemudi untuk menunjukkan dirinya di tengah orang banyak. Orang tuanya seakan memperlihatkan kepada banyak orang bahwa putrinya sudah dewasa dan sudah layak dipersunting.

Kembali ke ritual Bongkaana Tao. Mulanya saya menyangka bentuk acara tersebut adalah pekande-kandea saja. Ternyata, anggapan saya keliru juga. Ritual pekande-kandea adalah penutup atau akhir dari ritual Bongkkana Tao. Awalnya adalah acara baca doa di atas sebuah sumur, kemudian menggotong sesajen ke laut untuk dilepas begitu saja.

Saya penasaran juga ingin menyaksikannya. Namun selama sejam saya tiba di situ, acara belum digelar. Kata penduduk setempat, mereka masih menunggu kedatangan Walikota Bau-Bau Drs Mz Amirul Tamim. Kata penduduk, dulunya acara tersebut harus dihadiri Sultan Buton, maka sebagai penggantinya adalah Walikota. Ternyata, pergeseran sistem pemerintahan dari kesultanan menjadi Republik Indonesia, membawa pengaruh juga pada dilaksanakannya ritual tersebut. Saat walikota datang, beliau diarak menuju sumur tua yang namanya sumur Maradadi. Di sumur itu, sejumlah moji atau pemimpin agama sudah menunggu sambil mengelilingi sesajen yang disimpan di atas sumur.

Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut, terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat, buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.

Saya sempat mengintip apa isi sesajen. Ternyata, di situ ada makanan berupa lapa-lapa, telur, dan lauk-pauk. Usai melihat isi sesajen itu, seorang moji datang membawa tempat dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa Indonesia. Saya mendengar beberapa kalimat yang diucapkan seperti jamaliyah, jalaliyah, yang kesemuanya adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan. Kata tersebut sering diucapkan mereka yang mendalami tasawuf dan tarekat. Saya berkesimpulan, tradisi ini ada kaitannya dengan tradisi sufistik yang banyak bertebaran di tanah Buton sejak abad ke-16.

Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea, lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama. Pada saat itu, saya melihat anak-anak kecil yang mandi di laut itu, langsung mengejarnya. Mereka berlomba mendekati sesajen tersebut, kemudian memperebutkan isinya. Perahu kecil berisi sesajen tersebut langsung karam setelah terlebih dahulu isinya diperebutkan oleh anak-anak tersebut. Seluruh warga yang menyaksikannya langsung tertawa dan bertepuk tangan. Saya beruntung karena sempat merekam moment penting tersebut.

Selanjutnya, saya menuju lapangan tempat acara pekande-kandea. Seluruh warga duduk pada posisi yang berhadapan dengan nampan dan gadis-gadis yang menjaganya. Setelah selesai acara basa-basi seperti sambutan dari walikota (kok selalu ada acara ini sih?), selanjutnya adalah acara makan-makan. Saya langsung bergerak cepat. Ikan besar yang sudah dibakar sudah ada di atas piringku. Sambal dan lalapan juga kusambar, selanjutnya tinggal mengambil dua buah lapa-lapa. Kubayangkan makan ikan seperti ini di Jakarta, pasti harganya sangat mahal. Namun di sini, ikan laut menjadi menu sehari-hari yang umum ditemukan di mana-mana. Saya sudah tak sabar untuk makan ikan besar. Mmmmmhhhh... Nyam…Nyam……


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Menjadi Bagian dari sebuah kebudayaan yang dipinggirkan secara nasional merupakan hinaan
pun jika hinaan itu tidak berakhir
kiranya perlu dipanjatkan do'a dalam haroa kita agar kiranya leluhur kita menegur ketidak seimbangan ini...

Posting Komentar