Kisah di Balik "Perempuan yang Memuliakan Tanaman"

sampul buku


Di satu kafe di Tebet, Jakarta Selatan, saya jumpa petinggi Kehati. Saya sudah lama mengenal Kehati sebagai rumah berkumpulnya para aktivis dan pemerhati lingkungan. Saat itu, saya diberi tawaran untuk menulis kisah Oday Kadariyah,  perempuan hebat yang berumah di bukit Ciwidey, Jawa Barat.

Mulanya saya masih menimbang. Saat mendengar kisah perempuan itu berhasil melawan penyakit kanker ganas dengan mengonsumsi tanaman obat, saya tertarik. Perempuan itu menelusuri kearifan budaya, mengungkap rahasia, dan menemukan ramuan yang dulu digunakan nenek moyang untuk mengobati kanker. Kerja kerasnya membuahkan Kalpataru.

Saya langsung mengiayakan. Saya tak mempersoalkan budget. Saya membayangkan betapa serunya menelusuri pebukitan di Ciwidey, bertemu para petani, dan pemulia tanaman. Bagi saya, menulis ibarat perjalanan untuk bertemu orang baru, belajar hal baru, serta memungut ide-ide di sepanjang perjalanan untuk didedahkan ulang bagi khayalak luas. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Sebelum proses penulis, pihak Kehati memfasilitasi saya untuk berjumpa Oday via zoom. Saya terkesan dengan keramahannya. Saya bayangkan proses menulis ini akan jadi petualangan yang seru.

Dugaan saya benar. Proses menulis kisah Oday menjadi perjalanan yang mengasyikkan. Meskipun saat itu Covid-19 tengah di puncak, saya tetap datang ke Ciwidey. Perjalanan itu sangat menyehatkan. Oday Kadariyah -biasa disapa Mamah Oday- menerima saya di rumahnya yang asri, setelah itu kami menuju kebunnya yang terletak di bukit.

Di situlah saya melihat Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam seluas 21 hektar yang dikelola Mamah Oday dan suaminya. Dia mengajak saya melihat 900 spesies tanaman obat, mengunjungi herbarium serta green house untuk melihat tanaman-tanaman obat.

Kisah bukit penuh tanaman obat ini bermula dari sakit kanker yang menyerang Oday beberapa tahun silam. Saat itu, dia sudah kehilangan harapan. Dokter sudah angkat tangan.

Saat itu, suami Oday bertemu seorang kerabat dari Sumatera yang memberikan tanaman bawang dayak (eleutherine bulbosa). Suaminya merebus bawang dayak itu, kemudian meminta Oday meminum airnya. Di situlah, keajaiban terjadi. Perlahan dia membaik.

Momen sembuh dari sakit itu jadi titik balik dalam hidupnya, menjadi titik nol di mana dirinya menulai lembaran baru. Dia lalu mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain. Dia tanami bukit itu dengan tanaman obat. Dia membuat herbarium, laboratorium, serta menyediakan rumah bagi mereka yang diserang kanker. Bukit itu menjadi rumah penyembuhan bagi banyak orang.




Cinta telah merekatkan Oday dengan semua tanaman. Berkat cinta pula, tanaman memberikan keajaiban berupa mukjizat kesembuhan. Tanaman menjadi penyembuh, penyedia pangan, penyedia oksigen, dan penyedia semua ekosistem yang membuat Oday lebih bahagia.

Proses penulisan buku menjadi awal bagi perkenalan saya dengan Mamah Oday. Setiap kali berkunjung, saya selalu diberikan banyak oleh-oleh berupa tanaman obat yang sudah diolah menjadi minuman segar.  Berkat tanaman itu, saya melalui pandemi Covid dengan bahagia.

Proses penulisannya tidak begitu sulit. Saya menulis serupa orang bercerita lepas. Saya ceritakan bagaimaa pertema berkunjung dan apa saja yang disaksikan. Saya tampilkan foto-foto perjalanan yang menarik.

Demi memperkaya tulisan, saya berikan infografik tentang tanaman yang disebut Oday. Saya pikir, buku ini kelak bukan sekadar kisah perjumpaan, tapi juga menjadi sarana edukasi bagi semua orang.

Tugas saya hanya menulis dan menyarikan. Saya tak menyangka jika buku saya sukses membuat Mamah Oday sangat bahagia. Dia berulang-ulang menyampaikan terima kasih. Baginya, karya itu sangat bagus dan bisa merekam semua yang dia rasakan.

Setelah itu, saya lama tak berjumpa Mamah Oday. Beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar suaminya meninggal dunia. Saya membayangkan betapa sedihnya Oday karena selama puluhan tahun dia selalu bersama suaminya, bahkan tak pernah melalui malam di tempat berbeda. Mereka selalu bersama.

Tiga hari lalu, Mamah Oday mengundang saya. Katanya, pihak Kehati akan meresmikan Tugu Kalpataru di Taman Herbal Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam. Tugu Kalpataru ini dibangun sebagai simbolis dari penghargaan Kalpataru 2018 yang diterima oleh Oday.

Sayang, saya tak bisa hadir. Padahal Mamah Oday dan pihak Kehati sangat berharap saya bisa hadir. Saya senang karena kontribusi Mamah Oday dalam melestarikan dan memperkenalkan tanaman obat nusantara kian dikenal.

Dedikasinya untuk memberikan edukasi dan pelatihan tentang pemanfaatan obat tradisional kepada khalayak luas, dianggap sejalan dengan pengembangan program bioprospeksi yang dijalankan oleh Yayasan Kehati.



Saat nembaca publikasi tentang peresmian tugu di kebun milik Oday, saya terkenang dengan perjumpaan dengannya. Saya ingat persis saat-saat menemaninya melihat tanaman. 

Dia menyapa tanaman serupa menyapa anaknya. “Hallo, apa kabar? Senang lihat kamu sehat dan subur,” katanya sembari mencium daun tanaman. Dia hirup aromanya sembari matanya tertutup. Dia resapi semua bau, lalu sejurus kemudian, dia tersenyum. Dia belai dan sentuh tanaman itu. Rona gembira dan bahagia memancar di wajahnya.

Saya jarang menemukan ekspresi seperti ini. Dia melihat tanaman seperti manusia, bukan komoditas. Tanaman dilihatnya sebagai entitas biologis. Tanaman punya jiwa, punya nyawa, sebagaimana manusia.

Mungkin ini yang menjelaskan mengapa tanaman bisa mengeluarkan semua saripati terbaik untuk Mamah Oday.

Berkat menulis, saya mengalami perjumpaan dengan banyak orang hebat yang menginspirasi dan serupa oksigen telah menghidupkan banyak sel-sel tubuh kita dengan kegembiraan. Terima kasih atas inspirasinya.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Selalu sama saat membacanya. Tidak terasa sudah di akhir kalimat. Layaknya Narkotika yang selalu membuat ketergantungan. Ah sudahlah, toh ini memang karakter dari sang penulis. ☺️☺️

Posting Komentar