Buku yang Saya Sukai di Tahun 2023

Anna lagi di ruang baca 

TAHUN 2023 adalah tahun penuh tantangan. Ekonomi dunia sedang melambat. Perang berkecamuk di Eropa Timur dan Timur Tengah. Di layar kaca, hampir setiap hari kita melihat ada tragedi kemanusiaan. 

D tahun ini, saya mengalami banyak hal. Mulai dari kehilangan pekerjaan, hingga mendapat pekerjaan baru. Saya juga mengalami krisis finansial gegara transaksi online.

Apapun itu, membaca buku dan menonton film selalu menjadi oase yang efektif untuk keluar dari masalah seberat apapun. Tenggelam dalam lautan buku selalu menjadi tempat sembunyi yang paling bagus. Berenang dalam buku-buku bagus selalu jadi strategi healing paling pas.

Sepanjang tahun 2023, saya membaca banyak buku bagus. Saya membaca beragam tema, mulai sejarah, sosial, hingga buku-buku bertemakan bisnis. Saya menyelami pikiran para ilmuwan dan pengarang, mulai dari Martin Bossenbroek hingga Napoleon Hill. 

Entah kenapa, ada rasa lapar untuk membaca banyak hal baru. Semakin banyak membaca, rasanya semakin banyak ketidaktahuan. Semakin terbentur pada satu kenyataan betapa kita sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Berikut daftar acak yang saya baca di tahun 2023.


Pembalasan Dendam Diponegoro (Martin Bossenbroek)

Buku ini masih hangat. Baru tiba dua hari lalu, Baru membaca satu bab, saya sudah jatuh cinta dengan isinya. Ini bukan sekadar sejarah. Gaya menulisnya lebih mirip novel. Kita hanyut mengikuti perjalanan seorang tokoh, dari zaman ke zaman.


Memang, buku-buku terbaik mengenai Diponegoro ditulis oleh Peter Carey. Namun buku yang ditulis sejarawan Belanda, Martin Bossenbroek ini, punya kekuatan. Martin menarik garis hubung antara Diponegoro dan tokoh-tokoh Indomesia modern, yakni Sukarno. 

Dia melihat sejarah tidak hitam putih. Dia tidak menghakimi masa lalu dengan cara pandang masa kini. Dia melihat sejarah sebagai lanskap di mana manusia mewarnainya dengan tindakan. Makanya, di buku ini, kita melihat pergulatan manusia. Kita membaca Pangeran Diponegoro versus Jenderal De Kock. Kita pun melihat jejaknya pada perseteruan antara Sukarno versus Van Mook.

Diponegoro kalah melawan De Kock. Tapi spiritnya tidak lantas hilang begitu saja. Spiritnya merasuki para founding father Indonesia, Sukarno, yang menang banyak saat berhadapan dengan Van Mook, tokoh penting Belanda.

Satu lagi. Gaya menulisnya mengingatkan saya saat mengikuti kuliah Southasian Studies yang diasuh Prof William Frederick. Belajar sejarah yang efektif adalah dengan cara menyelami samudera pengalaman seorang individu, memahami struktur sosial, lalu membaca arah sejarah masa depan.


Yang Tak Kunjung Padam (Soe Tjen Marching)

Siapkan tisu saat membaca buku ini. Isinya benar-benar membuat sedih. Ini kisah tentang mereka yang terbuang, mereka yang dihilangkan haknya sebagai warga negara, mereka yang tak bisa pulang.

Di akhir masa Bung Karno, ada ratusan, bahkan ribuan anak bangsa yang dikirim ke luar negeri. Pemerintah Indonesia mengirim mereka ke kampus-kampus besar di Eropa Timur. Mereka belajar keahlian yang spesifik, mulai kedokteran hingga nuklir. Juga bom atom.


Mereka yang dikirim ke luar negeri itu, sejatinya mengemban misi besar untuk Indonesia yang kuat dan perkasa. Apa daya, peristiwa 65 mengubah segalanya. Mereka yang dikirim itu langsung dicabut paspornya. Mereka tak bisa kembali pulang, meskipun sekadar menyentuh kaki ibunya.

Mereka tak paham apa itu komunis. Tapi label terlanjur dilekatkan pada mereka. Mereka menjadi korban dari kebijakan negara, yang justru meminggirkan rakyatnya sendiri.

Buku ini membuka lapis-lapis makna tentang mereka yang terbuang di negara lain. Mereka sering disebut eksil, meskipun definisi ini bisa diperdebatkan. Mereka yang terbuang itu adalah anak-anak bangsa terbaik.

Buku ini memotret sisi human interest dari mereka yang terbuang. Ada yang berhasil kembali, setelah sekian puluh tahun, namun Tanah Air tidak seramah yang mereka bayangkan. Banyak yang menerima stigma, dan kemudian memutuskan kembali ke Eropa.


Show Your Work (Austin Kleon)

Tahun ini saya membaca tiga buku dari Austin Kleon. Ketiganya adalah Steal Like An Artistm, Show Your Work, dan Keep Going. Saya menyukai ketiganya, namun jika diminta pilih satu, maka saya memilih Show Your Work.



Isinya gue banget. Austin Kleon ingin pekerja seni tetap pede dengan karyanya. Menurutnya, ceritakan pada orang tentang apa yang sedang Anda kerjakan. Terus berpikir positif dan bagikan proses kreatif Anda. Pada satu titik, orang akan mengenali Anda melalui karya-karya itu, sehingga membuka banyak peta jalan bagi kehidupan Anda.

Kata Austin, yang bukunya selalu menjadi New York Times Bestseller, tak perlu menjadi jenius untuk berkarya. Jadilah seorang amatir yang terus belajar hal baru. Jadilah diri sendiri untuk terus produktif. Abaika suara-suara sumbang. Temukan komunitas yang saling mendukung untuk sama-sama berkembang. 

Pendapat Austin bukanlah hal baru. Saya menemukan motivasi serupa saat membaca buku Writing Down the Bone yang ditulis Nathalie Goldberg, juga buku Big Magic dari Elizabeth Gilbert. Namun, tetap saja ada nutrisi baru yang menaikkan adrenalin saat membaca buku serupa.


Zaman Bergerak (Takashi Shiraishi)

Saat melihat buku Zaman Bergerak, karya sejarawan Jepang Takashi Shiraishi (terjemahan Hilmar Farid), diterbitkan ulang oleh Marjin Kiri, saya sangat gembira. Beberapa tahun lalu, saya membeli edisi bajakan, yang kualitasnya pas-pasan. Saya malah masih punya edisi bajakan. Pernah saya membaca edisi aslinya An Age of Motion yang diterbitkan Cornell.


Ini adalah satu buku sejarah paling menarik yang pernah saya baca. Gaya menulisnya serupa membaca Bumi Manusia karangan Pramoedya. Yang dibahas adalah situasi jelang kebangkitan nasional, saat ide-ide saling bertarung dan menjadi tanding dari kolonialisme.

Generasi kita hari ini hanya mengenal nama-nama seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, juga Sjahrir. Padahal generasi Sukarno ibarat striker yang menjebol gawang, setelah sebelumnya bola digiring oleh para libero dari generasi sebelumnya. 

Di antara mereka adalah Kartini, Tjipto, Tirto, Hadji Misbach, Semaun, Suwardi Suryaningrat, Mas Marco, dan banyak lagi. Tanpa sintesis gagasan mereka, tak akan muncul konsep-konsep kebangsaan yang justru melampaui zamannya.

Mereka tidak bertarung di medan laga. Mereka berdebat di medan gagasan-gagasan. Betapa serunya menyimak artikel Tirtoadhiseorjo di Medan Prijaji, Mas Marco menulis di koran Dunia Bergerak, Tjokroaminoto di Oetoesan Hindia, Semaoen di Sinar Djawa, Misbach menulis di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, hingga Soewardi Soerjaningrat menulis di harian De Express.

Sungguh menyedihkan karena hari ini, mereka semua terabaikan. Beberapa dari mereka diberi stigma sebagai komunis yang tak perlu dikenang sejarah. Mereka dianggap tidak penting dan hanya dianggap sebagai catatan kaki dari sejarah pergerakan kebangsaan kita.

Padahal ada masa di mana tak ada kategori-kategori. Yang ada adalah dialektika gagasan dan adu wacana. Sebab kebangkitan berawal dari kesadaran akan posisi bangsa. Mengutip Takashi Shiraishi, “Dicerahkan kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak.”


Unstoppable (Yuval Noah Harari)

Di tahun 2023, saya membaca buku Unstoppable Us: How Humans Took Over the World yang ditulis tahun 2022. Buku ini ditujukan untuk kanak-kanak, makanya dikemas menarik. Ada ilustrasi komik dan gambar-gambar untuk melengkapi narasi yang dituturkan dengan ringan.


Buku ini menyederhanakan berbagai penjelasan tentang arkeologi, sejarah, dan geografi dalam bahasa yang mudah dipahami siapapun. Ide-ide dalam buku Sapiens, yang ditulis Harari, tidak lagi secara eksklusif untuk orang dewasa, tapi juga dipahami anak-anak.

Saya pikir anak-anak perlu mendapatkan bacaan ilmiah, tapi mudah dipahami. Kita tak bisa lagi menjawab pertanyaan anak-anak hanya dengan menunjuk langit. Sedari dini, anak-anak sudah harus diperkenalkan dengan penalaran serta fakta-fakta ekologis.

Di buku ini, dia membahas hal-hal yang agak berat, misalnya bagaimana cerita-cerita telah menyatukan manusia dan membuat manusia bisa bekerja secara kolektif. Dia juga membahas spesies manusia lain, sebelum akhirnya bumi hanya dikuasai oleh spesies manusia sekarang.

Saya menemukan sosok Harari dalam buku ini serupa kakek yang mendongeng pada cucunya mengenai alam semesta. Dia mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi kemudi untuk berlayar di lautan argumentasi.

Saya kutipkan pertanyaan di bab awal. Dia mengatakan: “Kita manusia tidaklah sekuat singa. Kita tidak bisa berenang selincah dolphin, kita tidak punya sayap seperti elang. Lantas, bagaimana kita bisa menjadi makhluk yang memimpin planet ini? Jawabannya ada pada kisah paling aneh yang akan kamu dengar. Yuk, kita ikuti ceritanya.”


Rasa Tanah Air (Fadly Rahman)

Sejarah tak selalu berisikan kisah-kisah orang besar, para raja, para bangsawan, juga kisah kepahlawanan. Sejarah juga berisi tentang mereka yang jadi warga biasa, tentang hal-hal biasa, tentang kebiasaan-kebiasaan unik, juga kisah-kisah di tepian. Di antaranya adalah kisah kuliner dari masa ke masa.


Saya senang membaca buku sejarah kuliner yang ditulis Fadly Rahman. Saya mengoleksi semua buku-bukunya yang selalu sukses bikin saya lapar akan hal2 baru. Kini, saya membaca buku ketiganya yang berjudul Rasa Tanah Air yang berkisah tentang bagaimana kuliner Indonesia menyebar ke manca-negara.

Buku ini bercerita bagaimana kuliner Indonesia menyebar hingga negeri-negeri yang jauh. Kuliner itu menyebar seiring dengan berdiasporanya bangsa Indonesia ke berbagai titik. Saya ingat liputan di media Singapura mengenai cendol, yang sempat diklaim Malaysia dan Singapura. Rupanya sejarahnya terpaut jauh di Jawa pada masa-masa kerajaan.

Di tangan sejarawan seperti Fadly, kuliner menjadi pintu masuk untuk mengenali sejarah, mehamai budaya manusia Indonesia, serta bagaimana kuliner itu menyebar ke banyak titik, namun tetap memiliki pertautan rasa dengan tanah air. 


Ras, Kelas, Bangsa (Andi Achdian)

Jika buku Zaman Bergerak memotret dinamika pergerakan di Solo, maka buku Ras, Kelas, Bangsa ini memotret kota Surabaya yang kosmopolit di abad ke-20. Kisahnya seru sebab semua ras berkontestasi menuju kemerdekaan di “Surabaya yang panas.”


Saya mengenal baik penulisnya, Andi Achdian, sebab dulu sama-sama belajar di kampus UI. Sejak dulu, dia sudah hebat. Saya tidak terkejut jika dia bisa menulis buku sebagus ini. 

Menurut saya, dia cukup berani mengangkat topik yang tidak mudah. Buku ini memotret bagaimana politik pergerakan antikolonial, baik yang moderat maupun radikal, kooperatif maupun nonkooperatif, mau tak mau harus berhadapan langsung dengan persoalan perbedaan dan ketimpangan rasial di koloni ini. 

Di masa itu, kaum pergerakan punya agenda pergerakan untuk melawan kaum kulit putih. Tapi di saat bersamaan, mereka juga harus memberi ruang bagi berbagai ras yang juga ikut bergolak melawan penjajah. Berbagai kelompok masyarakat dari kalangan bumiputra, Eropa, Indo-Eropa, Tionghoa, dan Arab turut ambil bagian dalam aktivitas politik antikolonial. 


Rework – Remote (Jason Fried & David Heinemeier Hansson)

Sejatinya ini terdiri atas dua buku. Pertama buku Remote, yang isinya pengalaman pengusaha start-up yang mempekerjakan karyawan dari jarak jauh. Kedua, Rework yang membuka pandangan tentang dunia bisnis.

Menurut saya, buku ini serupa “mercon yang diledakkan dalam kepala.” Isinya membuat saya mengubah banyak pandangan tentang dunia bisnis. Yang ditulis di sini adalah pengalaman dua penulisnya dalam mengembangkan bisnis hingga menjadi raksasa.

Buku ini mengajarkan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Saya jadi tahu, apa yang ada di teori-teori tidak selalu benar. Di antaranya adalah jangan terlalu banyak rencana dan rapat-rapat. Langsung kerjakan sesuatu, dan belajar sambil jalan. Ide orisinil hanya bagian kecil, namun terpenting adalah bagaimana mengeksekusinya.


Komik Dunia Sophie (Jostein Gaarder)

Lebih 20 tahun lalu, saya membaca kisah remaja bernama Sophie Amundsend belajar filsafat melalui surat-surat yang diterimanya dari seseorang. Kini, saat membaca lagi kisah Dunia Sophie dalam versi komik grafis, sensasinya masih sama.


Bagi saya Dunia Sophie, yang ditulis Jostein Gaarder, adalah buku yang membuka gerbang pengetahuan. Buku ini meluruskan banyak hal tentang filsafat. Buku ini menjadi awal dari membaca berbagai literatur filsafat yang ternyata ringan dan enak dibaca. 

Kekuatan Dunia Sophie adalah kemampuan untuk membumikan hal rumit menjadi sederhana dan bisa dinikmati semua kalangan. Tak perlu berkerut kening untuk membaca novel ini. Cukup punya hasrat ingin tau dan rasa penasaran ala membaca novel-novel detektif.

Sebab novel ini menjadikan kisah filsafat seerti himpunan teka-teki. Kita bertualang ke masa lalu, berusaha memahami semesta, lalu menceritakan ulang kepada semua orang. Kita bepergian ke rumah gagasan-gagasan, kemudian menyarikan ulang semua pengalaman berharga itu.


Meaningfull Storytelling (Yoris Sebastian & Umayanti Utami)

Ini buku kedua dari Yoris Sebastian yang saya koleksi. Sebelumnya, saya membaca bukunya yang berjudul Generasi Langgas. Buku Meaningful Storytelling ini harusnya dimiliki oleh para kreator konten, humas, juga semua praktisi digital.


Sejak zaman Adam, manusia memiliki kemampuan bercerita. Kata Harari, kemampuan ini memungkinkan manusia untuk bekerja sama dengan manusia lain dalam skala massif. Berbagai cerita telah menghubungkan manusia satu sama lain, membuat mereka bisa bekerja sama, serta melakukan berbagai proyek besar. Manusia membentuk peradaban berkat cerita.

Buku ini mengajak semua orang untuk membagikan cerita-cerita inspiratif, yang bisa dikemas dalam berbagai platform media. Yoris berharap buku ini memantik semangat orang Indonesia untuk berbagi ha baik, bukannya berbagi hoaks.

Dalam buku ini ada kisah dari Samuel Ray yang sedari dulu sering membagikan tips-tips bagi para pencari kerja, mulai dari followers yang sedikit hingga kini followers-nya sudah sangat banyak, semua ini karena sifat konsisten yang dia miliki. 

Buku ini juga menyajikan hal praktis, agar semua orang bisa merancang konten yang bermakna. Pelajaran penting yang saya dapatkan, semua orang bisa merancang meaningful storytelling-nya masing-masing, sehingga dunia akan lebih baik.


Think and Grow Rich (Napoleon Hill)

Dalam buku yang pertama terbit tahun 1937 ini, Napoleon Hill mewawancarai lebih 500 orang kaya, lalu merumuskan prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka anut dan yakini hingga bisa menggapai kekayaan.


Memang tidak semua orang kaya itu baik, tapi tidak semua juga jahat. Mereka tidak berbeda dengan kaum kebanyakan. Mereka tak ada bedanya dengan kaum miskin.

Bedanya, orang-orang kaya selalu memiliki keyakinan kuat untuk menggapai impiannya. Mereka punya hasrat, melihat masa depan yang hendak digapai, lalu merumuskan langkah-langkah utuk menggapainya. 

Mereka pemimpi besar yang punya keyakinan kuat, lalu menjadikan keyakinan itu sebagai alam bawah sadar, yang memberinya kekuatan untuk melihat celah dan peluang. 

Hill menyebutnya keyakinan ini sebagai autosugesti. 

Pada mulanya, seseorang membayangkan dirinya punya kekayaan tertentu. Seseorang itu lalu mencatat dan mengulang-ngulang keinginannya itu sehingga tersimpan di alam bawah sadar lalu menjadi hasrat.

Hasrat itu lalu menjadi dorongan kuat baginya untuk bergerak. Dia menjadi lebih peka dengan berbagai peluang, membangun jaringan dengan mereka yang berhasrat sama, hingga mencapai titik kekayaan.

Bagi Hill, rumus klasik yang menyatakan kekayaan adalah hasil dari kerja keras dan kejujuran adalah rumus yang keliru. Kalau sekadar mendapat uang, maka kejujuran dan kerja keras itu penting.  Tapi untuk menjadi kaya, maka butuh lebih dari itu. 

Kekayaan adalah hasil yang muncul dari keyakinan dan hasrat kuat, rencana-rencana yang dijalankan, serta membangun tim dengan master mind yang sama. Kekayaan adalah buah dari pikiran, tindakan, dan langkah-langkah terorganisir.

Buku yang menarik.

*** 

BUKU di atas hanya sebagian dari banyak koleksi buku yang saya baca di tahun 2023. Saat ini, saya lagi menuntaskan buku Dunia Hantu Digul yang ditulis Takashi Shiraishi. Ada juga buku Merdeka dari Harry Poeze, serta buku Dunia Revolusi. 

Saya juga membaca ulang serial Percy Jackson gara-gara serialnya tayang di Disney Hotstar. Membaca buku serupa menikmati kuliner. Setiap beberapa jam, Anda akan merasa lapar dan harus segera mengatasinya. Makanya, koleksi saya terus bertambah. Rumah saya penuh dengan buku.

Selamat datang tahun 2024. Semoga makin banyak buku bagus.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015



0 komentar:

Posting Komentar