Saat Bahasa Makassar Melalangbuana di Jagad Digital

suasana launching kamus digital bahasa Makassar


Dahulu, bahasa Makassar menyebar ke negeri-negeri di bawah angin timur, tersebar hingga tanah Marege (Australia), berkelana jauh hingga Cape Town (Afrika Selatan) seiring dengan gerak pelaut Makassar meniti buih.

Kini, bahasa Makassar berkelana ke jagad digital, menelusuri semua gawai dan gadget, mendatangi semua warga dunia. Semuanya berkat ikhtiar banyak pihak. Mulai Badan Bahasa, Rumata Artspace, BasaIbu Wiki, hingga Kedutaan Besar Amerika Serikat.

***

“Aga kareba. Bajji-baji ji?”

Di lantai tiga Pacific Place Mall, perempuan berwajah manis itu meneriakkan kalimat dalam bahasa Makassar. Dia menyapa audience yang banyak di antaranya anak-anak muda warga Makassar.

Kemarin, Kamis (7/3/2024.), suasana kantor @america, pusat pendidikan di bawah koordinasi Kedutaan Besar Amerika Serikat, seakan pindah ke kota Makassar. Banyak orang berbahasa Makassar sembari sesekali menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Perempuan itu membuka acara Peluncuran Kamus Digital BasaSulsel Wiki dan BasaKalimantan Wiki. Peluncuran ini didukung oleh Badan Bahasa, Rumata Art Space, BasaIbu Wiki, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Atasa Kebudayaan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, Emily Yasmin Norris, menyambut baik acara ini. Dia menuturkan, yang diluncurkan hari itu adalah BasaSulsel dan BasaKalimantan. Menurutnya, upaya untuk membawa bahasa lokal ke jagad digital itu didukung penuh kedutaan melalui skema dana hibah.

Atase Kebudayaan Amerika Serikat, Emily Noris

“Ini menandai 75 tahun hubungan Amerika Serikat dan Indonesia. Kita mengusung tema Diversity, Democracy, and Prosperity. Kami menyiapkan dana hibah untk membantu Upaya penyelamatan bahasa daerah di Indonesia. Kami mendukung upaya pelestarian bahasa. Sebab ini adalah bagian dari demokrasi,” katanya.

Di tempat yang sama, Kepala Badan Bahasa Sulsel, Dr Ganjar Harimansyah, yang hadir via daring, menjelaskan inisiatif itu asudah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Pihaknya sudah mengumpulkan kosa kata, kemudian berupaya untuk menginternasionalisasi bahasa local, dan menerapkannya di sekolah-sekolah.

Badan Bahasa Sulsel lalu berkolaborasi dengan Rumata Art Space, yang digawangi Riri Riza dan Lily Yulianti Farid (alm), untuk mendigitalkan kamus tersebut sehingga bsia diakses semua orang di berbagai lokasi. Harapannya, generasi muda bisa menjangkau kamus itu di mana pun mereka berada.

Ikhtiar ini patut diacungi jempol. Sebagaimana dituturkan Ita Ibnu dari Rumata Art Space, bahasa Makassar mulai jarang digunakan. Anak-anak muda Makassar mulai jarang berbahasa lokal, sebab lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Kekhawatiran akan punahnya bahasa Makassar ini harus diantisipasi semua pihak. Dahulu, bahasa Makassar tersebar hingga ke negeri-negeri jauh, seiring dengan perjalanan para pelaut Makassar meniti buih.

Kosa kata bahasa Makassar menyebar hingga tanah Marege (Australia). Akademisi  Campbell  McKnight menuturkan jejak itu dalam bukunya Voyage to Marege. Menurut catatannya, para pelaut Makassar telah lama meninggalkan jejak interaksi dengan penduduk Aborigin. Pelaut Makassar tak cuma berdagang, tapi juga memperkaya kosa kata Suku Aborigin.

Paul Thomas, peneliti Monash University, menjelaskan sekitar 300 lebih kosa kata bahasa Yolngu, salah satu sub etnik Aborigin, dipengaruhi oleh kosa kata bahasa Makassar.

Dalam laporan yang bertajuk “Austronesian Loanwords in Yolngu-Matha of Northeast Arnhem Land” yang ditulis oleh Alan Walker and R David Zorc dari Australian National University (ANU) pada tahun 1981 mencantumkan berbagai kata yang dipengaruhi oleh para pelaut dari Makassar.

Di antaranya adalah kata jinapan yang berarti sama dengan kata senapan dalam bahasa Indonesia saat ini, jalatanyang sama artinya dengan kata selatan, jaran yang penggunaannya merujuk pada kuda, lipalipa yang sama dengan kosa kata bahasa Bugis yang berarti kano, hingga bandira dari kata bendera.

Menurut Paul, penyerapan bahasa ibu para pelaut Makassar itu terjadi karena hubungan dagang yang terbangun antara keduanya. Demi hubungan dagang, kedua kelompok harus menyepakati bahasa komunikasi.

Bukan hanya Australia, jejak-jejak bahasa Makassar juga bisa ditemukan di Madagaskar (Afrika), hingga Cape Town. Semuanya menunjukkan adanya pertalian melalui aktivitas perdagangan

Ini semakin menguatkan tesis Denys Lombard dalam bukunya “Le carrefour javanais”atau “Nusa Jawa Silang Budaya” tentang globalisasi yang sejatinya sudah berlangsung di abad ke-10 hingga abad ke-13, di mana banyak orang melakukan lintas benua dan berinteraksi di berbagai pelabuhan, sehingga peradaban kian mekar.

Sayang sekali, catatan emas penyebaran bahasa Makassar itu tidak seberapa benderang di masa kini. Ketika Makassar teriterasi ke dalam NKRI, bahasa lokal kian menyempit.

Perannya kian terpinggir hingga ke komunitas yang masih mempertahannya. Kota-kota menjadi global dan seragam. Semua warga berbahasa Indonesia, lalu perlahan berbahasa Inggris. Anak-anak muda mulai jarang berbahasa lokal. Mereka tercerabut dfari akar kulturalnya sehingga menjadi generasi yang lupa identitas, lupa sejarah.

Riri Riza

Namun, apakah kenyataan memang semiris itu? Sineas Riri Riza merasa optimis dengan situasi kekinian. Dia melihat banyak generasi baru yang mulai perlahan memgangkat kembali istilah-istilah lokal. Baginya, saat semua jadi global, maka saat itulah jangkar kebudayaan harus diperkuat.

Dia menyebut generasi baru perlahan mulai memasyarakatkan istilah lokal. Dia mencontohkan film lokal berjudul Ambo Nai.

“Film ini judulnya berani. Saya tidak tahu apa itu Ambo Nai. Tapi saya anggap memilih judul ini butuh keberanian. Ternyata isi filmnya juga hebat dan disukai banyak orang. Ada juga judul Uang Panai. Ini menunjukkan bahasa lokal mulai masuk ke budaya popular,” katanya.

Riri juga mengambil contoh beberapa rapper anak muda Makassar yang bersenandung dengan bahasa lokal. “Dengan masuk ke budaya popular, kita bisa melamgkah lebih jauh,”katanya.

Di ruangan itu, aroma optimisme kian menguat. Semua seakan sepakat bahwa perlu ada langkah-langkah yang diambil untuk kembali menjadikan bahasa Makassar sebagai bahasa berdaya. Daripada duduk diam dan merutuki keadaan, lebih baik bergerak dan menyalakan cahaya.

Hari itu, sebuah langkah berani telah ditempuh. Setelah upaya digitalisasi, tugas berikutnya sudah menunggu. Yakni bagaimana menjadikan bahasa itu kembali menjadi bahasa pergaulan, bahasa komunikasi, dan bahasa yang melambangkan identitas lokal.

Langkah kedepan terbilang cukup menantang. Namun orang Makassar tak kenal kata menyerah. Para pelaut punya semboyan: “Kualleanna Tallanga Na Toalia.” Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai. 



0 komentar:

Posting Komentar