Tepat di tanggal 1 Januari 2024, Thomas Trikasih Lembong membagikan informasi mengenai buku-buku yang paling disukainya sepanjang tahun. Dia menyebut tiga buku, yakni Start with Why dari Simon Sinek, Atomic Habits dari James Lear, dan Factfulness dari Hans Rosling.
Buku-buku tersebut bukanlah buku baru bagi mereka yang suka membaca buku bisnis dan manajemen. Namun buku-buku itu penting bagi mereka yang ingin mendisiplinkan diri, bergerak serta setahap demi setahap mencapai kesuksesan.
Bukankah Thomas Lembong sudah lama menikmati kesuksesan, baik sebagai konsultan bisnis, hingga dua kali menjabat sebagai Menteri di era Jokowi? Apa gerangan yang dicarinya?
Mari kita membahas pria ini.
***
Di podcast Prof Rhenald Kasali dia berbicara banyak. Kalimatnya terbata-bata. Datar dan tanpa intonasi. Diksinya terlihat terbatas. Dia terlihat lebih fasih berbahasa asing, ketimbang bahasa Indonesia.
Biarpun bukan pendukung Anies, saya senang mengamati berbagai wawancara Thomas Lembong. Saya lihat, dia lebih menarik ketimbang capresnya Anies Baswedan. Thomas selalu genuine, fokus pada substansi dan argumentasi. Terlihat jelas kalau dia rajin membaca dan kaya dengan wacana.
Tom, lelaki asal Manado yang lahir pada 4 Maret 1971, kini wara-wiri di dunia politik. Dulu, dia seorang profesional yang menikmati kerja sebagai konsultan bisnis di luar negeri. Kini, dia menemani Anies ke mana-mana.
Di beberapa wawancara, dia kerap mengeluarkan nujuman politik. Sebagai investor dan trader, dia terbiasa mengambil risiko di pasar saham. Terkait keputusannya untuk bergabung dengan Anies, dia menjelaskannya dari sisi seorang investment maker.
"Justru karena menurut perhitungan saya kans untuk menang Anies-Muhaimin terbuka lebar bahkan sangat baik. Bahkan saya suka bilang ini investasi yang paling menarik yang pernah saya buat dalam karir saya sebagai investment maker," ujarnya.
Hubungannya dengan Anies terbilang panjang. Bukan hanya sebatas sesama alumni Amerika, namun keduanya adalah profesional yang pernah mendukung Jokowi dan menjadi menteri.
Ketika Anies menjadi Gubernur DKI, Tom dipercaya menjadi Komisaris Utama di beberapa perusahaan milik pemda. Tak hanya itu, Tom juga menjadi jembatan bagi Anies untuk melobi ke sejumlah lembaga internasional.
Semasa menjadi Gubernur, Anies sempat mengunjungi sejumlah bankir dan lembaga finansial – seperti European Investment Bank (EIB) yang merupakan lembaga pinjaman dari Uni Eropa (UE).
Demikian pula saat Anies berkunjung ke Eropa. Dia bertemu dengan berbagai unsur masyarakat – mulai dari akademisi (University of Oxford dan King’s College, London), pemerintahan (Mendag Internasional Inggris Anne-Marie Trevelyan dan Wali Kota Berlin Franziska Giffey), media (BloombergNEF), dan ekonom (EIB). Semua atas lobi Tom Lembong.
Pria alumnus Harvard ini bukanlah kaleng-kaleng. Ia meraih gelar sarjananya di Universitas Harvard pada 1994 dengan gelar Bachelor of Arts di bidang arsitektur dan tata kelola.
Setelah lulus, ia bekerja di Divisi Ekuitas Morgan Stanley di New York dan Singapura pada 1995. Ia kemudian menjadi bankir investasi di Deutsche Securities Indonesia pada 1999-2000.
Jejak kariernya mentereng. Tom bekerja di Deutsche Bank di Jakarta periode 1998-1999. Tugasnya, mengerjakan rekapitalisasi dan merger Bank Bumi Daya, Bank Eksim, Bank Dagang Negara dan Bank Bapindo menjadi Bank Mandiri.
Ia pun sempat menjadi Senior Vice President dan Kepala Divisi penanggung jawab restrukturisasi dan penyelesaian kewajiban Salim Group kepada negara akibat Bank BCA runtuh pada krisis moneter 1998.
Hingga akhirnya dia dua kali menjadi menteri di kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Dia juga menjadi penulis pidato Jokowi. Salah satu pidato terbaik Jokowi disampaikan saat acara WTO di Bali, di mana Jokowi mengutip Game of Thorne. Itu buatan Tom Lembong.
Dia juga cukup tajir. Dalam laporan yang disetornya ke negara, kekayaan terbesarnya bukanlah aset rumah, bangunan, dan emas. Kekayaan terbesarnya adalah surat-surat berharga senilai 94,5 miliar rupiah. Total kekayaannya adalah Rp 101,5 miliar.
Kehadiran Tom Lembong adalah oase baru di dunia perpolitikan Indonesia. Politik kita banyak dipenuhi figur inkompeten yang mencari nafkah di jalur politik. Banyak tim sukses atau lingkar inti calon presiden adalah mereka yang berharap jadi Menteri, komisaris, atau proyek-proyek jika calonnya terpilih.
Dia sepertinya jauh dari hasrat tersebut. Dia sudah melampaui semua yang diincar oleh para pencari cuan di sekitar calon presiden. Dia sudah selesai dengan dirinya.
Bisa dibilang dia amat cerdas. Dia alumnus Harvard University, yang alumninya di Indonesia tidak banyak, namun di dunia internasional, banyak memegang posisi kunci. Dia punya jejaring internasional yang baik. Dia bisa mengetuk berbagai lembaga dan organisasi internasional.
Sebagai investor, dia paham dengan semua risiko yang diambilnya. Jika kalah, dia bisa kehilangan segalanya. Apalagi, dunia politik kita tidak seperti dunia bisnis, yang bisa dibaca pola dan arahnya ke mana. Politik kita, sebagaimana ditulis Philip Philpott adalah kuburan bagi banyak analis karena banyak hal yang cepat berubah.
Dalam pembicaraan di podcast Prof Rhenald Kasali, dia mengakui kalau urusan rezeki dan dunia, dia sudah lebih dari cukup. Dengan mendukung Anies, dia mengaku sedang berinvestasi untuk Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Dia ingin memberi secuil perubahan demi bangsa dan negara.Dia meneukan alasan kuat untuk bergerak.
Saya ingat buku Start With Why dari Simon Sinek yang dibaca Tom Lembong. Kata Sinek, orang sukses adalah mereka yang menemukan spirit kuat dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Mereka menemukan WHY, lalu menerabas semua belukar permasalahan, demi menggapai apa yang diidamkan. Mereka tidak cuma dipandu rasio, tapi juga hasrat kuat untuk bergerak.
Di mata saya, Tom Lembong terlalu lurus untuk masuk dunia politik. Dunia politik kita penuh intrik dan sukar ditebak. Politik kita penuh dengan permainan, yang hasil akhirnya sulit ditafsir.
Tom memang cerdas dalam mengurai ekonomi, namun argumentasinya yang hebat-hebat bisa sirna serentak saat berhadapan dengan sosiologi masyarakat kita yang lebih menghargai pembagian bansos ketimbang ide-ide.
Di titik ini dia berhadapan dengan real politics, di mana argumentasi harus diturunkan menjadi strategi kemenangan yang bisa menjadi amunisi bagi semua relawan untuk bergerak.
Yang pasti, Tom Lembong selalu meninggalkan jejak basah di politik kita. Dia anak bangsa, profesional dengan jejaring internasional yang kembali untuk bangsanya. Dia ibarat burung yang kembali ke sarang. Kita bangga dengannya.
1 komentar:
Jadi makin tau siapa Thomas Lembong. Belakangan makin sering baca/dengerin pikiran-pikiran beliau.
Posting Komentar