Ada FILSAFAT di Balik “Avatar: The Last Airbender”

Avatar The Last Airbender


TUHAN sedang berbaik hati pada penggemar anime. Beberapa bulan lalu, versi live action dari kartun One Piece hadir di Netfix. Kini, serial Avatar The Last Airbender versi live action diluncurkan.

Ada rasa haru dan nostalgia saat menyaksikan serial ini. Lebih 10 tahun lalu, saya mengikuti serial tentang bocah plontos yang keluar dari bongkahan es setelah tertidur 100 tahun. Serial ini mengisahkan suatu masa di mana ada 4 bangsa yang berinteraksi, yakni Air, Api, Angin, dan Tanah. Hingga Negara Api menyerang bangsa lain dan menguasai dunia.

Aang, seorang anak kecil berkepala plontos menyandang amanah sebagai Avatar yang hendak mengembalikan keseimbangan dunia. Saat dia dalam keadaa nirsadar, dia bisa memiliki kekuatan maha besar dan menguasai keempat unsur. Dia melawan Negara Api untuk mengembalikan keseimbangan.

Aang tak sendirian. Dia ditemani oleh prajurit Suku Air, yakni Katara dan Soka.Mereka menjadi tim yang kompak dan saling bantu dalam menghadapi Negara Api. Mereka adalah tim yang saling melengkapi.

Yang saya suka dari serial ini adalah gambaran yang dibuat presisi sebagaimana versi animasinya. Malah film ini menggambarkan setting dengan megah. Mulai dari Suku Air di Kutub Utara yang budayanya seperti orang Eskimo, Pulau Kiyoshi yang budayanya seperti Jepang kuno, Omashu yang seperti Asia Selatan, hingga Pengembara Udara yang perkampungannya seperti Tibet.

Namun, saya tidak akan mengurai sinopsis dari serial ini. Saya ingin melihat sisi lain. Bagi saya, serial ini bukan sekadar hiburan, tetapi mengandung banyak inspirasi dan telaah filsafat dan sosiologis. Serial Avatar menghadirkan pergulatan ide-ide atau gagasan.

Realitas sosiologis negeri dalam kisah ini adalah risalah filsafat Democritus yang menyebutkan bahwa alam semesta tersusun atas empat unsur utama yaitu api, air, tanah, dan udara.

Keempat unsur ini menjadi partikel yang menyusun atom bernama semesta. Konflik dan resistensi di antara unsur-unsur ini menjadi dinamika yang menjaga keseimbangan alam sekaligus harmoni semesta.

Tak ada realitas atau unsur yang buruk, sebab semua menyandang takdir berbeda dan saling menyeimbangkan sesuai dengan garis edar atau ziarah masing-masing unsur.



Serial ini menjadi pintu masuk untuk menelaah filsafat, sosiologi dan masa depan manusia. Di tahun 2022, terbit buku berjudul Avatar: The Last Airbender and Philosophy: Wisdom from Aang to Zuko, yang merupakan seri dari The Blackwell Philosophy and Pop Culture Series.

Buku ini membahas filsafat dari semua karakter. Di antara analisis yang saya sukai adalah analisis Profesor Justin White tentang karakter Zuko yang bergerak dari kegelapan menuju terang benderang berkat pemahaman filosofis yang kuat.

Dalam buku ini, para pemikir berbagi gagasan bagaimana memahami serial ini dan membawa perdebatannya ke arah filosofis. Mereka mengurai filsafat Timur, Barat, dan kearifan lokal, sebagaimana disampaikan sosok Paman Iroh dalam serial ini.

Serial ini membantu kita untuk memahami berbagai pertanyaan penting, misalnya bagaimana menangani kerusakan ekologi, dampak kolonialisme dan genosida, dan kesenjangan kekayaan, dengan menggunakan khasanah dari berbagai tradisi filosofis.

Saya menyarikan tiga poin penting yang bisa ditemukan dari buku ini.

Pertama, sebagaimana dikemukakan kreatornya Bryan Konietzko dan Michael Dante DiMartino, “manusia tidak selalu baik atau jahat, tetapi berada dalam keadaan seimbang atau tidak seimbang.”

Semua karakter dalam Avatar tidak selalu melakukan hal yang “benar” dan karakter “jahat” tidak selalu melakukan hal yang “salah”. Setiap karakter dapat dilihat dalam tingkat "keseimbangan" yang berbeda-beda.

Sebagai Avatar, Aang melambangkan pentingnya keseimbangan. Untuk menguasai keempat elemen dan membawa keseimbangan pada dunia, Aang pertama-tama diharuskan mencapai keseimbangan dalam dirinya.

Namun, Aang tetaplah manusia yang memiliki kekurangan. Aang sangat spiritual, seorang pasifis yang taat, dan secara alami memiliki karakter yang “seimbang.” Aang seperti 'kehilangan keseimbangan' karena ia diliputi emosi dan bereaksi tanpa melakukan refleksi terlebih dahulu.

Kedua, serial ini menggambarkan filsafat messianisme. Serial ini seakan menganfirmasi pandangan dari sejumlah filsuf maupun agamawan yang hingga kini masih meyakini kelak akan hadir seorang pembebas sebagaimana yang dituturkan dalam berbagai kitab suci.

Selama 100 tahun lenyapnya Aang, manusia menantikan sosok penyelamat. Kerinduan akan sosok Avatar ini adalah sesuatu yang universal dalam sejarah peradaban manusia.

Konsep Avatar muncul di hampir semua peradaban dan kebudayaan manusia sebagai bentuk kerinduan akan hadirnya sosok manusia sempurna yang kelak akan menghancurkan ketidakadilan, menjaga nilai, serta memperkuat moralitas serta tatanan peradaban yang lestari.

Dalam Hindu, Avatar adalah keturunan dewa yang turun ke bumi dan berwujud manusia. Titisan Dewa ini mengemban tugas untuk menegakkan kalimat kebenaran dan menjadi medium penghancur kejahatan. Itu bisa dilihat pada sosok seperti Krisna, Rama, dan Buddha.



Dalam keyakinan Kristen, konsep “Avatar” adalah konsep messiah. Kata messiah kerap dimaknai sebagai Kristus atau penyelamat. Nama ini dilekatkan pada belakang nama Yesus sehingga menjadi Yesus Kristus atau Yesus Sang Penyelamat. Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) banyak mengisahkan ini (lihat Isaiah 53).

Islam juga mengenal keyakinan tentang “Avatar” atau “Messiah” ini. Keyakinan itu termanifestasi dalam sosok Imam Mahdi yang digaibkan dan kelak akan hadir dalam satu setting sosial yang kian amburadul.

Messiah juga muncul di berbagai kebudayaan. Orang Jawa hingga kini masih meyakini akan adanya Ratu Adil yang kelak akan membawa Jawa ke era Gemah Ripah Loh Jinawi. Dalam studi Sartono Kartodirdjo, keyakinan ini justru menjadi api yang membakar semangat perlawanan orang Jawa untuk menentang ketidakadilan.

Ketiga, adanya unsur filosofi Timur yang kental. Mari kita lihat beberapa karakter. Aang adalah anggota Pengembara Udara (Air Nomads), sebuah bangsa biksu mandiri yang tinggal di kompleks kuil kuno mistis bersama dengan bison langit terbang.

Gambaran tentang tanah kuno yang harmonis ini memiliki banyak kesamaan dengan mitos Shambala, sebuah lembah yang konon ada di wilayah terpencil di Tibet. Di sini, setiap orang hidup dalam harmoni dalam masyarakat beragama yang sempurna. 

Aang, sang tokoh utama, memiliki seorang guru yang paling dekat dengan seorang ayah, seorang biksu tua bernama Gyatso. Dalam bahasa Tibet, Gyatso berarti “Laut” dan merupakan nama belakang Dalai Lama saat ini, Tenzin Gyatso.

Kita bisa menyaksikan bagaimana ajaran Buddha ditampilkan dalam serial ini. Mulai dari bagaimana membuka cakra, hidup vegetarian, konsep samsara dan pelepasan duniawi, hingga bagaimana dilema dihadapi Aang. Dia tidak ingin membunuh Raja Api Ozai sebab ajaran Buddha melarangnya.


Serial ini mencapai konklusi, Aang menyalurkan kekuatan spiritualnya dan dalam pertempuran seru terakhir. Dia berhasil menghilangkan kekuatan pengendalian api dan menaklukkannya tanpa membunuhnya.

Ini adalah pesan yang jelas. Bahwa seseorang yang hina seperti Ozai tetap salah jika dia dihancurkan secara spiritual. Dia harus mendapatkan pengampunan dan kesempatan kedua. Hal ini sejalan dengan cita-cita Budha dan Hindu tentang ahimsa, atau nir-kekerasan.

Baik versi kartun maupun live action, tokoh favorit saya adalah Paman Iroh. Dia sosok dari Negara Api yang paling bijak. Dia melampaui semua batasan sosiologis, dan melihat semua orang dalam satu semesta.

Salah satu kutipannya yang saya sukai adalah: "Perfection And Power Are Overrated. I Think You Are Very Wise To Choose Happiness And Love."



0 komentar:

Posting Komentar