Profesor Sumbangan Baja, Seniman Geo-Spasial di Birokrasi Unhas

Sumbangan Baja


Hari itu, di tahun 1988, suasana ramai di acara wisuda kampus Universitas Hasanuddin. Saat itu, Rektor Unhas Prof Fachrudin, memintanya berdiri. Dia diperkenalkan sebagai wisudawan terbaik.

Tak hanya itu, Prof Fachrudin memintanya agar jadi dosen Unhas, tanpa perlu ikut tes. Semua bertepuk tangan. Pria itu, Sumbangan Baja, menandai peristiwa itu sebagai titik terpenting dalam hidupnya.

Dia diminta menjadi pengajar karena kualitas dan kapabilitasnya. Dia adalah mahasiswa berprestasi. Dia sosok yang tekun dan penuh ikhtiar untuk mengembangkan ilmunya.

Dia merasa telah melampaui cita-citanya di masa kecil. Dulu, dia sangat ingin menjadi guru. Baginya, guru adalah profesi yang paling berjasa sebab bisa membantu banyak orang.

Di Pulau Taliabu, tempatnya menjalani masa kecil, jumlah sarjana bisa dihitung jari. Ayahnya, La Ode Baja, adalah keturunan bangsawan Buton yang pindah ke Taliabu karena keadaan di Sulawesi Tenggara yang tidak aman karena banyak gerombolan.

Dia memberi nama Sumbangan untuk anaknya dengan harapan agar kelak bisa menjadi figur yang suka berderma atau memberi. Nama Sumbangan identik dengan dharma. Sumbangan diharapkan jadi figur yang memberi manfaat bagi banyak orang.

Demi bisa meraih mimpinya menjadi guru serta memberikan manfaat bagi banyak orang, Sumbangan memutuskan untuk pindah ke Baubau dan melajutkan sekolah menengah di sana. Setelah itu mendaftar sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin.

Sumbangan Baja seakan ditakdirkan sebagai ahli geo-spasial. Masa kecilnya berpindah-pindah, mulai Taliabu hingga Baubau, telah mengasah kepekaannya untuk selalu memetakan ruang dan kawasan tempatnya bermukim.

Dia adalah figur yang konsisten untuk terus mengembangkan bidang ilmu tanah. Hasrat belajarnya meluap-luap. Lulus dari Unhas, dia melanjutkan program magister di New Zealand, dan berhasil menjadi ahli geo-spasial. “Di New Zealand, saya semakin yakin untuk menjadi akademisi”katanya.

Di Negeri Kiwi itu, dia mendalami bidang geo-spasial hingga tingkat mahir. Wawasannya terbuka kalau ilmu ini bisa diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Dia belajar ilmu remote sensing (pengindraan jauh), juga pemotretan lewat udara. Dia belajar teori kamera, scanner, lalu belajar menafsir setiap keping informasi. Dia membaca peta dari satelit untuk memahami rupa bumi.

Sekembalinya ke tanah air, Hasrat Sumbangan untuk menerapkan ilmunya kian meluap-luap. “Saya lihat ilmu ini sangat penting. Berkat geo-spasial, kita bisa mempelajari ,merekam, menggambarkan bumi dalam peta. Kita bisa menganalisa, hingga pengambilan keputusan,”katanya.

Dilihatnya Indonesia sebagai negeri yang luas dengan pulau hingga 17 ribu. Bukan hanya daratan tetapi juga lautan. Dengan memetakan wilayah, kita bisa merencanakan hal-hal baik, juga kebihakan yang positif, untuk Indonesia masa depan.

Di titik ini, Sumbangan Baja serupa seniman yang memahami peta lalu menyusun keping demi kepingan imajinasi untuk membuat perencanaan. Dia bekerja sama dengan banyak pemerintah daerah untuk membuat perencanaan wilayah.

“Ada begitu banyak sumber daya alam kita. Belum lagi manusianya. Kita harus kembangkan desa-desa, kota, serta wilayah untuk menjadi rumah yang nyaman bagi semua orang,”katanya.

Sumbangan memberi contoh tentang Kota Makassar. Menurutnya, kita bisa memetakan wilayah, lalu membuat perencanaan. Kita membaca peta, melihat mana hutan dan mana rawa, juga lokasi bukit. Kita bisa merancang di mana lokasi industri, pemukiman, termasuk mana lahan yang perlu dilindungi.

Baginya, tak semua lahan harus dieksploitasi. Ada lahan yang harus dilindungi sebab berperan sebagai paru-paru bagi bumi. Kalau dieksploitasi akan menimbulkan masalah.

Jejak Sumbangan Baja bisa dilihat di banyak kota dan kabupaten yang didampinginya. Sebagai saintis dan seniman, dia mengolah data menjadi imajinasi, yang kemudian menjadi rencana-rencana konkret untuk pembangunan. Dia menjadi mitra bagi banyak pemerintahan demi Menyusun tata ruang yang berkeadilan, baik bagi manusia, maupun ekologis.

Pengalaman sebagai konsultan terus bertambah. Jam terbangnya sebagai konsultan internasiponal terus bertambah. Dia ikut merancang stadion yang dipakai untuk Olimpiade Sydney. Dia bekerja di beberapa lembaga asing. Dia menguasai database, manajemen, serta pemetaan.

Bersama Asia Development Bank (ADB), dia terlibat dalam proyek besar, di antaranya adalah pemetaan mangrove atau hutan bakau. Dia membantu pemerintah untuk melindungi mangrove di Indonesia.

Sekian lama bekerja, dia dalam dilemma, apakah melanjutkan pendidikan sebagai doctor, ataukah terus bekerja di berbagai lembaga. Dia memilih untuk mengasah pengetahuannya dengan melanjutkan pendidikan doktor di Sydney, Autsralia. Dia mengambil program Geo-Science, yang merupakan induk dari Geo-Spasial. Dia menempuh pendidikan doktor sejak tahun 1998-2002.

Sepulang kuliah, dia kembali diminta untuk bekerja di beberapa Kementerian. Namun dia memilih untuk pulang ke kampus yang membesarkannya. Dia menjalankan amanah sebagai dosen dan pengajar. Meskipun fasilitasnya minim, dia tidak patah arang. Dia bertekad untuk memperbaiki situasi.

“Saat itu saya banyak cita-cita, tapi fasilitas terbatas. Hingga satu saat, saya diberi posisi, mulai dari ketua ad hoc, hingga Ketua Departemen Ilmu Tanah. Saya seorang saintis, tapi dalam perjalanan kita perlu memimpin, untuk memperbaiki. Teman-teman meminta saya jadi dekan. Hingga akhirnya saya terpilih,”katanya.

Sebagai dekan, dia mendedikasikan waktunya untuk memajukan institusi. Saintis diakomodasi, ruangan dan peralatan disiapkan. Kerja-kerjanya sangat bermanfaat. Seusai menjadi Dekan, dia menjadi Wakil Rektor 2 di bidang perencanaan keuangan dan infrastruktur.  Dia membawa manfaat di manapun dia berada.

***

HARI itu, 4 September 2019, suasana hening saat wisuda Unhas digelar. Profesor Sumbangan Baja tampil di hadapan wisudawan sembari bernyanyi. Dia menyanyikan lagu Ayah dengan suara yang beberapa kali serak.

Banyak orang berurai air mata. Sumbangan Baja tak sekadar memandang hadirin. Dia membayangkan betapa jauhnya perjalanannya. Dari seorang anak yang ingin jadi guru, kini dia adalah guru besar. Dari anak di daerah terpencil, kini dia menjadi professor di satu kampus besar yang memakai toga.

Dia sudah melampui banyak hal. Namun dia tidak hendak menyerah. Dia masih ingin berbuat banyak bagi banyak orang. Dia ingin membantu banyak orang juga kampus, sesuai dengan kapasitasnya.

Di tahun 2024, dia menjabat sebagai Sekretaris Unhas. Posisinya tetap penting sebab mengurusi hajat hidup banyak orang. Di luar kampus, dia pun membantu warga sekampung dengan menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Indonesia Buton (KKIB).

Di acara wisuda itu, matanya berkaca-kaca saat berucap: “Ayah Dengarkanlah. Aku Ingin Berjumpa. Walau Hanya dalam Mimpi”




0 komentar:

Posting Komentar