TerAWAN yang Melangkah di AWAN


Jika Presiden Jokowi mendapat julukan “Man of Contradiction” dari seorang jurnalis, maka sebutan paling pas untuk Terawan Agus Putranto adalah “Man of Controversy.” Sejak berkarier hingga menjabat menteri lalu diganti, dia tak henti membuat kontroversi di ranah kesehatan.

Marilah kita runut satu per satu. Sebelum menjadi menteri, semasa menjadi direktur di RSPAD, dia pernah berselisih dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait metode penyembuhan stroke melalui brain wash yang dijalankannya di RSPAD.

Metode itu dianggap para dokter tidak sesuai prosedur. Namun bagi Terawan dan juga pasien-pasiennya, apa artinya prosedur ketimbang menyelamatkan nyawa banyak orang. Faktanya, hingga kini tak ada kabar tentang korban berjatuhan gara-gara mencoba metode “cuci otak” yang dipraktikkannya. 

Dia malah makin terkenal karena banyak pejabat negara, pesohor yang mendapat layanannya dan merasa mendapat kehidupan kedua. Tak jelas benar apakah metodenya itu membahayakan ataukah menyelamatkan.

Setelah menjadi menteri, dia tetap kontroversial. Publik tidak lupa dengan sikap denial-nya saat Covid pertama menghadang. Dengan santainya, dia berucap “Nanti juga sembuh sendiri” yang kemudian menjadi meme dan viral. Dia tidak memberikan mitigasi dan pencegahan dan mengira virus itu serupa flu yang bisa datang dan pergi. 

Dia pun menolak untuk tampil di media sampai-sampai seorang presenter terkenal mewawancarai kursi kosong yang sedianya ditempati Terawan. Meski dia dipermalukan dalam talkshow yang disebut banyak kalangan sebagai babak baru jurnalisme, meski dianggap sebagai biang kerok dari Covid yang kian menyebar, Terawan tetap melenggang hingga akhirnya diganti di tengah jalan. 

Mentalnya memang petarung. Dia membuktikan kalau dia tidak akan pernah tumbang. Dia juga tidak bertransformasi menjadi nyinyier sebagaimana menteri lain yang pernah menjabat selama satu periode. Dia tetap menjadi sosok yang datang dengan ide-ide hendak bikin apa, bukan mengenang masa lalu dan kritik sana sini.

Dia menawarkan secercah harapan kalau dirinya akan menemukan vaksin yang diyakini lebih efektif dalam melawan virus. Banyak cemooh dan kritik, tetapi banyak pula yang antre untuk menjadi relawan. Dia mengklaim memproduksi vaksin nusantara, yang tadinya disebut-sebut sebagai karya anak bangsa. Belakangan ketahuan kalau metode itu malah datang dari negeri Paman Sam.

Namun, publik lebih percaya reputasi ketimbang kontroversi. Banyak pesohor, mulai dari Aburizal Bakrie, Sudi Silalahi, hingga Dahlan Iskan siap menjadi relawan untuk menguji keampuhannya. Mereka percaya 100 persen kalau Terawan punya pengobatan yang andal.

Saat Vaksin Nusantara itu ditentang beberapa lembaga pemilik otoritas, banyak orang siap badan. Bahkan wakil rakyat yang terhormat, termasuk anggota komisi yang sering berinteraksi dengan Menteri Kesehatan, juga mendukung Terawan.

Di lihat dari sisi komunikasi, Terawan jelas di atas awan. Dia berbicara dengan sederhana dan dipahami publik. Dia memakai retorika nasionalisme. Dia juga didukung influencer hebat sekelas Dahlan Iskan, termasuk para anggota DPR. Semua memberikan testimoni dan endorsement yang menguatkan Terawan.

Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berbicara dengan kalimat yang rumit dan sukar dipahami publik. Lembaga ini mempersoalkan prosedur, tata cara riset, dan tetek-bengek menyangkut metodologi. Pembelaan dari organisasi IDI juga tidak menolong. Pihak IDI berbicara seolah semua orang akan memahaminya.

Di lihat dari sisi ini, langkah Terawan semakin tidak terbendung. Dia tahu cara merebut hati publik, juga memaksimalkan mereka yang merasa nyawanya pernah ditolong. Dia didukung influencer sehebat Dahlan Iskan yang membagikan banyak informasi positif tentangnya. Suara publik terkesan memihak Terawan.

Selain itu, banyak informasi berseliweran yang beraroma nasionalisme. Banyak teori konspirasi mengenai lalu-lintas perdagangan vaksin yang dikuasai segelintir perusahaan besar, yang seakan sengaja memiliki setting agar membuat dunia tergantung. Saat ada upaya kemandirian yang didorong anak bangsa, segera akan dihambat oleh korporasi besar yang didukung tangan negara.

Namun, apakah manfaat dari debat ini bagi publik? Nothing. Perdebatan ini tidak mencerahkan. Yang terjadi adalah risiko besar yang dihadapi ketika tidak ada petunjuk yang jelas apakah vaksin “made in Terawan” bisa membahayakan ataukah tidak.

Sejak dulu, problem besar di kalangan otoritas kesehatan adalah lemahnya komunikasi untuk menjangkau publik dengan menyampaikan informasi yang benar dan sahih. Kementerian Kesehatan kurang tegas memberikan penilaian sehingga publik dalam situasi yang kebingungan.

Harusnya, Kementerian Kesehatan membuat semacam “clearing house” atau rumah yang membetulkan semua kesalahan, lalu menjelaskan informasi dengan jernih sehingga publik memiliki panduan yang jelas.

Saya teringat artikel sosiolog Ignas Kleden mengenai perbedaan antara relevansi intelektual dan relevansi sosial. Relevansi intelektual adalah saat satu teori diterima kebenarannya oleh komunitas ilmiah. Sedangkan relevansi sosial adalah saat satu teori diterima oleh masyarakat, meskipun teori itu lemah secara metodologis.

Kata Ignas, ada saat di mana satu teori yang benar secara intelektual bisa ditolak secara sosial. Contohnya adalah pandangan Socrates yang ditentang manusia di zamannya. Namun, ada pula saat di mana teori yang salah secara intelektual, namun bisa diterima masyarakat pada zaman itu sehingga dianggap sebagai kebenaran.

Dalam konteks ini, terlepas dari banyaknya cacar akademis dari metode Terawan sebagaimana diungkap banyak pakar, masyarakatnya bisa menganggapnya benar apalagi jika didukung para key person dan juga politisi.

Sikap anti-sains ini bisa membawa risiko besar di masa mendatang. Saat tidak ada pengujian secara ilmiah pada satu produk, lalu digunakan secara massal, kelak bisa muncul banyak dampak bagi masyarakat. 

Namun, apakah metode Terawan membahayakan? Mengacu pada terapi brain wash yang dilakukannya, hingga kini tak ada juga laporan tentang dampak atau bahaya. Padahal sejak awal IDI menentangnya. Malah yang muncul adalah testimoni mereka yang tertolong oleh metode itu. Bahkan Terawan menjadikannya disertasi doktoral di Universitas Hasanuddin

Jika demikian soalnya, kita bisa mengatakan, di negeri ini, proses ilmiah dan proses politik sering tumpang tindih. Para politisi bisa saja mengakui sesuatu yang salah sebagai sesuatu yang benar sebab didorong oleh kepentingan. Di sisi lain, para intelektual sering tidak tuntas meneliti sesuatu sebab keburu dipengaruhi prasangka. Lagi-lagi didorong kepentingan.

Jangan heran jika Terawan akan semakin melangkah di awan.



0 komentar:

Posting Komentar