Generasi Strawberry




Berita sedih itu dikirimkan seorang kawan. Lelaki di ujung jalan di dekat rumah kami di kampung telah membunuh saudaranya sendiri. Motifnya adalah berebut warisan. Baru saya tahu kalau lelaki itu tidak punya pekerjaan tetap. Sementara saudaranya menguasai warisan.

Saya teringat mendiang orang tua mereka sangat terpandang. Mereka melimpahi anaknya dengan semua fasilitas. Semua anaknya dimasukkan sekolah mahal. Namun, keberlimpahan fasilitas itu tidak memberi hasil yang sepadan. Lulus dari sekolah mahal, tapi anak itu tidak bekerja. Orang tuanya tetap memanjakan.

Saya membaca artikel The New York Times mengenai fenomena Strawberry Generation. Istilah ini menggambarkan generasi Taiwan yang lahir tahun 1980-an pada masa pasca-perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, serta kehidupan yang serba menyenangkan.

Generasi ini amat dimanjakan orang tuanya yang dahulu miskin. Orang tua tak ingin masa kelam mereka yang berada dalam ekonomi sulit karena peperangan menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi ini digambarkan serupa buah strawberry, yang mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini digambarkan tampak mewah, ranum, indah, akan tetapi tidak siap menghadapi benturan. Orang tuanya memberinya semua fasilitas dan kemewahan namun lupa menanamkan sikap kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi di segala sesuatu.

Ternyata, semua fasilitas bisa menjadi sesuatu yang negatif. Anak-anak jadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi yang serba sulit. Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawberry.

Saya belajar hal baru. Segala tantangan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari lahan gembur yang menyuburkan karakter seorang anak untuk menjadi petarung. Seorang anak harus berhadapan dengan tantangan.

Ketika melimpahi anak dengan semua fasilitas, anak akan kehilangan daya juang serta daya survival, sesuatu yang dahulu dimiliki orang tuanya dan bisa membawanya pada kemakmuran. Sering kita tidak menyadari bahwa sikap over-protective dan pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus buat anak. Kelak, anak itu kehilangan daya juang untuk menggapai impiannya.

Saya melihat fenomena Generasi Strawberry di sekitar kita. Saya bertemu banyak orang tua yang berpikir ketika menyekolahkan anaknya di tempat paling mewah, maka dianggapnya satu prestasi.

Padahal sekolah mahal tak selalu bisa jadi jaminan kesuksesan seorang anak. Sekolah mahal menyediakan banyak hal, tapi tak bisa mengajarkan daya tahan menghadapi kesulitan serta bagaimana menumbuhkan tekad kuat untuk menggapai mimpi. Orang tua harus tetap mendampingi seorang anak, memberinya tantangan, lalu mengapresiasi semua upaya-upaya kecilnya.

Saya merenungi kisah dari kawan saya di kampung. Bisa saja, orang tuanya terlampau memanjakan anaknya dengan penuh fasilitas dan lupa mengajarkan mereka langkah demi langkah untuk menjadi pribadi yang kuat.

Orang tuanya sibuk mengejar kemakmuran, lalu berpikir bahwa dengan menyekolahkan di tempat mahal, maka misi dianggap selesai. Padahal, semua tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat.

Mendaki puncak memang melelahkan, tetapi kebahagiaan saat berada di puncak serupa air yang membasuh semua lelah. Mereka yang setiap saat menghadapi tantangan, kelak akan jadi pribadi tangguh dengan mental yang kokoh.

Saya ingat catatan Iqbal Djawad tentang acara televisi yang paling laris di Jepang yakni Hajimete no Otsukai. Di acara itu, anak-anak seusia PAUD diberikan misi tertentu sambil diikuti oleh kru televisi yang menyamar. Misalnya disuruh mengantarkan makanan untuk ayahnya di rumah sakit. Anak itu akan merasa berat, bahkan menangis.

Tapi dia mengambil tantangan, kemudian berjalan kaki atau kadang naik bus menuju rumah sakit. Saat anak itu tersesat, dia akan coba bertanya ke orang lain, yang kemudian menunjukkan jalan. Saat dia berhasil menjalankan misinya, orang tuanya akan memeluknya dan memberi ucapan terima kasih. Dia akan mendapatkan hadiah.

Saya bayangkan betapa beda dengan orang tua yang anaknya membunuh saudaranya. Di masa itu, mereka lebih suka membayar orang lain, ketimbang melihat anaknya bersusah payah mengantar sesuatu.

2 komentar:

ASTraveller mengatakan...

Salam singgah dan follow disini ya :)

Monika Yulando Putri mengatakan...

Sebuah pembelajaran penting dalam mendidik anak

Posting Komentar