Pak Jokowi dan Pak Prabowo duduk di dekat sawah. Mereka membahas rencana pembangunan food estate atau lumbung pangan di Kalimantan. Hitung-hitungan di atas kertas dihamparkan oleh Menteri Pertanian. Perkiraan-perkiraan berapa ton panen dikeluarkan.
Pak Jokowi, seorang presiden yang di masa kampanye menampilkan citra ndeso, namun ketika terpilih sibuk membagikan semua jabatan menteri, direktur, dan komisaris ke tim suksesnya.
Pak Prabowo, lelaki yang separuh hidupnya menjadi serdadu dan terbiasa membawa senjata, kini menjadi menteri yang masih mengurusi senjata. Dan tiba-tiba saja diserahi tugas untuk mengurusi proyek lumbung pangan.
Ini Indonesia abad 21, negeri yang tak pernah belajar pada kearifan budaya. Di banyak budaya, selalu ada tradisi lumbung sebagai strategi untuk menghadapi masa penuh ketidakpastian. Lumbung serupa asuransi yang bisa menjadi solusi ketika ada krisis.
Orang Minangkabau menyebutnya Rangkiang, orang Sunda menyebutnya Leuit, Orang Enrekang menyebutnya Landa. Orang NTT menyebutnya Umekebubu dan Lopo. Orang Batak Karo punya istilah Sapo Page. Orang Bali menyebutnya Jineng. Orang Toraja memanggilnya Alang. Orang Dompu menamakannya Jompa.
Sejak dulu, semua masyarakat punya lumbung. Tapi kini, kita baru akan membangunnya. Betapa kita menjadi bangsa yang tak belajar pada budaya. Betapa kita tak pernah siap menghadapi ancaman krisis.
BACA: Malu Aku Jadi Petani Indonesia
Ini juga negeri yang pemerintah dan masyarakatnya lupa dengan hasil alamnya sendiri. Tak perlu takut dengan krisis selagi pangan lokal tersedia di mana-mana. Tak ada beras, kita bisa makan ubi, jagung, ketela, keladi, talas, sagu, hingga sorgum.
Di Yahukimo, Papua, pernah masyarakat mengalami krisis pangan hingga beberapa tewas. Mereka sangat tergantung pada beras, sesuatu yang tidak pernah dialami nenek moyangnya yang karib dengan ubi dan sagu. Pemerintah dan masyarakat lupa betapa kayanya bumi kita dengan berbagai bahan pangan.
Ini Indonesia abad 21, negeri yang pemerintahannya tak pernah belajar pada sejarah. Pemerintahan Jokowi tak ada beda dengan pemerintahan sebelumnya. Selalu ingin menempuh jalan pintas.
Dulu, Pak Harto ingin membangun sejuta hektar lahan gambut di tahun 1996-1997. Di masa Pak SBY, Ketapang direncanakan akan dibangun 100 ribu hektar lahan, lalu Bulungan seluas 300 ribu hektar. Serasa baru kemarin, Pak Jokowi hendak membangun 1,2 juta hektar di Merauke, Papua.
Ke mana semua lahan-lahan itu? Kenapa tak bisa jadi lumbung?
Ke mana semua lahan-lahan itu? Kenapa tak bisa jadi lumbung?
Di Merauke, kita mendengar banyak kisah miris. Terjadi perampokan lahan dari masyarakat adat. Mereka tersingkir dari tanah air yang diwariskan nenek moyangnya. Kita mendengar kisah datangnya petani dari luar yang kemudian menguasai sumber daya lokal, serta ancaman kerusakan ekologis yang kian parah.
Kisah lumbung pangan atau food estate adalah kisah kegagalan. Mengapa? Sebab pertanian bukan sesuatu yang tercipta hanya dengan merapal mantra. Bukan pula dengan mengusap lampu wasiat.
Pertanian adalah interaksi antara alam dan manusia, di mana manusia memuliakan alam dan melimpahinya dengan air kasih sayang. Alam akan membalasnya dengan tumbuhan, buah, dan pohon sebagai tanda cinta.
Sekali manusia dibutakan materi dan hasrat, maka alam akan menjadi obyek yang diperas habis-habisan. Tanah dipaksa untuk menumbuhkan tanaman. Kalau perlu disirami dengan bahan kimia.
Ini Indonesia abad 21, negeri yang pemerintahnya lebih cinta perusahaan ketimbang para petani. Pak Jokowi dan Pak Prabowo membahas pertanian dengan cara melibatkan BUMN. Pemerintah menunjuk PT Rajawali Nusantara Indonesia sebagai pelaksana proyek.
Lumbung dibangun dengan pendekatan korporasi. Di situ ada pemilik modal dan buruh upahan. Padahal, dalam bahasa Inggris, pertanian adalah agri dan culture. Di situ ada kata budaya yang menunjukkan jati diri manusia. Bertani dan menanam adalah budaya. Para petani adalah pahlawan yang memuliakan alam.
BACA: Jejak Jepang di Sawah Kita
Presiden kita yang terlampau cinta pada dunia pengusaha itu ingin menjadikan pertanian serupa korporasi. Petani bukan lagi penguasa di lahan-lahan. Mereka akan disingkirkan secara perlahan. Petani digantikan buruh yang diberi target berupa berapa ton panen setiap hektar. Jika tak memenuhi target, maka siap-siap di-PHK.
Harusnya, biarkanlah budi daya itu menjadi area para petani. BUMN cukup menyerap produksi para petani lalu melakukan proses, kemudian memasarkan.
Ini Indonesia abad 21, negeri yang tidak memuliakan petaninya. Jika ingin mengumpulkan pangan sebanyak-banyaknya sebagai lumbung, maka tak perlu bikin proyek cetak sejuta lahan. Tak perlu bangun food estate itu. Cukup berikan harga yang pantas untuk petani.
Hargailah keringat petani kita dengan memberikan harga yang tinggi. Masak, harga pembelian pemerintah hanya 4.200 rupiah per kilogram? Padahal, kata seorang guru besar, biaya produksi di usaha tani untuk 1 kilogram gabah kering panen itu sudah 4.523 rupiah per kilogram. Jika harga gabah hanya segitu, mana bisa petani kita sejahtera dan menyekolahkan anaknya di tempat yang layak?
Muliakanlah petani dengan hentikan impor pangan. Biarkan komoditas petani dihargai mahal di tanah dan airnya sendiri. Jika harga komoditas itu bagus, petani akan meningkatkan produktivitas. Mereka akan meningkatkan semua produksi dengan penuh senyum sebab membayangkan masa depan yang cerah. Mereka akan bekerja lebih giat. Produksi pangan akan membaik. Stok pangan akan siap sehingga kita kebal dari hantaman krisis.
BACA: Kisah Petani yang Berhenti Menyadap Karet
Daripada bangun food estate, bermitralah dengan petani kita. Jika mereka tak punya uang untuk mulai bertani, carikan solusi. Tantang mereka untuk tingkatkan produksi. Beri garansi agar produk yang mereka buat akan dibeli dengan harga setinggi-tingginya oleh pemerintah.
Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Didiklah bangsa Indonesia agar tidak memandang rendah profesi petani. Berilah sejumput kebanggaan pada profesi itu sebab menjadi pahlawan kehidupan.
Sesekali jalanlah ke desa-desa dan nagari kita. Hakekat kepemimpinan adalah mendengarkan. Tanyai dan diskusilah dengan petani kita. Bersiaplah menerima kenyataan, sepahit-pahitnya. Banyak petani justru tak ingin anaknya jadi petani. Menjadi petani tidak meningkatkan status sosial. Petani kita ingin ingin bersekolah tinggi-tinggi lalu melamar kerja sebagai pegawai negeri.
Di desa-desa kita, tak banyak lagi anak petani yang bercita-cita untuk menjadi petani. Mereka dicekoki dengan kata enterpreneur, abad digital, lalu kompetensi dan persaingan. Tak banyak kebanggaan yang tersisa pada profesi petani. Semuanya hanya menjadi masa lalu yang dikenang dengan romantis.
Jika tak ada lagi culture dan manusia yang memuliakan tanaman, maka suara lirih Bung Karno, pendiri negeri ini akan makin nyaring terdengar. “Pertanian adalah soal hidup matinya suatu bangsa.”
Mungkin ekonomi kita akan tetap kokoh. Tapi, nurani dan keberpihakan kita sudah lama mati seiring dengan kian merananya petani di tanah air kita, tanah air Indonesia.
11 komentar:
Luar biasa...mulai kritis kayaknya bang...pemerintah shortcut..
Luar biasa...mulai kritis kayaknya bang...pemerintah shortcut..
Luar biasa sangat setuju dengan ide seperti ini.. Muliakanlah petani..
Sebuah pemikiran yang luar biasa. #savepetani
Mantap. Pemaparan yang jujur.
tulisan ini menyegarkan kembali kesadaran kritis.nya kita sebagai anak petani..
tulisan ini menyegarkan kembali kesadaran kritis.nya kita sebagai anak petani..
mantaab...
Mantap
Sepakat Bg Yusran...
Itulah mengapa di daerah saya, Bogor, salah satu institusi pendidikan pertanian seringkali dilabeli anekdot " IP* itu bukan hanya Institut Pertanian *, tapi skrg udh jadi Institut Perbankan *" saking minimnya lulusan mereka yg pada akhirnya benar" menjadi petani. Alih" bertani, mereka malah kerja di bank :)
terbaik bung
Posting Komentar