Bocah yang Memanen Angin




Anak itu melihat tanah-tanah yang kering. Dia melihat ayahnya yang tidak berdaya. Ayahnya seorang petani yang hanya bisa pasrah menyaksikan keadaan. Di Malawi, Afrika, anak itu ingin berbuat sesuatu. Tapi dia bisa apa?

Malawi adalah contoh dari kegagalan praktik pembangunan. Politisi penuh janji dan kalimat tipu demi suara petani. Pengusaha tembakau masuk ke desa-desa dan menebang banyak pohon milik warga desa.

Saat pepohonan berkurang, sungai-sungai mengering. Di musim hujan, banjir selalu terjadi sebab tak ada akar-akar yang menahan air. Desa-desa pertanian kehilangan harapan. Petani kelaparan. Petani tak sanggup menyekolahkan anaknya.

Pemerintah Malawi hanya menanti bantuan asing, termasuk IMF dan Bank Dunia. Yang dipikirkan hanya bantuan berupa bahan pangan. Setelah bantuan datang, rakyat berkelahi demi mendapatkannya.

Bocah usia 13 tahun itu bernama William Kamkwamba adalah siswa sekolah yang terpaksa keluar karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Dia tetap ngotot ingin ke sekolah, meskipun hanya duduk di perpustakaan.

Suatu hari, dia tersentak saat menemukan buku berjudul Using Energy. Segumpal ide memenuhi kepalanya. Dia membayangkan, jika saja dia bisa memanfaatkan energi angina untuk menarik air dari dalam tanah, maka tanah-tanah bisa diairi. Petani akan kembali memiliki harapan.

Ide laksana cahaya yang menyalakan sesuatu di kepalanya. Dia ingin berbuat sesuatu bagi warga desanya. Dia lalu mendatangi satu area yang dipenuhi sampah. Dia mengumpulkan banyak bahan yang kemudian dirakitnya. Dia merancang kincir angin.

Tentu saja, langkahnya tidak mudah. Dia butuh sepeda milik ayahnya untuk dipreteli semua onderdilnya demi membuat baling-baling penangkap angin. Dia juga butuh dinamo untuk menyimpan energi. Masalahnya, sepeda milik ayahnya adalah satu-satunya di kampung itu, juga satu-satunya aset yang dimiliki.

Dia tetap nekat dan memintanya. Di Afrika, seorang anak tidak pantas didengar pendapatnya. Dia dianggap anak kemarin sore yang tak tahu apa-apa. Bahkan ayahnya murka lalu menghancurkan purwarupa baling-baling milik anaknya. Dia seakan berteriak, “Anak kecil tahu apa?”

Untunglah, ibunya mau mendengar. Ibunya meyakinkan ayahnya untuk memberi kepercayaan pada anaknya.

Kepercayaan itu dibayar lunas. Menara kayu itu berdiri. Di atasnya ada baling-baling yang bergerak karena angin. Baling-baling itu menggerakkan dinamo dan turbin yang menghasilkan listrik. Selanjutnya listrik menarik air dari dalam tanah lalu mengaliri kanal-kanal, melintasi kebun-kebun milik petani, lalu mengubah tanah tandus menjadi hijau dan segar.

Bocah 13 tahun itu mengubah wajah desa yang tadinya kering-kerontang menjadi hijau dan asri. Dia tak sekadar menghijaukan desa. Dia mengubah persepsi orang-orang yang rendah diri seolah mereka tak mampu mengatasi masalahnya. Dia bisa meyakinkan orang-orang kalau mereka punya kemampuan untuk keluar dari krisis dengan tangan mereka sendiri, dengan pikiran mereka sendiri.

Anak muda yang lahir tahun 1987 itu seakan memberitahu orang-orang dewasa kalau segala masalah pasti ada solusinya sepanjang semuanya percaya pada kekuatan dan kemampuan sendiri. Tak perlu menunggu pihak luar seperti IMF dan Bank Dunia untuk bangkit dari keterpurukan.

Saya menyaksikan kisah William Kamkwamba ini dalam film berjudul The Boy Who Harnessed the Wind yang tayang di Netflix. Film yang digali dari buku ini memotret sekeping realitas tentang kegagalan pembangunan, serta bangkitnya kemandirian lokal dengan cara yang hebat.



Ketika menyaksikan film ini, saya teringat pada sosiolog Robert Chambers yang menjelaskan tentang bagaimana desa mengalami keterpinggiran. Kata Chambers, desa telah menjadi korban penjungkir-balikan (putting the last first) dari pihak luar desa (outsiders) yang mengaku serba tahu tentang desa. Mereka, para outsiders ini, sering merasa lebih tahu dan merekayasa desa.

Pengetahuan warga desa diabaikan dan tak pernah dihargai. Mereka dianggap bodoh sehingga hanya bisa pasrah pada konstruksi pengetahuan dari orang kota. Chambers sempat membahas tentang bias proyek. Di banyak tempat, pembangunan hanya dilihat sebagai proyek yang menyerap anggaran. Ketika anggaran terserap, maka pembangunan dianggap berhasil.

Padahal, di banyak tempat, cara berpikir ini justru tidak memperhatikan aspek kontinuitas atau sustainabilitas dari setiap tindakan. Ketika satu proyek dibangun, para perencana sering abai untuk melihat seberapa bermanfaatkah apa yang telah dibangun tersebut, seberapa berpengaruh pada warga desa.

Film ini mengajarkan betapa pentingnya mengenali potensi dan inisiatif lokal. Di usia 13 tahun, William Kamkwamba memahami apa yang terjadi di sekitarnya.  Dia pun tahu persis sumber daya lokal yang bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah. Dia sudah bisa mengenali angin untuk dikelola dan dimanfaatkan.

Saya membaca di banyak situs tentang William Kamkwamba yang kemudian terkenal. Dia diundang untuk berbicara di TedTalk. Bocah yang tadinya dikeluarkan dari sekolah itu malah mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Amerika Serikat.

Kisahnya ditulis oleh media-media besar dunia. Satu media di Amerika Serikat membandingkan sosoknya dengan Angus MacGyver, sosok fiksi yang juga bisa menggunakan sains secara praktis. Bukunya The Boy who Harnessed the Wind terbit dan laris di panggung internasional. Majalah Time memasukkan namanya dalam daftar 30 orang yang mengubah dunia di usia bawah 30 tahun.

Saya belum pernah membaca bukunya.  Di situs Goodreads, saya temukan kutipan menarik dari anak muda ini: “Whatever you want to do, if you do it with all your heart, it will happen.”



1 komentar:

Penjelajah Makna mengatakan...

Assalamualaikum Pak Yusran. Saya memiliki ebook buku ini. Apakah bapak berkenan membacanya? Bapak bisa hubungi saya jika mau. Terima kasih.

Posting Komentar