Prof Dr Quraish Shihab |
DI Masjid Istiqlal, Quraish Shihab
menyampaikan pesan-pesan serupa embun yang menyelusup kerongkongan yang
kerontang. Dia menjelaskan muasal penciptaan manusia yang berasal dari tanah,
bukan dari api. Dikarenakan sifat tanah selalu tenang dan memberi manfaat bagi
sekitarnya, maka manusia harusnya stabil, tenang, dan menjadi rahmat bagi
sekitarnya.
Di usia 73 tahun, pemilik gelar doktor dari
Universitas Al Azhar, Kairo, ini tetap setia dengan ikhtiarnya untuk
mencerahkan Indonesia. Dia yang memulai hari di Lotassalo, Rappang, Sulawesi
Selatan, lalu mengikuti ayahnya yang
pindah ke Jalan Sulawesi, Lorong 194 nomor 7, di kampung Buton, Makassar, punya
banyak kisah.
Terhadap para pencacinya, ia selalu mendoakan. Malah ia meminta
para pencacinya mengadili dirinya sebagaimana Abu Zayd. Siapakah Abu Zayd? Mengapa
ia bersedia diadili?
Terdapat banyak keping kisah ulama besar
yang di kampung halamannya disapa Odes ini.
***
LIMA tahun tinggal di Rappang adalah
masa-masa paling berkesan dalam hidup Quraish Shihab. Dari kota Makassar, jarak
Rappang adalah 185 kilometer. Rappang terkenal sebagai penghasil beras yang
menyangga lumbung pangan nasional. Rappang identik dengan hamparan sawah luas,
padi menguning, dan para petani yang sejak subuh hari telah berkarib dengan
sawah.
Di kota kecil ini, Quraish Shihab lahir.
Dia lahir dari ayah ibu yang merupakan orang terpandang, namun memilih jadi
warga biasa, tanpa embel-embel. Ayahnya Abdurrahman Shihab adalah seorang
profesor, guru besar tafsir Al Quran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Alauddin, Makassar. Malah, ayahnya
pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin selama lima tahun (1972-1977).
Ibunya bernama Asma atau Puang Asma. Warga
Rappang lebih suka menyapanya Puang Cemma. Puang adalah sapaan untuk keluarga
bangsawan. Nenek Asma, Puattulada,
adalah adik kandung pemimpin Rappang. Puang Cemma sangat dihormati masyarakat.
Quraish memanggil ibunya dengan sapaan Emma, sapaan khas seorang anak kepada
ibunya di lingkaran etnik Bugis. Kepada
ayahnya, ia memanggil Aba.
Biarpun dari keluarga terpandang, sang
ayah, Abdurrahman, melarang semua anaknya menggunakan embel-embel atau gelar.
Bahkan sang ayah pun enggan dipanggil profesor. Biarpun keturunan Arab, sang
ayah tidak pernah memakai embel-embel Arab misalnya jubah putih dan songkok
putih.
Ke mana-mana, ia memakai peci hitam. “Aba mengajarkan anaknya dan sesama
keturunan Arab untuk menyatu dengan Indonesia. Dia tidak mengenakan peci putih
khas Arab, melainkan peci hitam, khas Indonesia. Dia mengenakan celana, bukan
jubah, bahkan berdasi dan berjas jika pergi ke pesta,” kata Quraish mengenang
ayahnya.
Kisah-kisah Quraish itu saya temukan dalam
buku Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish
Shihab, yang ditulis Mauluddin Anwar dkk. Dalam buku setebal 312 halaman
ini, terdapat banyak sisi Quraish yang tidak banyak diketahui orang. Tak banyak
yang tahu kalau dirinya adalah penggemar berat Real Madrid. Ia pernah berjalan
kaki berkilo-kilo meter demi menyaksikan penampilan Alfredo di Stefano saat
bertanding di Kairo.
Adik-adiknya memanggilnya Odes. Di masa
kecil dia tak bisa melafalkan namanya dengan benar. Mulut mungilnya yang cadel
hanya bisa menyebut Odes. Mulai saat itulah ia dipanggil Odes. Ia tumbuh
sebagai remaja di rumah yang selalu ramai. Ayahnya selalu menampung siapapun
anak muda yang hendak bersekolah di Makassar. Semuanya diperlakukan seperti
keluarga sendiri.
Demi menopang kebutuhan keluarganya,
Abdurrahman memiliki toko yang menjual berbagai kebutuhan di Pasar Butung.
Quraish dan saudaranya kebagian tugas untuk menjaga toko itu, terutama sore
hari seusai bersekolah di SD Lompobattang dan SMP Muhammadiyah Makassar.
Kadang,
Quraish bolos karena menonton film di bioskop. Pada masa itu, ia punya banyak
aktor idola. Suatu hari, bioskop itu terbakar. Quraish berlari ke rumah sambil
berteriak, “Hancur Indonesia.” Keluarganya bingung. Ternyata ia kecewa karena
tempat hiburan itu terbakar.
Ia juga punya kebiasaan nongkrong di
warung kopi. Terkait hobi nongkrong ini, tetangganya Haji Lancang, pernah
melaporkan ke Abahnya. Ia sempat dimarahi karena dianggap menghabiskan waktu di
sana. Aba mengira ia bolos sekolah karena nongkrong di warung kopi. Quraish
lalu menjelaskan bahwa dirinya menyukai gorengan yang dijual di situ. Sekolahnya
tak ada yang terganggu. Barulah Aba tenang.
Sebagaimana ditulis Malcolm Galdwell dalam buku Outlier, orang-orang besar selalu lahir di tengah keluarga yang selalu memberikan dukungan. Ayah ibunya menyetujui dan mendukung rencana Quraish menuturkan keinginan untuk belajar di
pesantren saat masih di kelas 2 SMP. Ia lalu berangkat ke Malang dan belajar di
Pesantren Al Faqihiyah.
Di pesantren
ini, ia belajar dalam sistem klasikal. Pelajaran dimulai usai salat subuh
berjamaah, dengan pengajian secara sorogan yang diasuh langsung Habib Bilfaqih
di aula pesantren. Sorogan adalah membaca kitab secara individual. Setiap
santri nyorog kepada Habib untuk dibacakan beberapa bagian dari kitab yang
dipelajarinya. Santri lalu menirukan dan menghafalnya. Sorogan adalah belajar
langsung kepada Habib menjadi idaman semua santri.
Yang mengesankan bagi Quraish adalah
kharisma sang Habib. Berkat habib, pada usia 14 tahun, Quraish telah menghafal
lebih seribu hadis. Ia juga mulai pandai berbicara dalam bahasa Arab. Pada usia
14 tahun pula, takdir menuntunnya untuk menimba ilmu ke tanah Mesir.
Bersama
saudaranya Alwi Shihab, yang saat itu berusia 12 tahun, mereka menuju Mesir
dengan kapal Neptunia. Petualangan baru dimulai. Ia belajar di Mesir mulai dari
bangku sekolah menengah hingga menjadi doktor di Universitas Al Azhar.
Ia
menyelesaikan gelar doktor dan mendapat predikat Summa Cum Laude. Ia menjadi
doktor ketiga alumni Mesir dari Indonesia. Sebelumnya ada Nahrawi Abdussalam
dan Zakiah Darajat. Nahrawi dan Quraish sama-sama dari Al Azhar, sedangkan
Zakiah dari Universitas Ain Syam di Kairo.
Anak yang sebelumnya kerap bolos karena menonton
film itu, kerap bermain bola hingga lupa waktu itu, kini menyandang gelar
doktor di bidang tafsir Al Quran. Babak baru kehidupannya dimulai. Ia hadir di
banyak kajian, dakwah, hingga menjadi pendidik di ruang-ruang kuliah.
Ia pun
menjadi rektor hingga menteri agama. Ia produktif menulis hingga melahirkan
banyak kitab mengenai bidang tafsir Al Quran yang digelutinya. Terhadap semua
perbedaan, ia menjawabnya dnegan menuliskan buah-buah pikirannya.
Bagi banyak orang, Quraish sangat menginspirasi,
khususnya saat membaca kitab-kitabnya yang tebal. Sejak masih di pesantren, ia
sudah menulis. Pada usia 22 tahun, ia telah menulis Al-Khawathir dalam bahasa Arab. Puluhan tahun kemudian, karya
pertamanya itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Logika Agama: Kedudukan Wahyu: Batas-Batas
Akal dalam Islam.”
Ia juga banyak mengoleksi tulisan para
kolumnis di Mesir. Quraish juga produktif menulis untuk media massa. Ia
terkenang ucapan mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Prof Harun Nasution
kepada Nurcholish Madjid. “Kamu jangan ceramah terus. Menulislah! Kau punya
tulisan itu kekal, Ceramahmu mudah dilupakan orang.”
Buku-bukunya banyak diterbitkan Mizan dan
selalu menjadi best seller. Tahun
1973, ia menulis Tafsir Al Manar: Keistimewaan
dan Kelemahannya. Buku ini diterbitkan hingga hingga kali. Ia juga menulis Membumikan Al Quran (terbitan Mizan),
yang merupakan kumpulan kolomnya di media massa.
Setelah itu ia menerbitkan Lentera Hati yang berisi 153 esainya.
Kemudian Wawasan Al Quran: Tafsir Mawdhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat. Ia mengatakan: “Ilmu itu ibarat hewan buruan,
dan tulisan adalah tali pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dnegantali yang
kuat.”
Beberapa bukunya terus dicetak ulang. Di
antaranya adalah Dia Dimana-mana, Tangan
Tuhan di Balik Setiap Fenomena, yang telah mengalami 10 kali cetak ulang.
Yang fenomenal adalah Tafsir Al Mishbah,
terbagi dalam 15 jilid, seluruhnya berjumlah 10 ribu halaman lebih.
Buku ini
telah 10 kali dicetak ulang, dengan jumlah cetakan hingga 450 ribu eksemplar.
Padahal, buku ini tergolong lux. Dijual seharga 2.430.000 per set atau 15
jilid.
***
SEBAGAI ulama, yang menyampaikan buah-buah
pikirannya secara tertulis maupun melalui dakwah, Quraish kerap kali dituding
dan dicaci oleh orang-orang yang tidak begitu memahai pikirannya. Paling sering
dia dituduh syiah. Bahkan seorang Ketua MUI pernah menuduhnya demikian. Quraish
minta agar dirinya diadili. “Saya minta diadili. Silahkan adili saya.”
Ia merujuk kasus Nasr Hamid Abu Zayd,
intelektual Muslim yang divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996. Abu
Zayd diadili karena pemikirannya yang dianggap menyimpang. Di pengadilan
pertama, tuntutan yang didukung oleh dua ribu ulama dari Al Azhar itu ditolak.
Namun di pengadilan banding, yang dikuatkan Mahkamah Agung di Mesit, Abu Zayd
dinyatakan murtad.
Quraish mempersilakan pengadilan untuk
memeriksa semua buku dan karyanya, baik cetak maupun audio-visual. Ia akan
meminta seorang syaikh di Al Azhar yang menjadi juri. Mengapa melibatkan syaikh
di Al Azhar? Quraish paham betul bahwa ulama Mesir yang mayoritas Sunni akan
bersikap objektif dalam menilai pemikirannya. Mereka memiliki parameter kuat
dalam memahami pemikiran orang lain.
bersama sahabatnya KH Mustofa Bisri |
Paling sering ia dituduh Syiah karena
mencintai Ahlul Bait. “Saya memang cinta Ahlul Bait karena saya punya hubungan
darah dengan mereka. Jadi cinta saya berganda. Yang pertama karena saya tahu
akhlak luhur mereka. Kedua, karena mereka kakek-nenek saya.”
Cinta itu ditanamkan sejak masa kanak-kanak oleh ayahnya Abdurrahman Shihab dan gurunya Habib Abdul
Qadir Bilfaqih. Ayah dan gurunya sama-sama habib, yang masih punya pertalian darah dengan keluarga Rasul.
Setahu Quraish tak ada cela pada Ahlul
Bait. “Kalau ada cela, maka itu bukan dari mereka. Imam Ja’far ash-Sadiq adalah
gurunya sekian ulama mazhab. Sayyidina Husein dan Imam Ali Zainal Abidin sangat
dijunjung tinggi oleh orang Sunni di Mesir. Bahkan orang NU juga mencintai
Ahlul Bait,” katanya.
Namun ia mengaku seorang sunni, bukan Syiah. Ia masih salat dengan cara Sunni, menjalankan ritual sebagaimana orang Sunni lainnya. Ia mempersilakan orang-orang untuk ke rumahnya dan menyaksikan bagaimana ia dan keluarganya menjalani semua ritual keagamaan.
Ia menduga, tuduhan itu muncul sejak tahun
1992, saat dirinya memimpin proyek penyusunan Ensiklopedi Al Quran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, setebal 2.100
halaman. Ia mengutip Tafsir Al Mizan
yang ditulis Muhammad Husein Thabathaba’i, cendekiawan Iran.
Meski sering tak
bersepakat dengan ulama Iran ini, Quraish tetap perlu mengutip pendapatnya.
“Amanah ilmiah mendorong saya untuk untuk mengutip pendapat yang saya yakini kebenarannya,
dan bermanfaat bagi pembaca.”
Ia juga mengutip Al Mizan saat membuat
kitab Tafsir Al Mishbah. Meskipun
baginya itu hanya satu sumber di tengah berbagai sumber lain dari para ulama
sunni terpercaya. Puncak tuduhan syiah muncul saat dirinya ditunjuk jadi Menteri
Agama.
Makanya, ia menilai tuduhan itu lebih bernuansa politis ketimbang ideologis. Demi
menyampaikan gagasannya, ia telah menulis panjang lebar dalam buku Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
Baginya, ada banyak perbedaan, tapi jauh lebih banyak kesamannya. Demi tujuan
harmonis umat Islam, maka semua pihak
harus bergandengan tangan dan tidak mengedepankan perbedaan.
Kontroversi lain adalah tentang jilbab. Ia
menjelaskan pandangannya secara terperinci dalam buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan
Cendekiawan Kontemporer. Ia menjelaskan berbagai pandangan ulama yang
terbelah mengenai jilbab. Ia tidak menarik kesimpulan, lalu menyilahkan
orang-orang untuk memilih sikap agar tidak timbul saling kafir-mengafirkan.
Ia mengatakan, ”Yang memakai jilbab dan
menutup selain muka, itu sudah benar. Malah boleh jadi melebihi ketentuan
agama. Yang tak berjilbab tapi berpakaian terhormat, belum tentu salah. Kalau
mau terjamin, pakaialah jilbab. Tapi jangan lantas menganggap wanita tak
berjilbab itu bukan Muslimah.”
Dalam setiap kontroversi, Quraish selalu
menuliskan pemikirannya dengan runtut, lengkap dengan argumentasi Al Qur’an
serta hadis-hadis yang dijadikannya sebagai dasar. Ia menyilahkan para
penentangnya untuk ikut menuliskan gagasan sehingga dialog dan tukar pikiran
bisa terjadi.
Baginya, tafsir terhadap pengetahuan selalu terbuka untuk
diperdebatkan. Seseorang harus memahami dengan baik makna setiap kata dalam
teks, sebelum akhirnya menyimpulkan makna.
Namun, ia selalu ingin berdebat yang
produktif. Ia tak ingin berdebat dengan mereka yang keras kepala dan hanya
menganggap dirinya benar. “Jangan berdiskusi, apalagi menasihati siapa yang
dapat engkau kalahkan argumentasinya, tetapi dia mengalahkan engkau dengan
sikap kepala batunya.”
***
DEMIKIANLAH kisah Quraish Shihab, ulama Bugis yang besar di Kampung Buton,
Makassar. Ia adalah aset bagi bangsa Indonesia. Ia seorang ulama yang berusaha
mencerahkan umat, yang kisah-kisahnya saya baca dalam buku Cahaya, Cinta, dan Canda.
Di usia sepuh, ia masih setia mencerahkan
umat melalui buku dan dakwah yang disiarkan melalui televisi. Dia masih
membimbing umat melalui buku-bukunya yang dengan mudahnya bisa ditemukan di
mana-mana.
Kita boleh tak sepakat dengannya. Namun alangkah
baiknya jika kita mengikuti caranya dalam menanggapi perdebatan yakni
menuliskan buah pemikiran secara utuh. Dengan hanya menulis sepenggal kalimat
di media sosial yang berisi seruan kebencian padanya adalah langkah yang tidak
bijak dan kekanak-kanakan.
Sampaikan ketidaksetujuan padanya di ranah akademis,
sebagaimana dilakukannya melalui lembar-lembar kitab. Kita pun bisa
menyampaikan semua argumentasi kita melalui lembar-lembar pemikiran yang kelak
akan menambah khasanah perdebatan umat menjadi lebih cerdas dan lebih
produktif. Kalaupun kita tak sekokoh dirinya saat berargumen, lebih baik kita
berdiam diri sembari menyerap apa makna yang hendak disampaikannya.
Saya tak punya niat untuk membantahnya. Ilmu saya hanya level bocah yang baru belajar mengaji, masih amat jauh darinya yang sudah membaca dan menulis sedemikian banyak kitab. Lebih baik saya mengalir sembari menyerap apa-apa yang bisa saya pahami.
Sejauh ini, saya menyukai kedalaman pengetahuannya saat menjelaskan makna setiap kata dalam Al Quran maupun hadis. Dia adalah guru di dunia literasi, juga guru di layar kaca. Saya hanya penikmat, yang jika kadar pengetahuan dibandingkan dengannya, serupa pesisir pantai dan samudera yang tak terkira kedalamannya.
Jika mencari ilmu adalah perjalanan untuk
menemukan kearifan, maka para ulama seperti Quraish Shihab telah menunjukkan
peta bagi kita untuk melangkah.
Selanjutnya, kitalah yang akan menentukan
hendak ke mana, apakah perjalanan itu hanya masuk dalam labiran tak berujung yang kesemuanya berpangkal sikap skeptis kita pada kebenaran, ataukah perjalanan itu menjadi pencarian keping-keping pengetahuan yang
senantiasa berkilau dan menyebar cahaya kearifan bagi sekeliling kita.
Bogor, 27 Juni 2017
BACA JUGA:
16 komentar:
Saya Muslim abangan, tidak begitu paham kitab-kitab beliau. Tapi, insyaallah selalu berusaha menghayati dan mengamalkan pesan-pesan beliau yang sejuk dan humanis. Terima kasih, tulisannya tambah mencerahkan, Mas ��
Kerenn tulisannya 👍
Keren tulisannya🙌
Keren dan mencerahkan
Keren dan mencerahkan
Biarpun keturunan Arab, sang ayah tidak pernah memakai embel-embel Arab misalnya jubah putih dan songkok putih. Ke mana-mana, ia memakai peci hitam. “Aba mengajarkan anaknya dan sesama keturunan Arab untuk menyatu dengan Indonesia. Dia tidak mengenakan peci putih khas Arab, melainkan peci hitam, khas Indonesia. Dia mengenakan celana, bukan jubah, bahkan berdasi dan berjas jika pergi ke pesta,”
------------------------
Sang ayah tidak pernah memakai embel-embel Arab.
Abah mengajarkan anaknya dan sesama keturunan Arab untuk menyatu dengan Indonesia.
Dia memakai celana bukan jubah, bahkan berdasi dan berjas jika pergi ke pesta.
Saya agak bingung dengan kalimat ini...
makasih om
makasih om
makasih krn udah baca
sy rasa paragraf itu jelas. komentator lain paham apa maksudnya.
makasih om
Mantap. Mencerahkan
👍👍👍👍👍
Lepas dari soal Syiah atau Sunni, saya pengagum beliau, sejak dulu sampai sekarang.
Memang akan bingung jika dibaca dari satu sisi (emosional).
Parkir dl berteduh disini ka Yus...
Posting Komentar