Catatan di SUKAMISKIN




Seorang kawan mengajak saya berkunjung ke Lapas Sukamiskin. Kami hendak ke satu kantor, yang kebetulan tidak jauh dari Sukamiskin. Apalagi, kami melintas pada jam berkunjung yakni jam 09.00. Saya pun mengiyakan. Kami menjalani semua prosedur. Mulai dari menunjukkan KTP hingga scan sidik jari.

Sukamiskin masih menyimpan warisan jejak pemerintah kolonial. Pintu depannya tampak tebal dan berat. Jendelanya dilapisi terali yang kokoh. Di atas tembok, selalu ada kawat duri. Sukamiskin punya banyak kisah tentang mereka yang berdiam di situ, di antaranya adalah kisah pemuda Sukarno yang kemudian jadi presiden.

Saya ikut antrean melewati pintu berwarna merah. Seorang bapak di hadapan saya tidak henti menebar senyum. Saat itu, seorang petugas menyapa: “Pasti mau masuk ke dalam untuk bahas pilkada yaa?” Bapak itu tertawa ngakak.

Di ruang tunggu Sukamiskin, banyak keluarga berdatangan. Banyak di antara mereka yang membawa makanan. Saya lihat warga binaan dan pengunjung berbaur menjadi satu. Semuanya tampak ceria dan gembira.

Di kejauhan, saya melihat Patrialis Akbar. Dia hanya melintas sembari memperhatikan kami. Saya berharap bisa bertemu Anas Urbaningrum. Sayang, dia tak tampak. Saya pun ikut ngobrol lepas dengan beberapa orang di situ.

Saya teringat lebih sepuluh tahun lalu ketika bertugas meliput di LP Gunung Sari Makassar. Waktu itu, saya ikut rombongan Gubernur Sulsel yang mendatangi lapas untuk merayakan 17-an. Setelah gubernur pergi, beberapa biduan tampil menyanyi. Warga binaan ikut berjoget.

Saya melihat suasana lapas seperti suasana kos-kosan mahasiswa. Ada banyak orang yang saling sapa. Seorang warga binaan bercerita kalau banyak cewek cantik yang jadi tahanan kasus narkoba. Saya bisa melihat beberapa perempuan berambut orang dan modis di situ.

Tidak jauh dari lapangan itu, saya mendekati seorang bapak. Matanya teduh. Dia tampak seperti seorang kakek baik hati yang berbinar saat ditemui cucunya. Ketika saya pergi, seorang kawan memanggil. Dia berbisik kalau kakek itu dipanggil Daeng L, seorang terpidana seumur hidup karena pembunuhan satu keluarga di Jalan Karunrung, Makassar. Ah, masak sih?

Kini, saya merasakan hal yang sama di Sukamiskin. Saya menemukan banyak sorot mata bersahabat di sini. Saya ingat catatan Rahardi Ramelan, salah seorang mantan penghuni LP Cipinang. Menurutnya, beda antara warga di dalam lapas dan di luar sangatlah tipis.

“Yang di dalam adalah mereka yang ketahuan, atau malah dikorbankan. Di luar sana, jauh lebih banyak orang tidak ketahuan.”

Namun, suara yang di dalam seakan lenyap begitu saja. Kita lebih suka memvonis ketimbang mendengar mereka. Padahal mereka yang di dalam lapas mendapatkan kesempatan untuk merenungi apa yang terjadi, bisa melihat dunia luar dengan cara pandang baru, dan ketika keluar bisa menjadi figur berbeda.

Dengan segala pengalamannya, seharusnya mereka menjadi warga kehormatan yang telah menjalani proses pendewasaan. Negara tak perlu menghukum lagi mereka yang sudah keluar.

Saya rasa hukuman di masa kolonial lebih manusiawi di banding sekarang. Dulu, generasi Bung Karno diasingkan ke pulau-pulau terjauh. Sukarno dibuang ke Bengkulu, kemudian Ende. Hatta diasingkan ke Banda Neira. Di sana, mereka tetap beraktivitas dan berinteraksi dengan warga. Mereka menyebar benih kebangsaan di mana pun berada.

Saya ingat kisah Pramoedya. Ketika ditahan di Pulau Buru, justru dia bisa melahirkan karya sastra terbaik dalam sejarah bangsa ini. Dalam segala keterbatasan dan tekanan kerja paksa, dia bisa melahirkan bait-bait yang kemudian menjadi capaian emas bangsa kita.

Justru dalam keadaan yang serba sulit itu, dia menemukan butiran kata yang mengharu biru dan mengingatkan anak bangsa tentang diri dan sejarahnya. Kenapa pula kita harus menghakimi mereka?

“Yos, sudah lama menunggu? Maafkan karena tadi saya singgah salat dhuha,” katanya. Saya melihat sosok itu menyapa dan tersenyum ramah. “Saya baru tiba,” kataku. Dia tersenyum.

Di luar sana, Bandung diguyur hujan lebat.

0 komentar:

Posting Komentar