Dokter Muda di Kampung ASMAT




Dokter muda itu bisa saja hanya duduk di klinik sambil memanen rupiah. Dia memilih hidup yang menantang. Dia mundur dari klinik, kemudian menekuni dunia literasi. Dia bergabung dengan Dompet Dhuafa demi menjalankan misi kemanusiaan. Dia, Drg Dhihram Tenrisau.

Lelaki yang dipanggil Tesa ini suka menerobos tantangan. Dia selalu menghindari acara-acara diskusi politik di ruangan ber-AC. Dia juga menjauh dari berbagai acara-acara milenial perkotaan yang sedikit menyerempet ke tema politik, juga popularitas.

Namun saat mendengar tragedi kemanusiaan, dia akan segera bergabung sebagai relawan. Ketika konflik Rohingya merebak, dia ke sana sebagai relawan di Posko Kesehatan. Dia tak sekadar bertugas sebagai staf medis. dia membuat reportase pandangan mata atas tragedi kemanusiaan yang diamatinya.

Di akhir 2017 hingga awal 2018, berita tentang gizi buruk di Asmat merebak. Alumnus Universitas Hasanuddin ini pun bergegas ke sana bersama beberapa dokter dan rombongan Dompet Dhuafa. Kembali, dia membuat catatan-catatan yang kemudian terbit menjadi buku berjudul Asmat: Mutiara Timur yang Tersisih.

Saya amat beruntung karena dikirimkan gratis buku ini. Dia menulis feature perjalanan yang menarik tentang gizi buruk di Asmat serta program intervensi yang mereka lakukan. Dia bertemu mereka yang mengalami gizi buruk, mencatat kisah-kisah, juga mendeskripsi lanskap Asmat yang eksotik.

Saya tercenung membaca bab mengenai sagu. Dia mencatat komentar beberapa warga Asmat yang mengatakan gizi buruk ini terjadi ketergantungan pada beras. Saat orang Asmat masih mengonsumsi sagu, gizi buruk tidak pernah terjadi.

Namun sejak pegawai negeri mendapat jatah beras, serta dana otsus turun ke desa-desa dalam bentuk beras, sagu seakan turun kelas. Orang Papua mulai tergantung pada beras yang diimpor dari Jawa. Saat pasokan terbatas, gizi buruk dan krisis pangan merebak.

“Gizi buruk tidak akan terjadi kalau warga Asmat masih menjadikan sagu sebagai makanan dan identitas,” kata seorang warga Papua, sebagaimana ditulis Tesa.

Membaca bagian ini, saya pikir Tesa adalah sosok yang sangat antropologis. Dia bisa melihat satu soal tidak hanya dari sisi medis, tapi mengurai sosial budaya, perubahan pola makan, hingga pengaruh kebijakan politik.

Saya merasa buku ini terlalu singkat. Saya ibarat menikmati sajian enak yang cepat habis, sementara rasa lapar masih melilit perut. Saya rasa banyak sisi menarik yang bisa diangkat mengenai Asmat dan seharusnya diulas.

Tapi saya pikir ini hanya pembuka jalan. Saya yakin di masa mendatang, Tesa akan lebih banyak lagi menulis berbagai hal mengenai Asmat serta tantangan yang dihadapi di sana.

Saya sangat salut melihat buku ini. Anak muda yang sering melihat saya sebagai mentor ini telah bergerak melampaui rekan sejawatnya. Dia sudah mengabadikan kenangan, membagikan kenangan itu agar menjadi perhatian semua orang, sehingga kelak akan menjadi gelombang empati dan keberpihakan pada orang Asmat.

Dia sudah meletakkan satu alarm di pikiran kita tentang betapa banyaknya pekerjaan rumah untuk kita sama-sama selesaikan di Asmat, negeri timur yang kaya raya dan penuh potensi hebat.

Selamat buat Tesa. Terima kasih atas buku yang keren ini.


0 komentar:

Posting Komentar