Erick Thohir dalam Catatan Profesor Amerika


Erick Thohir dan Sri Mulyani saat jumpa pers mengenai pemberhentian Dirut Garuda

Di awal kabinet ini dilantik, kita punya ekspektasi pada beberapa nama. Mulai dari Bahlil Lahadalia, Nadiem Makarim, hingga Erick Thohir. Tapi di antara mereka, tampaknya hanya Erick Thohir yang terlihat menampilkan ketegasan serta gebrakan yang selalu menjadi sorotan publik.

Ketika dia meminta Ahok bergabung di Pertamina, dia terlihat santai dan mengabaikan suara-suara protes dari sejumlah orang yang mengatasnamakan agama. Dia melihat kinerja, bukan suara bising. Demikian pula saat memangkas pejabat eselon di kementeriannya.

Saat dia memberhentikan Dirut Garuda, dia melakukannya seperti gaya seorang sherif yang menembakkan pistol saat menerima laporan. Dia tampak dingin dan terlihat tidak ada beban. Kalau Anda salah, ya salah. Tak ada ampun untuk itu.

Sosok Erick Thohir membersitkan banyak harapan kepada anak muda Indonesia untuk tetap teguh dan konsisten, serta memberikan energi terbaik. Dia adalah sosok yang bekerja dan kian terpantau di radar publik. Dia pantas menjadi pemimpin bangsa ini.

Leadership-nya sudah terlihat sejak menjadi Ketua Panitia Asian Games 2019, serta Ketua Tim Jokowi-Ma’ruf.

Dia mewakili beberapa kriteria yang amat diidamkan orang-orang. Dia muda, kaya-raya, suka olahraga, juga pengusaha hebat.  Sebagai pengusaha media dan baliho, dia membawa gerbongnya merapat ke Jokowi. Sebagai pebisnis handal, dia bisa menggaet dan mengonsolidasi kalangan milenial dan pebisnis.

Orang lupa kalau dia seorang Muslim yang sangat taat. Seorang relawan berkisah ketika sedang salat di GBK, dia tidak menyangka kalau yang menjadi makmum adalah Erick Thohir. Catatannya viral.

Siapakah sosok Erick yang sebenarnya? Bagaimana pandangannya tentang Islam? Apakah dia akan menentukan kebijakan redaksi semua media yang dimilikinya?

Saya menemukan catatan tentang Erick Thohir yang ditulis Profesor Janet Steele, seorang pengajar jurnalistik di George Washington University. Janet bercerita tentang Erick yang belum saya temukan di liputan media-media.

Ternyata Erick memiliki ayah yang etniknya separuh Lampung dan separuh Bugis. Ibunya, setengah Tionghoa dan setengah Jawa Barat. Erick juga menikahi perempuan setengah Tionghoa, dan setengah Betawi. Selain latar belakang etnik, kisah Erick juga menarik untuk diulas.

Erick adalah pebisnis yang memulai kariernya dengan mengakuisisi Republika, media berbasis Muslim terbesar di Indonesia. Dia mengambil-alih media itu saat sedang krisis. Janet Steele menulis dan mewawancarai Erick Thohir saat melakukan riset mengenai Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara.

Dia melakukan riset pada empat media. Pertama, Sabili, yang disebutnya mewakili Islam skripturalis. Kedua, Republika yang menjadi representasi dari pandangan atas Islam sebagai pasar. Ketiga, Harakah, media Malaysia yang melihat Islam sebagai politik. Keempat, Malaysiakini yang melihat Islam secara sekuler. Kelima, Tempo, yang dianggapnya sebagai representasi Islam kosmopolitan.

Dalam catatan Janet, perjalanan Republika menempuh dua periode. Periode pertama adalah periode politik, ketika media itu di bawah ICMI yang menjadi lokomotif pemikiran di era Orde Baru. Periode kedua adalah periode bisnis ketika Mahaka Grup yang dipimpin Erick Thohir mengambil-alih media itu, kemudian mengubah haluan media itu menjadi lebih berorientasi pasar.

Di mata Janet, Republika di masa Erick Thohir mengalami pergeseran. Saat berkunjung ke media itu, tidak tampak banyak simbol-simbol keislaman. Padahal media ini bertujuan untuk melayani masyarakat Muslim.

Pihak Republika mengklaim apa yang mereka lakukan sesuai dengan garis keislaman. Dalam tulisan tentang sejarah Republika, yang beredar untuk kalangan internal, terdapat kutipan: “Dari halaman pertama hingga terakhir, tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja “amar ma’ruf nahi mungkar.”

Syahrudin El Fikri, salah seorang redaktur senior yang ditemui Janet mengatakan bahwa inilah Islam substansial.

“Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar. Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang disebut Islam substantif.”

Janet pertama kali bertemu Erick pada bulan Februari 2013. Di sebuah restoran yang trendi, Erick mengajak Janet untuk makan malam. Pertama bertemu, Erick langsung bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Janet menjawab bukan.

Erick bercerita, saat pertama masuk kantor Republika, dia memperlihatkan sebuah foto mengenai situasi di negara lain. Erick berkata:

“Kali pertama masuk Republika, saya tunjukkan foto. Inilah Islam. Orangnya memang Jerman, tetapi Muslim. Jangan mengira bahwa orang Tionghoa dan orang kulit putih, bukan Muslim. Belum tentu. Anda tak bisa berprasangka seperti itu."

Janet lalu bertanya tentang agama Erick Thohir, yang langsung dijawab lugas: “Saya seorang haji. Namun yang jelas, Islam bagi keluarga saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Itu identitas kami, tetapi juga sesuatu yang sangat personal,” kata Erick.

Erick mengakui bahwa dirinya membawa visi bisnis ke Republika, yang tadinya dikelola sangat idealis. Dahulu, Republika adalah tempat orang menuangkan gagasan-gagasan tentang bangsa. Ada banyak intelektual dan pemikir yang rutin mengisi kolom di media ini.

Di masa Erick, Republika makin berorientasi bisnis.

“Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan ketika masuk Republika. Pertama, media ini seharusnya berada di tengah, moderat. Kedua, saya tidak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, dan terbelakang. Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tidak bisa secara otomatis langsung berpikir negatif. Kita harus berpikiran terbuka. Terakhir, Anda harus memikirkan pembaca,” katanya.

Erick menginginkan media ini bisa berpikir positif. “Anti globalisasi? Itu belum terbukti buruk. Jangan mengira itu buruk. Orang asing juga membayar pajak. Oleh karena itu, saya bilang berpikir positiflah,” katanya.

Janet tak puas dengan pernyataan Erick. Dia lalu mewawancarai pihak redaksi. Semuanya berpandangan sama bahwa pebisnis tidak ikut mencampuri semua kebijakan redaksional. Saat ada hal-hal menyangkut politik, maka sikap pihak redaksi belum tentu sama dengan Erick Thohir.

Pada saat diwawancarai, Erick Thohir masih menjabat sebagai Presiden Direktur TvOne. Saat pemilihan presiden tahun 2014, TvOne mendukung Prabowo Subianto. Republika pun dianggap mendukung Prabowo.

buku yang ditulis Profesor Janet Steele

Pihak redaksi mengklaim kalau mereka netral. Sebagai media, mereka mendukung siapa pun. Tapi, Janet Steel mengamati tajuk harian ini dan juga Republika Online (ROL) kebanyakan dukungan kepada Prabowo.

Pihak redaksi Republika Online menyebut, kebanyakan pembaca media itu berasal dari Muhammadiyah yang menyukai tulisan-tulisan serangan pada Jokowi. Makanya, tulisan-tulisan mengenai serangan pada Jokowi selalu menjadi tulisan terpopuler yang tampil di halaman depan.

“Kami tidak bisa mengontrolnya Itu otomatis. Sebab cyber army Prabowo menyebarkan tulisan itu ke mana-mana. Makanya, Republika seakan-akan mendukung Prabowo,” kata Joko Sadewo, Pimred Republika Online.

Janet menganalisis hubungan antara web analytics atau proses mengukur dan menganalisis trafik situs web dan gatekeeping, proses menentukan berita yang tayang. Pembaca Republika memiliki kecenderungan untuk mendukung Prabowo dengan perbandingan 6 banding 1. Inilah para pembaca yang kemudian menyebarkan tulisan itu ke mana-mana sehingga menjadi hit.

Janet berkesimpulan bahwa segmen pasar menentukan arah pemberitaan media. Bahwa semua pilihan-pilihan berita, pada akhirnya akan diseleksi oleh segmen pembaca sehingga menentukan perwajahan dan isu yang ditampilkan.

Karena segmen pasarnya adalah komunitas Muslim, media ini lebih fokus pada isu-isu tentang Islam, mulai dari partai politik berbasis Islam, hingga tema-tema yang diperbincangkan komunitas Muslim.

Masuknya Erick Thohir mengubah wajah media ini ke arah komersial. Transisi itu menyebabkan adanya kompromi dengan idealisme dan ceruk pasar sebelumnya. Media ini akan tetap menyajikan jurnalisme yang profesional dan berbicara atas nama demokrasi, ekonomi, juga toleransi.

Dengan demikian, kita sudah bisa memprediksi bagaimana sikap media ini terkait pilpres tahun 2019. Belajar pada Janet, media ini akan berposisi di tengah, tapi pembaca dan cyber army yang akan menyebar berita itu ke mana-mana sehingga membentuk citra atau gambaran tentang media ini.

Gerak netizen ini adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihambat oleh Erick Thohir. Dia pun tidak mungkin mengintervensi media sebab di era media sosial ini, netizen punya otoritas hendak membagikan berita yang mana, juga menentukan mana yang hits dan mana yang bukan.

Pertanyaan terakhir yang cukup menohok dari Janet adalah: apakah Republika melayani kepentingan pembaca Muslim ataukah menjadi pemuas keinginan mereka?

***

KINI, sosok Erick Thohir kembali berada dalam spotlight percakapan publik. Sejauh ini, dia bisa menampilkan sosok sebagai pekerja keras yang cepat dalam mengambil keputusan. Kalangan milenial mengidolakan sosok seperti ini sebagai figur pemimpin yang tak sekadar menata kata, tetapi bisa pula bekerja.

Jika dia berniat menjadi pemimpin bangsa ini, karpet merah sedang terbentang untuknya. Apalagi jika kinerjanya semakin moncer. Erick akan jadi kereta yang melaju kencang dan tak bisa dihentikan siapa pun. Bahkan oleh Prabowo maupun Sandiaga Uno.

Kita tunggu saja.



0 komentar:

Posting Komentar