Tak Banyak Kampus Favorit di Petinggi KPK





Sejauh mana hubungan antara kuliah di perguruan tinggi favorit dan kesuksesan seseorang? 

Presiden Jokowi melantik para petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta anggota Dewan Pengawas KPK. Berbagai reaksi bermunculan. Ada yang pesimis, dan ada yang optimis.

Di kalangan para pendekar hukum, memegang posisi sebagai petinggi KPK adalah satu capaian besar. Hanya ada lima petinggi dan lima dewan pengawas yang akan mengendalikan organisasi yang menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.

Ini posisi yang diincar oleh semua pendekar hukum dan jutaan lulusan perguruan tinggi, khususnya yang belajar hukum. Semua berharap bisa lolos seleksi dan memegang amanah untuk menegakkan keadilan, menghukum koruptor, dan menegakkan marwah lembaga.

Saya membayangkan semua alumni kampus favorit ikut bersaing dan memperebutkan jabatan itu. Tapi coba lihatlah lima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta lima Dewan Pengawasnya yang baru saja dilantik kemarin.

Hanya ada satu alumnus Universitas Indonesia, satu alumnus UGM.  Sisanya berasal dari perguruan tinggi yang tidak terlalu mentereng. Malah, hanya ada satu orang yang pernah belajar kampus luar negeri.

Saya memperhatikan profil lima pimpinan KPK. Pertama, Firli Bahuri adalah lulusan Akademi Kepolisian RI. Kedua, Lili Pantauli Siregar, lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara. Ketiga, Nurul Ghufron lulus dari Universitas Jember. Keempat, Nawawi Pomolango, lulus dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Kelima, Alexander Marwata adalah alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), kemudian belajar di Universitas Indonesia.

Perhatikan pula anggota Dewan Pengawas KPK. Pertama, Tumpak Hatorangan Panggabean, yang lulus dari Universitas Tanjungpura di Pontianak. Kedua, Artidjo Alkostar yang lulus dari Universitas Islam Indonesia. Ketiga, Syamsudin Haris yang belajar di Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Keempat, Albertina Ho yang pernah belajar di UGM. Kelima, Dr Harjono yang belajar di Universitas Airlangga.

Di antara kelima nama ini, hanya Harjoni yang pernah belajar di perguruan tinggi di luar negeri. Dia belajar magister di Texas, Amerika Serikat, untuk mengambil gelar magister bidang comparative law.

Namun, ada benang merah yang menghubungkan mereka. Banyak nama di atas memiliki rekam jejak yang hebat di bidangnya. Mereka punya capaian yang mengesankan di dunia hukum. Mereka bukan orang kemarin sore yang ujuk-ujuk bicara korupsi. Rekam jejak di bidang itu sudah terlampau panjang.

Saya tertarik menelusuri asal kampus mereka belajar. Di Indonesia, ada anggapan kalau semakin hebat reputasi kampus, makin hebat pula reputasi alumninya. Padahal, dunia profesional tidak bekerja dengan cara pandang itu. Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa memaksimalkan semua peluang, bisa mengelola jejaring sosial, bisa membangun reputasi yang baik di sepanjang perjalanan kariernya.

Mari kita lihat rekam jejak dua petinggi KPK. Kita amati Lili Pantauli Siregar. Dia adalah seorang advokat yang sering membela buruh dan tani. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini mengawali kariernya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan dan banyak membantu banyak kasus hukum yang menjerat buruh tani dan nelayan di sana.

Kita lihat pula nama lain, yakni Nawawi Pomolango. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, ini adalah Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. Selain di Denpasar, ia sudah pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Ia juga tercatat pernah menangani kasus suap pengaturan kuota impor sapi dan pencucian uang yang menjerat mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Kemudian pada 2017, ia juga menangani kasus suap yang melibatkan mantan Hakim MK, Patrialis Akbar.

Rekam jejak mengesankan juga terlihat pada Dewan Pengawas KPK.  Kita ambil beberapa nama yakni Artidjo Alkostar dan Albertina Ho. Keduanya adalah hakim yang sama-sama mengadili perkara. Mereka berada di barisan ribuan hakim yang setiap hari menjadi pengadil. Nama keduanya mencuat karena reputasi serta jejak yang mereka torehkan di dunia itu.

Artidjo Alkostar

Artidjo adalah mimpi buruk bagi para koruptor.  Selama menjabat sebagai hakim agung, ia menyelesaikan sebanyak 19.708 perkara. Jika dirata-rata selama masa pengabdian, Artidjo setiap tahunnya menangani 1.095 perkara. Dia pun selalu memvonis para koruptor dengan hukuman setinggi-tingginya.

Kisah hidupnya mengesankan. Dia tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri. Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugasnya. Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang kini berusia 70 tahun tersebut sempat ditanya ke mana dirinya setelah pensiun. Saat itu, ia menjawab akan kembali ke habitat untuk memelihara kambing dan mengurusi usaha rumah makan Madura di kampungnya.

Demikian pula Albetina Ho. Perempuan asal Maluku Tenggara ini dikenal sebagai hakim yang menangani beberapa kasus kontroversial. Masyarakat yang memberikan apresiasi ketika ia menangani perkara Gayus.

Bahkan, untuk kali pertama, jaksa Cirus Sinaga dan Fadel Regan diseret ke pengadilan untuk menjadi saksi tambahan dalam perkara mafia hukum oleh wanita kelahiran Maluku Tenggara pada 1 Januari 1960 itu. Hakim-hakim yang mengadili terdakwa-terdakwa lain yang terlibat perkara mafia hukum tidak pernah mau memanggil Cirus dan Fadel.

Hampir semua nama di petinggi KPK dan Dewan Pengawas KPK memiliki reputasi yang sama=sama baik di dunia pemberantasan korupsi. Yang terpenting, mereka adalah figur yang bisa meyakinkan para wakil rakyat untuk memegang amanah sebagai garda depan pemberantasan korupsi.

***

Saya teringat tulisan saya yang berjudul Buat Kamu yang Gagal Masuk PTN Favorit. Di situ, saya mengatakan, tak ada korelasi antara Anda lulus di kampus mana dan kesuksesan. Saya punya pengalaman bertemu banyak orang hebat yang lulus dari kampus yang namanya nyaris tak terdengar.

Banyak orang yang membantah argumentasi saya. Bagi saya, kampus besar hanya menawarkan mitos. Bukan segala-galanya. Semuanya akan berpulang pada sejauh mana kemampuanmu menghadapi tantangan-tantangan baru, sejauh mana kemampuan yang untuk bertahan di semua situasi.

Yang terpenting adalah temukan passion yang disukai, setelah itu bergeraklah pada rel kesukaan itu. Jadikan setiap pekerjaan sebagai arena untuk berbuat yang terbaik, membangun satu rekam jejak yang kuat. Seiring waktu, reputasi akan terbangun, orang mulai percaya, hingga amanah-amanah untuk berbuat hal besar terbentang di depan mata.

Pada para petinggi dan Dewan Pengawas KPK, kita melihat bahwa nama besar kampus hanya bagian kecil dari penentu kesuksesan seseorang. Yang terpenting adalah semangat kuat, serta persistensi untuk selalu mengejar apa yang diimpikan. Masa depan akan ditentukan oleh reputasi dan langkah-langkah kecil yang dibangun hari ini.

Perjalanan mereka memang masih jauh. Belum tentu mereka membuat sejarah baru dan membuat upaya pemberantasan korupsi semakin berkilau. Sebagai publik, kita punya banyak harapan terhadap mereka. Entah, apa mereka bisa memenuhi harapan kita ataukah tidak.

Kita menunggu.


0 komentar:

Posting Komentar