SBY Menang Banyak, Prabowo Tak Pernah




SEMINGGU terakhir, peta politik kita menjadi amat dinamis. Mulanya adalah koalisi pemerintah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, kemudian berpose dengan penuh senyum bahagia dan seakan meledek. Keesokan harinya, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Bagaimanakah memahami posisi dan peran masing-masing pihak? Siapa yang akan diusung masing-masing koalisi kemudian berhadapan di arena pilpres? Benarkah SBY menang banyak dan menjadi pengendali semua situasi? Siapa menang banyak dan siapa menang sedikit? 

Marilah kita memahami peta politik kita dengan penuh riang gembira.

*** 

PRABOWO Subianto akhirnya bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden dua periode. Keduanya sama-sama berlatar militer. Berasal dari angkatan yang sama. Tapi coba lihat gestur saat keduanya jumpa pers. SBY berposisi sebagai seorang bapak yang bijak dan tenang saat bicara. Sementara Prabowo berposisi sebagai anak yang sibuk melempar kritik. Sesekali dia melihat gestur SBY, apakah kalimatnya benar ataukah salah.

SBY menampilkan sosok seorang priyayi. Kalimatnya tertata. Dia memegang catatan yang dipandanginya dari balik lensa kaca mata. Dengan membaca catatan, dia ingin mengesankan sesuatu yang terjaga. Dirinya sangat berhati-hati dan tidak ingin asal ngomong. Di situ, dia menunjukkan betapa dia pandai menata kata. Gesturnya berbeda dengan Prabowo yang langsung berbicara terbuka, menyoroti pemerintah, lalu menyelipkan pujian pada SBY.

Pertemuan itu menunjukkan betapa piawainya SBY dalam mengendalikan situasi. Dia menampilkan sosok sebagai pemimpin dan pengendali. Sementara Prabowo malah tenggelam di balik pesona dan kharisma SBY. Padahal, Prabowo adalah sosok yang selama ini menjadi perekat kelompok oposisi. Dia adalah anti-tesis Jokowi yang menjadi satu-satunya figur yang menyatukan oposisi.

Wajah Prabowo sumringah. Dia beberapa kali tersenyum. Saat bertemu SBY, Prabowo seakan lupa dengan semua sahabat dan tokoh-tokoh dari partai koalisi yang selama beberapa tahun menjadi mitranya yang setia. Dia lupa bagaimana PKS dan PAN yang selama ini menjadi mitra setianya di parlemen. Di satu layar televisi, seorang kader PKS berulang-ulang mengatakan semoga Prabowo tidak lupa pada kesetiaan partainya.

Di hadapan jurnalis, keduanya belum memastikan siapa capres dan cawapres. Pernyataan mereka sama-sama masih ngambang. Intinya mereka akan berkoalisi, siapa pun capres dan cawapresnya.  Bagi mereka yang berada di sisi oposisi, penentuan siapa pasangan yang berlaga sungguh tidak mudah. 

Memang, di atas kertas Prabowo punya elektabilitas yang paling tinggi di kalangan semua figur oposisi. Dia juga yang paling siap untuk menghadapi Jokowi. Akan tetapi, partai-partai oposisi memikirkan seberapa besar dampak “efek ekor-jas” atau coat tail effect. Maksudnya adalah pengaruh figur pada peningkatan suara di Pemilu. Partai seperti PAN dan PKS mulai ragu dan bertanya, apakah dengan mendukung Prabowo, suara mereka bisa meningkat, ataukah pilihan itu hanya menguntungkan Partai Gerindra? Istilah kasarnya, “Kalau gue dukung elo, lantas gue dapet ape?”

Pemilu kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kali ini, pemilu legislatif digelar bersamaan dengan pemilihan presiden. Siapa pun calon presiden yang dipilih maka akan membawa pengaruh pada suara partai. Efek ekor jas ini dinikmati Partai Demokrat pada tahun 2004 dan 2009 saat mengusung figur SBY sebagai calon presiden. Partai ini berlimpah suara dan menaikkan banyak kader di parlemen. 

Tahun 2014 lalu, PDIP diuntungkan oleh efek ekor jas ketika popularitas Jokowi melejit. Kini, partai-partai koalisi pemerintah yang memajang gambar Jokowi dalam semua sosialisasi. Partai-partai itu yakin figur Jokowi bisa meningkatkan perolehan suara mereka. 

Pertanyaannya, pernahkah partai-partai seperti PAN, PKS, Demokrat memajang figur Prabowo dalam kampanye mereka? Partai-partai itu tahu bahwa figur Prabowo amat identik dengan Gerindra. Jika mereka memajang gambar Prabowo, maka yang menikmati limpahan suara pemilih adalah Partai Gerindra. Mereka hanya jadi penggembira yang bertepuk tangan atas kesuksesan partai berlambang garuda itu.

Bulan lalu, saya sudah katakan bahwa partai-partai oposisi mulai ragu untuk mengajukan Prabowo. Pengalaman di pilkada serentak barusan mengajarkan bahwa Prabowo tidak bisa menjadi figur yang akan mengerek suara dari calon-calon yang mereka usung. Makanya, beberapa partai mulai berpaling ke figur lain. 

Saya sudah pernah menulis bahwa sejak usai pilkada serentak, Prabowo tidak bisa menjadi lokomotif yang menghela semua partai koalisi. Kekalahan banyak figur yang didorong Prabowo di provinsi-provinsi dengan penduduk padat kian membuat kaki-kakinya rapuh. Tanpa banyak hulubalang yang setia di daerah, dia bisa kalah dan bakal menerima nasib sebagai capres abadi.
Lagian, semua partai-partai sudah melakukan survei. Potensi kemenangan Prabowo kecil. Jika dipaksakan untuk didorong, maka sama dengan memasuki arena untuk menjemput kekalahan. Partai ingin menang biar bisa mengatur pemerintahan, biar bisa mengatur ritme kekuasaan, bisa membumikan visi dan idealisme partai (kalau ada), bisa membesarkan kader untuk sirkulasi kekuasaan.

Bukan rahasia lagi jika PAN dan PKS tidak ingin mengajukan Prabowo sebagai capres. PKS malah menginginkan figur lain yakni Anies Baswedan. Rencananya, Anies akan dipasangkan dengan salah satu dari sembilan kader PKS. Partai ini berharap Prabowo bisa legowo dan ikhlas menyerahkan dukungan kepada Anies. Demikian pula hanya dengan PAN. Partai berlambang matahari biru ini juga berharap akan menikmati “efek ekor jas” dengan mengajukan Anies, sebab figur ini tidak identik dengan partai mana pun. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan bersedia?

Bagi Prabowo, persoalannya tidak sesederhana itu. Mimpi jadi presiden sudah lama dipendamnya. Dia sudah memasuki arena berkali-kali. Dirinya pun memang masih ingin merebut posisi itu. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Jika akhirnya dia diminta mendorong Anies, maka dia berpotensi untuk dua kali ditelikung oleh orang yang pernah didorongnya. 

Pertama, Prabowo dahulu mendorong Jokowi untuk maju di pilkada DKI Jakarta. Saat itu Prabowo berpikir bahwa Jokowi akan membantunya untuk menang di pilpres. Ternyata malah melawannya di pilpres dan mengalahkannya. Kedua, dia juga mendorong sosok Anies Baswedan di pilkada DKI Jakarta. Jika sosok ini maju di pilpres, maka berarti Prabowo dua kali ditelikung dari upayanya menggapai mimpinya bagi bangsa dan negara. Apa kata dunia?

Bagi kader-kader Gerindra, persoalannya tidak sesederhana itu. Bagi mereka, Prabowo adalah figur yang masih menjadi magnet kuat untuk menarik pemilih. Caleg Gerindra ingin menggelar kampanye dengan cara memasang foto diri saat bersanding dengan Prabowo. Jika yang diajukan partai bukan Prabowo, apakah mereka mau memajang foto dengan capres itu? Saya yakin mereka lebih suka memajang foto bersama Prabowo sebagai simbol partai, sesuai dengan motto “Setia Hingga Akhir.”

***

DALAM situasi yang seakan deadlock, pihak Cikeas mulai mengambil alih kendali. Pada mulanya SBY hendak menyodorkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk berpasangan dengan Jokowi. Gerilya telah lama dilakukan. AHY juga sudah roadshow ke daerah-daerah. Pemilih milenial mulai digarap. AHY disiapkan menjadi idola baru, meskipun belum jelas benar apa saja kontribusi atau karya nyata yang dimiliki AHY. Sayangnya, proposal agar AHY digaet Jokowi ditolak oleh partai koalisi pemerintah.

Sebagai seorang ahli strategi, SBY paham bagaimana mengatur ritme dan melakukan lobi politik. Dia menemui Prabowo untuk membahas rencana koalisi. Mereka tak bicara figur yang didorong. Media dan orang-orang berspekulasi bahwa figur yang didorong adalah Prabowo – AHY. 

Di mata saya, duet ini adalah duet yang tidak menarik. Keduanya dari militer yang kemudian mundur. Ada yang dimundurkan, dan ada yang sengaja mundur. Karier mereka tak sampai puncak. Satu dimundurkan saat sudah berpangkat bintang yakni letnan jenderal. Satunya mundur saat masih berpangkat mayor.

Di internal Gerindra, suara-suara kritis mulai mencuat. Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menyebut AHY sebagai sosok boncel, anak kecil yang tidak punya pengalaman. Biarpun belakangan dia ditegur karena pernyataannya, faktanya dia memang menyampaikan sesuatu apa adanya. Dia tidak ingin Prabowo berdampingan dengan AHY. Dia tidak ingin Prabowo masuk dalam “jebakan betmen.”

Hubungan Gerindra dan Demokrat tidaklah seindah hubungan Gerindra dengan PKS dan PAN. Bersama PKS dan PAN, Gerindra sama-sama menjadi kekuatan oposisi yang kritis pada pemerintah. Sementara Demokrat justru lebih sering menjadi pesaing. Bukan rahasia lagi, sejak dulu hubungan Prabowo dan SBY tidak akur. Meskipun mereka satu angkatan di Akademi Militer, SBY lebih jeli dalam menempatkan posisinya sehingga bisa jadi presiden selama dua periode.

Hubungan dua partai yang tak akur itu terakhir muncul di pilkada Jawa Barat. Tiba-tiba saja Partai Demokrat membangun koalisi dengan partai oposisi lain, kemudian seolah-olah memaksa Gerindra untuk ikut gabung dengan duet Dedy Mizwar dan Syaikhu. Demi menjaga marwah dan gengsi partai, Gerindra memilih mengajukan kader sendiri dan menarik PKS. Gerindra memasangkan kadernya Sudrajat dan kader PKS yakni Syaikhu. Sementara Demokrat akhirnya memasangkan Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi dari Golkar. Poin yang saya amati adalah Gerindra tak ingin masuk dalam skema permainan Demokrat.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0

Suara kritis juga datang dari PKS. Partai ini mengingatkan Gerindra akan kebersamaan mereka dalam keadaan susah dan senang. PKS ingin agar Prabowo memberikan kursinya ke Anies, yang kemudian menggandeng kader mereka yakni Aher. Ini adalah skenario yang paling diinginkan PKS. Bagi Gerindra, skenario ini juga bagus sebab PKS adalah teman koalisi yang paling setia. Bolehlah membahagiakan kawan seiring yang hadir dalam segala suka dan duka.

Namun manuver SBY bisa membuyarkan semuanya. Koalisi Gerindra dan Demokrat bisa mengajak PAN, sebab dalam pernyataannya, SBY yakin bisa mengajak partai itu. Selama ini juga PAN seakan-akan franchise dari Partai Demokrat, mengingat kedekatan SBY dengan Hatta Radjasa. PKS akan dibiarkan kesepian jika kebersamaan dua partai itu terus melaju.

Jika melihat peta permainan partai oposisi, maka figur yang harus didorong sebagai capres bukanlah Prabowo. Saya menduga kuat, manuver SBY adalah memasangkan Anies Baswedan dengan AHY, kemudian membuat “jebakan betmen” agar Prabowo mundur terhormat. 

Prabowo akan diyakinkan, daripada maju dan kalah, mendingan mundur tapi menang dengan cara lain. Bisa jadi, Prabowo juga berpikir asal bukan Jokowi. Yang penting menang. Tawaran itu diterima. Duet Anies dan AHY akan masuk arena. Demokrat pegang kendali. Demokrat lalu mendorong AHY untuk jadi presiden pada 5 tahun berikutnya. Maka Demokrat akan berkuasa selama 15 tahun. Satu periode menjadi wakil Anies. Sepuluh tahun berikutnya sebagai presiden. Sementara Gerindra dan PKS hanya bisa bertepuk tangan di luar lingkaran inti kekuasaan.

Jika skenario ini berjalan dan Anies Baswedan bersama AHY menang (ini cuma pengandaian), maka SBY menjadi seorang pengatur strategi paling brilian sebab berhasil mengondisikan partai-partai oposisi dalam irama yang direncanakannya. SBY adalah ahli strategi yang dicatat dalam sejarah kita sebagai pemenang paling banyak dalam perhelatan politik.

Sementara Prabowo akan dicatat sebagai nasionalis yang meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Prabowo akan dikenang sebagai pemimpin oposisi yang tak pernah sampai puncak. Sejarah akan mencatat dirinya tidak pernah memegang tongkat komando kekuasaan tertinggi. Benarkah? Bukankah sejarah hanya akan mencatat para pemenang?

Kita akan menunggu babak baru dari adu taktik di panggung politik kita dalam waktu yang tak lama lagi.



0 komentar:

Posting Komentar