Yang Menjengkelkan dari Gibran Jokowi




WAJAR saja jika banyak yang datang melakukan aksi di depan outlet penjualan martabak milik Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi Widodo (Jokowi). Sebab Gibran harusnya bertingkah seperti anak pejabat dan penguasa lainnya. Mereka yang melakukan aksi itu mungkin saja hendak mengatakan, Gibran harusnya tahu diri bahwa sebagai putra presiden, dia tak harus merendahkan diri dengan jualan martabak.

Ada banyak suara yang membahas Gibran. Seseorang mengatakan, "Harusnya dia main-main dengan proyek APBN. Dia tak perlu bersusah payah sebagaimana jalan yang ditempuhnya sekarang sebagai pengusaha. Dia cukup datang cengengesan di kantor kementerian, maka banyak dirjen dan menteri akan sukarela membagikan proyek-proyek disertai upeti dan angpao." 

Ada lagi yang berkata: "Harusnya dia belajar pada anak-anak pejabat di negaranya yang dengan mudahnya menjadi kaya raya berkat proyek-proyek yang disetorkan bawahan bapaknya. Kenapa pula dia tidak mau meniti karier di dunia politik, sebab bisa saja mendapatkan karpet merah untuk jadi calon presiden berkat restu bapaknya. Dia tak perlu antrean, sebab ketika dirinya datang, mendadak semua orang jadi petugas partai."

Tapi kok dia malah jualan martabak? Kalaupun dia mau tetap ngotot jualan martabak, bisa saja dia meminta negara untuk menjadikan martabak buatannya sebagai produk nasional yang disajikan dalam semua jamuan kenegaraan, mulai dari level istana sampai desa. Dia cukup bilang ya, maka semua birokrasi akan dengan sukarela melakukannya.

Dia lupa. Di negerinya sendiri, menjadi putra seorang pejabat adalah menempati strata sosial yang berbeda dengan kebanyakan orang lain. Anda cukup ongkang-ongkang kaki dan menunjuk pada titik mana Anda hendak melakukan usaha. Dia cukup melirik seorang pejabat dan pengusaha, maka semuanya akan dibawakan di hadapannya. 

Makanya, Gibran menjadi seorang anak presiden yang menjengkelkan. Tujuan dari dagang atau bisnis adalah mencari untung. Masak dia mau saja menempuh jalan yang panjang dan sukar demi mendapat untung. Bagaimana jika gagal? Apakah dia tidak merasa malu sebab bekerja keras demi sesuatu yang tidak pasti? 

***

ANDAIKAN bisa bertemu Gibran, saya ingin bercerita banyak hal. Tak jauh dari kampung saya, putra seorang bupati ditahan aparat karena terbukti menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten hingga hampir mencapai angka 10 miliar rupiah. Dia bebas bebas menggunakan dana negara hingga miliaran. Maklumlah, ayahnya bupati. Mana ada yang berani menentang?

Catatan tentang transaksi yang dilakukan pemuda itu memang ada di mana-mana. Ia pernah menutup satu bar ataupun karaoke di satu kota demi menjamu semua teman-temannya. Ia seorang flamboyan yang ke mana-mana bersama para gadis. Seorang teman bercerita kalau terdapat satu kamar jenis presidental suite di satu hotel mewah di Jakarta, yang hanya bisa ditempati olehnya selama setahun. Ia membawar sewa selama setahun penuh, meskipun ia tidak setiap saat ada di Jakarta.

Mungkin, tak masalah jika prilaku berfoya-foya itu menggunakan dana pribadi. Parahnya, ia tak punya usaha ataupun bisnis yang bisa menunjang sikap berfoya-foya itu. Bapaknya adalah seorang bupati yang punya kuasa atas miliaran dana pusat yang dititipkan ke daerah melalui berbagai skema anggaran. Memang, tak mudah mencairkan dana itu. Ada mekanisme yang harus ditempuh. Akan tetapi ayahnya seorang bupati yang bebas mengeluarkan memo kepada bendahara daerah.

Berbekal secarik memo, ia lalu mengontak bendahara daerah. Dengan sedikit ancaman pencopotan dari posisinya. Birokrasi bergerak laksana hamba yang setiap saat memenuhi keinginan sang putra mahkota. Tercatat beberapa kali transfer dana publik ke rekening pribadi. Tercatat pula transfer dana publik ke rumah karaoke, rumah pijat, rumah mode, salon, hingga beberapa resto mewah. 

Birokrasi punya banyak mekanisme yang diperhalus dengan istilah-stilah, misalnya penyegaran, penguatan visi bupati, fit and proper test, hingga berbagai nama lain yang ujung-ujungnya adalah pencopotan birokrat yang tak bersedia menghamba pada kepala daerah. Berani membantah, siap-siap kehilangan jabatan. Jika anda masih joblo, tentu tak masalah. Tapi jika anda seornag profesional yang punya keluarga, maka siap-siap untu menyanyikan lagu “sakitnya tuh di sini.”

Anda jangan terkejut dengan kenyataan ini. Reformasi dan desentralisasi telah memindahkan kewenangan pusat ke daerah-daerah. Di masa reformasi, terdapat banyak wacana untuk menguatkan daerah. Tapi fakta yang muncul cukup menggiriskan. Di banyak tempat, yang muncul sebagai kepala daerah adalah mereka yang tidak punya karakter melayani. Yang muncul adalah transformasi dari kerajaan atau kesultanan ke dalam birokrasi. Kepala daerah adalah raja, yang lain adalah abdi.

Putra bupati menjadi putra mahkota yang juga harus disembah. Jika tak ingin ketahuan sebagaimana kepala daerah yang disebut di atas, ada banyak mekanisme lain. Misalnya menjadikan sang putra sebagai kontraktor yang dimodali ayahnya, kemudian menadah semua proyek pemerintah daerah. 

Dengan cara ini, semua proyek infrastruktur masuk kas pribadi, kemudian digunakan untuk hal lain, misalnya menjadi ketua partai politik, menjadi ketua organisasi massa. Di ajang pemilihan, sang putra mahkota itu lalu menjadi caleg, yang menggunakan kekuatan uang, hingga akhirnya terpilih menjadi anggota dewan. Nanti siap-siap jadi bupati untuk menggantikan ayahnya.

Bisa pula cara lain. Sang putra mendapat jatah kuasa pertambangan, yang kemudian digunakan untuk mengeruk hasil bumi. Kalau cara ini berisiko, ada lagi yang lebih simpel, yakni membeli tanah warga dengan harga murah, setelah itu menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lalu membangun infrastruktur di sekitar tanah sang putra. Harga tanah melonjak drastis. 

Kalau masih berisiko, ada lagi cara lain. Buka saja satu toko bahan bangunan, toko makanan, toko alat tulis, toko foto kopi. Nanti semua rekanan pemda diarahkan untuk belanja di situ. Anggaran di-markup, sisakan untuk bagi-bagi, setelah itu simpan mliaran rupiah ke bank. Sang putra lalu kaya-raya.

Semuanya bisa terjadi. Ayahnya kan bupati.

***

MAKANYA, betapa jengkelnya beberapa kawan saya melihat Gibran yang hanya jual martabak. Jika ia tinggal di daerah, ia sudah lama menjadi bahan tertawaan. Ia benar-benar beda dengan keuarga pejabat di daerah-daerah yang sibuk membangun dinasti lalu mewariskan kekuasaan dan juga materi hanya untuk keluarganya. Jika saja ia berpikir uang, posisinya sebagai putra presiden bisa membuatnya kaya-raya dalam sekejap, tak perlu berjualan martabak. 

Ah, mungkin Gibran terlampau lugu. Dia tidak belajar dari putra-putri presiden sebelumnya yang mengeruk dana negara demi mengalirkannya ke perusahaan pribadi. Dia tidak belajar bagaimana putri presiden yang di awal-awal mendapat tender ratusan kilometer jalan tol, lalu mendapat lagi jatah saham hingga lebih 30 persen di beberapa bank terbesar. 

Saudara dari putri itu lalu mendapat monopoli perdagangan cengkeh, jatah 1 dollar dari setiap barel penjualan BBM, penjualan mobil hingga mie instan, usaha penerbangan, ratusan perusahaan tambang, hingga payung hukum negara untuk proyek mobil nasional yang ternyata mobil asal Korea, yang telah dibebaskan bea-masuk agar murah dijual. 

Si Gibran itu memang beda. Kenapa pula ia tidak berpikir untuk membuat banyak yayasan-yayasan, lalu mengelola dana negara di yayasan itu? Dia bisa belajar dari anak pejabat sebelumnya yang membangun masjid dan rumah sakit di mana-mana, namun menyelip sisa anggaran dalam jumlah sangat besar? 

Atau tak usahlah jauh-jauh. Anggaplah Gibran ini malas bekerja dan ingin santai di rumah. Mengapa pula ia tak berpikir untuk menjadi komisaris dari banyak perusahaan yang dengan sukarela akan menyerahkan posisi itu kepadanya, sebagai bentuk upaya “menjilat” kepada ayahnya demi proyek-proyek besar?

Jika saja Gibran membuka mata, mengapa pula ia tak meniru orang-orang yang mengaku relawan, yang merasa berjasa besar menaikkan ayahnya sebagai presiden, lalu teriak-teriak mengkritik demi jabatan komisaris BUMN? Mengapa pula ia tak meniru para politisi yang dulu memaki dan menyebar kampanye negatif ayahnya, lalu setelah ayahnya jadi presiden, para politisi itu datang ke istana dengan bersimpuh lalu cengengesan, sembari berkata, “Apakah bisa kami berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara?” Tapi melalui apa? “Melalui proyek!”

***

TAPI saya justru melihat Indonesia yang lebih benderang dengan kehadiran anak muda seperti Gibran. Dengan caranya sendiri, ia menginspirasi rakyat Indonesia untuk bekerja keras dengan tangan sendiri, keluar dari bayang-bayang ayahnya, berpeluh keringat demi menegakkan kemandirian. Saya bangga melihat seorang anak muda yang memilih untuk memulai dari nol, tanpa harus memanfaatkan posisi keluarga, menggunakan aji mumpung, atau melingkar pada lapis-lapis elite kuasa demi membangun kartel.

Dengan caranya sendiri, anak muda ini telah ‘menampar’ putra-putri pejabat yang hanya bisa memanfaatkan jabatan dan posisi ayahnya demi memenuhi kebutuhan pribadi. Gibran menunjukkan bahwa menemukan jalan nasib sendiri jauh lebih terhormat daripada sikap kongkalikong dan memanfaatkan posisi serta jabatan bapaknya. Bapaknya pun tak kelihatan menyiapkan satu jalan tol baginya untuk kelak menjadi politisi yang punya hak eksklusif untuk menentukan calon presiden.

Gibran memisahkan antara wilayah kerja bapaknya, serta wilayah garis edarnya, dan tak punya niat untuk mencampur-baurkan keduanya. Ia sadar bahwa jabatan presiden adalah amanah. Ia tahu bahwa pada jabatan itu melekat tanggungjawab, kerja keras, bukannya kemudahan-kemudahan dalam berbagai urusan. Ia memilih menjadi rakyat biasa yang bekerja, namun sesekali bisa mencandai ayahnya, yang kebetulan menjabat sebagai presiden di negara kepulauan terbesar di dunia.

Melalui anak muda seperti Gibran, kita bisa berharap pada tanah air Indonesia yang lebih hebat di masa mendatang. Kita berharap akan tumbuhnya lapis generasi baru yang menghadapi derasnya samudera kehidupan dengan mengayuh di atas biduk sendiri, dengan mengembangkan layar sendiri lalu memanggil angin perubahan, demi mencapai pulau kebangsaan yang indah-permai.

Makanya, mereka yang tak suka Gibran lalu berdemo di depan usaha martabaknya adalah mereka yang berharap Indonesia mundur ke belakang, pada era ketika seorang anak presiden bisa semewah-mewahnya dengan menggunakan kuasa ayahnya. 

Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang masih berpikir ala kerajaan, ketika seorang anak mendapat limpahan semua kemewahan dan pengaruh, bisa melakukan semua hobi mahal, sosialita, dan bisa pilih-pilih teman hanya dari kalangan bangsawan. Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang mentalnya masih feodal, masih mengira seorang anak pejabat harusnya foya-foya dengan fasilitas ayahnya.

Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang tak mampu menghargai bahwa setetes keringat dari kerja keras adalah berlian yang jauh lebih bernilai dari apapun. Di keringat itu, ada kemandirian, ikhtiar untuk tegak, serta keberanian menghadapi hidup yang penuh risiko dengan cara berdiri di atas kaki sendiri. 

Di situ ada kekuatan untuk tegak, tanpa harus manja pada orang lain, juga bapak sendiri. Di situ ada pertaruhan bahwa lebih terhormat bekerja dengan tangan sendiri, dengan keringat yang menetes-netes, ketimbang menggunakan sesuatu yang bukan hak.

Salut buat Gibran.




0 komentar:

Posting Komentar