Bukan JOKOWI di Media Sosial




DAHULU, kita hanya menemukan aktivitas dan komentar seorang pejabat publik melalui media massa. Kini, sikap, pikiran, dan pendapat mereka dengan mudahnya bisa ditemukan melalui media sosial. Kita menemukan mereka menyempil di tengah barisan warga biasa, menyaksikan mereka dari dekat, dan bisa mengikuti apa saja yang mereka lakukan.

Negeri kita menjadi negeri paling sibuk dan berisik di media sosial. Seorang kawan di luar negeri pernah bertanya pada saya, apa sih yang dilakukan orang Indonesia sampai-sampai menjadi negeri yang tinggi percakapannya di media sosial? Kawan itu tidak paham tentang cebong dan kampret. Dia juga tidak tahu bahwa di sini, bahkan hal-hal seperti etnik dan pilihan presiden bisa membuat tengkar dan debat kusir yang panjang.

Data dari Wearesocial.com juga menyebutkan negara-negara yang terbanyak menggunakan Facebook. Terbanyak adalah India (250 juta orang), Amerika Serikat (230 juta), Brazil (130 juta), Indonesia (130 juta), dan Mexico (83 juta). Anda bisa bayangkan, betapa ramainya perbincangan di media sosial di Indonesia, yang kebanyakan didominasi oleh kaum muda dan generasi milenial. Mereka saling bertukar pesan dan melihat bagaimana respon publik di situ.

Seiring dengan kian banyaknya orang Indonesia yang bercakap-cakap di media sosial, para politisi, pesohor, artis, dan juga tokoh masyarakat ramai-ramai menyerbu media sosial dengan membawa berbagai jargon dan isu. Di antara semua pesohor dan pejabat publik, Presiden Joko Widodo adalah yang paling aktif dan paling massif bergerilya di situ. Di semua lini media sosial, dia selalu memiliki akun pribadi. 

Perlu dicatat, akun Presiden Jokowi bukanlah yang paling populer. Akun milik Prabowo Subianto paling populer di Facebook, dengan jumlah penggemar hingga 9,6 juta orang. Selanjutnya Joko Widodo (7,9 juta), dan Susilo Bambang Yudhoyono (5,9 juta). Namun jika dilihat substansi dan pengelolaan konten secara kreatif, maka Presiden Jokowi adalah pemenangnya.


Tak hanya facebook, twitter, instagram, hingga Youtube pun dirambah Jokowi. Di situ, dia mengabarkan semua kegiatannya yang begitu banyak di negeri luas ini. Publik pun membanjiri semua postingannya dengan komentar. Saya cukup lama menjadi follower beliau di banyak akun medsos. Saya salut pada informasi yang terus-menerus di-update. Dalam sehari, bisa lebih lima postingan di situ. Semua kegiatan Jokowi dicatat secara lengkap.

Namun, belakangan saya mulai tidak tertarik membaca postingan Presiden Jokowi di akun media sosialnya. Saya mencatat ada beberapa hal yang membuat jenuh sehingga postingan itu jadi tidak menarik.

Pertama, media sosial milik Jokowi terkesan satu arah. Kesannya, media sosial hanya sekadar wadah untuk menginformasikan kepada publik apa saja aktivitas presiden. Padahal, publik media sosial, atau kerap disebut netizen, berharap ada interaksi, dialog, atau ajang berdiskusi tentang berbagai topik. Posisi media sosial bagi tim Jokowi hanya sebagai kanal yang memuat aktivitas, tanpa menjadi ruang berdialog atau kanal menampung aspirasi. Semua tanggapan terkesan dicuekkan begitu saja.

Kedua, media sosial milik Jokowi terasa benar dikerjakan tim sukses, bukan oleh Jokowi sendiri. Makanya, informasi yang disajikan adalah informasi ala tim humas yang isinya hanya kebaikan-kebaikan dan aktivitas. Padahal media sosial harusnya menjadi kanal untuk menemukan sisi paling orisinil dari seseorang. Dilihat dari sisi ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih lebih baik dalam mengelola media sosialnya. Publik tahu mana postingan yang langsung dari jemari SBY sebab biasanya ada kode *SBY.

Postingan itu mulai tak beda jauh dengan hasil kerja tim-tim humas di daerah-daerah. Hanya menampilkan kegiatan seremonial pejabat. Padahal, saya berharap bisa menemukan sisi orisinil seseorang di media sosial itu. Postingan yang dikemas tim humas ini jadinya tidak menampilkan sisi paling lucu, paling heboh, dan paling disukai dari sosok Jokowi. 

Dalam banyak postingan, saya malah tidak tertarik mengikutinya karena informasinya sudah ada di media massa. Kalaupun dikerjakan tim humas, harusnya lebih kreatif. Tim harus bisa merekam perasaan sang presiden saat bertemu orang lain, sesuatu yang tak selalu bisa ditangkap oleh jurnalis media.

Ketiga, narasi yang ditulis di situ tidak sesuai dengan gaya tutur Jokowi. Ini sudah pernah disampaikan beberapa blogger Kompasiana saat bertemu Jokowi di istana negara. Saya lupa siapa yang sampaikan, tapi saat itu ada yang memprotes mengapa narasi di medsos kok beda dengan keseharian Jokowi. Sebab kesehariannya terkesan santai, suka bercanda, dan bahasanya sederhana. Sementara di media sosial, Jokowi kadang terlalu serius, penuh data-data dan angka, juga sesekali ngesastra dan serupa novelis. 
Kerja berat tim Jokowi nanti adalah bagaimana memahami gaya bertutur Jokowi, kemudian menjadikannya strategi dalam mengemas pesan-pesan di media. Sebab kekuatan Jokowi ada pada kesederhanaan dan bahasa tutur yang muda dipahami. Tak perlu serius-seriuslah sebab Pakde Jokowi sendiri gak seserius itu dalam interaksi sehari-hari.

Ketiga, kanal media sosial milik Jokowi belum dikelola maksimal melalui strategi online dan offline yang terpadu. Kesan saya, antara kerja online dan kerja offline berjalan sendiri-sendiri, tanpa saling berdialog. Maksud saya, tak ada percakapan di dunia maya, yang seharusnya bisa menampung aspirasi. Seharusnya, tim Jokowi menggunakan kanal itu untuk bertanya kepada publik, yang kemudian dikelola sebagai mekanisme untuk penyusunan kebijakan publik. Jokowi bisa saja bertanya ke warga tentang apa yang harus dilakukan atau tanggapan mereka atas isu politik.

Idealnya, beberapa aktivitas langsung atau offline bisa digelar berdasarkan rekomendasi atau masukan di dunia online. Pengelolaan online harus bersinergi dengan pengaturan kegiatan offline. Jokowi bisa saja berkunjung ke satu lokasi, lalu mengundang orang-orang melalui akun media sosial miliknya. Atau bisa juga memperbanyak kuis, mengadakan sayembara khusus yang bisa diikuti siapa pun, atau secara berkala mengadakan teleconference dengan para penggemarnya di media sosial yang ada di berbagai kota.



Keempat, sistem pengelolaan informasi itu cenderung terpusat. Semua informasi hanya mengalir dari satu kanal, tanpa melibatkan partisipasi publik. Saya paham bahwa dalam konteks akun resmi media sosial, informasi harus langsung dari Jokowi dan timnya. Hanya saja, mesti dipikirkan bagaimana mekanisme pelibatan publik dalam diseminasi informasi tersebut.

Saya membayangkan, semua relawan Jokowi lalu membentuk kluster-kluster atau kelompok di semua wilayah, sehingga setiap ada informasi, langsung disebar secara cepat di kanal-kanal yang selama ini tidak dijangkau Jokowi. Model kerja ini bisa menyiasati keterbatasan jangkauan akun Facebook milik Jokowi sehingga bisa menjaring penggemar dari banyak sisi.

Kelima, akun media sosial Jokowi belum dikembangkan sebagai platform politik untuk menampung semua persoalan yang dihadapi masyarakat, juga belum bisa menjadi sarana advokasi atas semua kepentingan publik. Jika saja dikembangkan ke arah itu, maka kanal media sosial itu akan menjadi jendela bagi warga untuk menyampaikan keluh kesah, yang selanjutnya akan diverifikasi tim Jokowi, yang akan memberikan laporan dan update sejauh mana keluh kesah itu disampaikan.

Jika saja media sosial itu menjadi jendela bagi Jokowi untuk menampung masukan dalam penyusunan kebijakan publik, maka ruang-ruang publik itu akan menopang demokratisasi serta membangun kedekatan seorang kepala negara dengan warganya. Kebijakan bisa dikawal prosesnya, sekaligus bisa pula dipantau hasilnya, yang kelak akan memberikan efek positif dalam kerja-kerja Jokowi.

*** 

TAK ada gading yang tak retak. Meskipun ada celah, tetap saja akun media sosial Presiden Jokowi menjadi model paling bagus dalam pengelolaan media sosial di tanah air kita. Melalui akun media sosial itu, kita bisa melihat secara langsung apa yang dirasakannya, serta apa saja yang dilakukannya untuk tanah air Indonesia.

Bagi sebagian besar netizen, maka Jokowi seakan hadir dan berdialog langsung. Tapi bagi sebagian lainnya, akun itu hanya menambah satu kanal informasi yang semuanya mudah ditemukan di banyak media massa.






0 komentar:

Posting Komentar