BESOK, ajang pilkada akan digelar. Tak jauh dari rumah, saya telah melihat tempat pemungutan suara (TPS) dibangun. Pemerintah juga telah meliburkan hari. Semua orang mulai bergegas dan menyiapkan apa yang dibutuhkan terkait dengan pilkada. Suasananya serupa pesta meriah.
Pilkada tahun ini nyaris serupa dengan pilkada tahun lalu. Kemeriahannya terasa di jalan-jalan dan media sosial. Tahun ini, ada 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menggelar pilkada. Lebih setahun ini saya selalu bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah yang sibuk membahas pilkada.
Saya melihat ada beberapa hal baru dan gres di pilkada tahun ini.
Pertama, perang udara lebih massif dibanding sebelumnya. Semua tim sukses dan tim kampanye sama-sama paham bahwa media sosial ibarat warung kopi yang mempertemukan semua pihak di situ. Semua orang berkumpul dan terus-menerus membahas berbagai isu-isu politik. Media sosial menjadi ruang bagi kita untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Mengacu pada pandangan psikolog Erving Goffman, medsos ibarat panggung depan di mana semua kandidat berusaha menampilkan dirinya sebaik mungkin. Semua hal baik tentang satu kandidat dihamparkan di sini. Mulai dari visi, foto paling keren, hingga sikap yang religius. Beberapa kali saya mual melihat poster seorang kandidat yang mendadak religius dan berpose selalu memegang tasbih. Padahal, saya tahu bahwa keseharian calon kepala daerah itu tidaklah demikian. Maklumlah, itu demi suara.
Media sosial juga menjadi arena untuk menemukan berbagai black campaign kepada satu kandidat. Di situ semua tim sukses bertemu, berdebat, bertengkar dan bahkan saling fitnah. Sebagai warga, saya melihatnya sebagai lelucon. Saya sering tersenyum menyaksikan debat dan aksi saling “buka kartu” di media sosial. Lucu saja melihat seseorang yang kita kenali bergelar doktor, tiba-tiba berdebat sampai saling maki dengan akun palsu dari seorang tim sukses.
Hampir semua tim sukses memiliki pasukan cyber yang kerjanya adalah mem-bully dan menemukan kelemahan semua lawannya. Yang terjadi adalah saling hantam dan saling serang. Sayangnya, pasukan cyber itu hanya memiliki satu misi yakni bagaimana membuka aib lawan sebanyak mungkin. Padahal, idealnya ada tiga hal yang paling penting dari armada cyber yang harus selalu terkonsolidasi. (1) tim intelektual yang seharusnya menjadi pemikir dan menentukan tema-tema kampanye. (2) tim defensif, yang tugasnya menjawab semua isu negatif. (3) tim ofensif, yang tugasnya langsung menyerang semua argumentasi dari lawan.
Kedua, pilkada ini sangat kental dengan simbol-simbol religiositas. Pada hakikatnya menjadi pemimpin adalah menjadi pelayan rakyat, menjadi administrator, ataupun menjadi manager yang akan mengelola kepentingan publik. Namun di pilkada ini, para calon kepala daerah mencitrakan dirinya sebagai ustad. Mereka tak menonjolkan skill kepemimpinan atau kemampuan menemukan soludi bagi persoalan publik. Sebab yang ditampilkan adalah tingkat kealiman dan kesalehan.
Skema permainan pilkada di banyak daerah ini mendapat pengaruh dari skema pilkada DKI setahun lalu yang sarat dengan permainan isu identitas. Makanya, para calon kepala daerah ramai-ramai ingin tampak agamis. Ditambah lagi, pilkada dilakukan setelah bulan Ramadhan dan Lebaran. Sempurnalah proses mendadak religius ini diperankan semua calon kepala daerah. Meskipun saat turun lapangan, tetap saja yang dijanjikan adalah bagaimana menghabiskan dan membagi-bagi uang APBD.
Ketiga, strategi utama dari semua tim di pilkada ini adalah harus memiliki surveyor atau lembaga survei. Di pilkada-pilkada lalu, lembaga survei sering malu-malu untuk menyatakan satu kandidat menang. Kini, tidak lagi. Lembaga survei benar-benar menjadi "bandwagon" yang menggiring orang-orang agar percaya bahwa satu kandidat akan menang. Makanya, di pilkada ini, lima lembaga survei bisa melahirkan lima calon pemenang. Artinya, mereka adalah bagian dari tim sukses yang mengumumkan survei dengan tujuan untuk meyakinkan orang-orang bahwa satu kandidat akan menang, sehingga harus segera didukung.
Apalagi, di banyak daerah, massa mengambang kebanyakan aparatur sipil negara (ASN). Kelompok ini akan menjatuhkan pilihan pada detik-detik akhir. Sebab mereka ingin memastikan yang dia dukung akan memenangkan pilkada. Jika salah mendukung, maka bisa-bisa dia akan dimutasi ke daerah terpencil, atau minimal kehilangan jabatan di birokrasi. Makanya, survei menjadi penting sebab mengirimkan sinyal kepada kelompok yang masih ragu-ragu ini agar segera menjatuhkan pilihan.
Keempat, skema baru yang muncul dalam pilkada ini menjegal lawan politik di pengadilan sehingga batal memasuki arena. Saya lihat skema ini sukses dimainkan di satu pilkada di Sulawesi. Ceritanya, tim sukses akan menemukan celah dari satu kandidat lalu mengajukan gugatan ke pengadilan, yang bertujuan agar kandidat lain tidak bisa memasuki arena. Ujung dari upaya hukum ini adalah calonnya akan melenggang mulus ke TPS dan hanya berhadapan dengan kolom kosong.
Skema ini dianggap efektif dan akan menjadi strategi di masa-masa depan. Seorang kandidat kepala daerah berkata, daripada habis biaya untuk operasional tim di lapangan, mending menghabiskan biaya untuk mendapatkan rekomendasi partai, yang amat mahal itu, kemudian memperkuat amunisi tim hukum yang akan menjegal tim lawan. Makanya, di pilkada ini, posisi tim hukum akan diperkuat pada masa mendatang, sehingga menjadi tim inti yang bisa menentukan jalannya pilkada.
Kelima, tim medsos (sering disebut tim udara) dan tim hukum hanya satu keping yang mempengaruhi kemenangan satu kandidat. Di mata saya, hasil akhir dari pilkada ini akan ditentukan oleh seberapa kuat mobilitas dan arsenal pergerakan tim-tim darat. Sebab tim darat yang akan mengetuk pintu, bertemu dengan masyarakat, serta melobi sejumlah pihak yang diyakini bisa mempengaruhi suara.
Pergerakan tim darat ini tidak tampak di media sosial, namun bisa diamati di lapangan. Mereka bergerak diam-diam demi menyergap dengan semua kekuatan penuh, melobi dan memberikan garansi, serta menghubungi semua kekuatan penting. Pergerakan tim ini tidak boleh menghadirkan banyak riak-riak, agar strateginya tidak mudah terbaca. Tim ini harus efektif sebab langsung berhadapan dengan masyarakat.
Di banyak daerah, pergerakan tim darat inilah yang akan menjadi tolok ukur untuk melihat kemenangan seseorang. Bukan pada berapa banyak logistik, namun lebih pada bagaimana bisa mengikat para elite dan tokoh sehingga bersedia untuk berkonsolidasi demi memenangkan seseorang. Kuncinya terletak pada kenali kebutuhan dan keinginan, penuhi semua kebutuhan itu, perlakukan semua orang pada posisi terhormat, setelah itu iyakan apa pun yang diharapkan.
Dalam praktik lapangan, sering kali kesediaan seorang elite atau tokoh untuk mendukung orang lain bukan karena uang atau posisi. Sering kali yang dibutuhkan hanya apresiasi dan keinginan untuk dipandang. Seorang kandidat mesti mengenali semua elite kemudian menemui mereka, berjabat tangan, kemudian meminta restu agar didukung untuk maju ke arena politik. Realitasnya, keramahan seperti ini adalah strategi penting untuk mendapatkan dukungan, yang kemudian diikuti gerbong pemilih.
Jika saya diajak untuk menebak pemenang pilkada, maka saya hanya bisa memberikan beberapa kriteria figur yang menang. Pertama, jangan amati pergerakan di medsos. Itu hanya permukaan. Kedua, amati bagaimana pergerakan tim darat. Amati sejauh mana konsolidasi elite-elite dan tokoh politik, termasuk para mantan politisi yang kini menjadi tokoh masyarakat. Siapa yang paling bisa membangun konsolidasi elite, baik pusat maupun daerah, itulah pemenangnya.
Tak percaya? Kita lihat besok.
0 komentar:
Posting Komentar