Kiat Menulis untuk Aktivis Desa



SIAPA bilang warga dan aktivis pemberdayaan di desa-desa tak bisa melahirkan sebuah buku bagus? Pengalaman saya mengajarkan bahwa di banyak desa, terdapat potensi yang demikian dahsyat untuk menulis dan berbagi pengalaman. Saya pernah ditantang untuk merancang pelatihan menulis bagi aktivis dan warga desa. Hasilnya sungguh mencengangkan dan melebihi apa yang saya bayangkan. Mereka membuat saya terbelalak ketika berhasil membuat buku. It’s amazing!

***

DUA tahun lalu, saya menerima undangan dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk mengisi materi tentang penulisan blog bagi para aktivis desa di Kupang. Saat itu, saya sangat tertantang untuk membumikan keterampilan menulis secara praktis bagi para sahabat di daerah.

Ketika pelatihan dilaksanakan, saya menemukan antusiasme yang sangat tinggi dari teman-teman di daerah tentang dunia menulis. Mereka mengejutkan saya saat menyetor artikel serta tulisan yang sangat bagus, seolah ditulis oleh penulis profesional. Saya menduga, mereka bisa menulis dengan demikian lancar karena topiknya adalah tema-tema kehidupan dan pengalaman mereka sendiri.

saat saya melatih menulis warga Sikka

Pada saat itu, saya memosisikan diri sebagai pendengar yang baik. Saya tidak memperkenalkan berbagai teori tentang kepenulisan yang dipelajari di kampus-kampus. Saya tak mau mengutip kisah para penulis hebat.  Setiap orang punya jalan sendiri untuk menemukan spirit kepenulisannya.

Teori-teori menulis hanya cocok diajarkan di kampus-kampus atau di masyarakat kota. Untuk masyarakat biasa, yang harus dilakukan adalah bagaimana membiarkan mereka bebas bercerita secara lepas. Tugas kita adalah menyediakan kanal-kanal agar semua kisah itu ditampung dalam aksara.

Sebagai trainer, saya memilih untuk menjadi pendengar yang baik ketika masyarakat bercerita tentang dunia yang setiap hari mereka hadapi. Hasilnya mengejutkan. Kawan-kawan kita di daerah punya sedemikian banyak kisah-kisah hebat untuk dituliskan. 

Sayangnya, saat itu Bakti belum berencana untuk menerbitkan hasil pelatihan menulis. Padahal, saat itu saya menemukan banyak tulisan menarik tentang dunia yang dihadapi para aktivis dan jaringan masyarakat di Kupang. Kisah-kisah rakyat biasa itu justru menjadi luar biasa sebab di dalamnya terdapat orisinalitas, kejujuran atas apa yang dihadapi, serta cara-cara khas masyarakat memahami persoalan, lalu menemukan cara unik untuk menghadapinya.

Beberapa waktu lalu, kantor tempat saya bekerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki program kerja sama dengan satu kementerian, serta pemerintah daerah. Program itu terkait promosi pariwisata di beberapa daerah, yakni Raja Ampat (Papua Barat), Sikka (NTT), Wakatobi (Sultra), lalu Seruyan (Kalteng). Salah satu item kegiatan adalah melahirkan beberapa produk promosi. Kembali, saya merasa tertantang untuk memberikan keterampilan menulis bagi warga desa demi mengenalkan daerahnya ke dunia luar.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi komunitas menulis dan fotografi yang akan ikut dalam pelatihan di daerah. Untuk menulis, tolok ukurnya sederhana. Setiap orang pasti punya kisah menarik. Yang penting adalah kemauan untuk membagikan kisah itu pada orang lain. Itu sudah cukup. Saya juga baru tahu kalau komunitas fotografi ada di semua daerah. Tak semua memakai kamera DSLR. Banyak di antara mereka yang justru memakai smartphone. Itu sudah cukup. Yang penting adalah ada niat dan keinginan untuk mengabadikan momen.

Selanjutnya adalah bagaimana merancang pelatihan. Kami coba membuat satu pelatihan yang sangat fleksibel. Materinya bisa berkembang sesuai kebutuhan peserta. Lokasi pelatihan bisa berpindah-pindah. Kami bisa menggelarnya di tepi sawah-sawah hijau saat petani pulang dari sawah, di satu dangau kecil yang di bawahnya terdapat sungai jernih, atau barangkali di atas satu tebing yang dari situ terdapat pemandangan fantastis.

Pelatihan menulis didesain sebagai satu ruang belajar bersama di mana setiap orang bebas bercerita tentang dunianya. Saya percaya bahwa setiap orang punya kisah unik untuk dikisahkan. Setiap orang punya sumur dalam, tempat di mana berbagai imajinasi dan kisah-kisah menarik dipendam sekian lama. 

Tugas dari pelatihan menulis adalah menyediakan tali dan timba sehingga setiap orang bisa mengambil inspirasi dari sumur dalam pengalamannya lalu disajikan sebagai inspirasi bagi banyak pihak. Pelatihan menulis harus bisa memotivasi dan menemukan rasa percaya diri serta mengasah keberanian untuk bercerita secara bebas, melalui medium tulisan, agar kisah-kisah yang terpendam itu bisa menggugah banyak pihak.

Saya teringat sebuah buku berjudul Transformed by Writing karangan Robert Hammond. Buku ini menjelaskan tentang kekuatan sebuah cerita yang bisa mengubah cara pandang atas kehidupan, serta mengubah dunia. Buku ini membuat saya yakin bahwa kisah-kisah yang ditulis para aktivis dan warga desa menyimpan kekuatan dahsyat untuk mengubah sesuatu. Melalui kisah, orang-orang bisa memahami dinamika, mengetahui apa yang dirasakan satu komunitas, serta menggalang solidaritas yang kukuh.

buku yang dibuat komunitas menulis di Wakatobi

Bagi para aktivis dan peneliti sosial, menulis bisa menjadi senjata hebat. Ketimbang menurunkan tim peneliti yang bertugas untuk memahami satu masyarakat, jauh lebih baik memberikan keterampilan bagi warga biasa untuk menuliskan pengalamannya. Semua tulisan itu akan menjadi informasi berharga, memperkaya analisis, serta memperdalam pengetahuan tentang sesuatu, dari sisi pandang masyarakatnya.

Di Raja Ampat, Papua Barat, seorang perempuan bercerita tentang rekannya yang berprofesi sebagai pelukis dengan medium pasir kuning, yang ternyata adalah limbah dari PT Freeport. Tulisannya membuat saya tersentuh karena menghadirkan ironi bahwa warga Papua berkreasi dengan limbah pasir, sementara emas justru dinikmati segelintir orang.

Di Sikka, Nusa Tenggara Timur, saya mendapati tulisan warga tentang tempat-tempat wisata eksotik yang justru terabaikan. Sungguh menyedihkan kala menyaksikan begitu gandrungnya warga kita yang hendak berwisata ke negara-negara tetangga, sementara di kampung halaman kita ada banyak tempat wisata hebat yang justru tak pernah dipijak. Saya merasakan betapa bangsa ini punya potensi hebat yang justru diabaikan oleh anak bangsanya. Melalui kisah sahabat di Sikka itu, saya merasakan betapa indah dan menakjubkannya tanah air kita, yang justru tak banyak kita kenali.

***

BEBERAPA waktu setelah pelatihan, beberapa email berdatangan. Yang membuat saya terharu ketika ada email dari Wakatobi, Sikka, Raja Ampat, dan Seruyan yang menampilkan rencana buku yang akan diterbitkan. Mereka merancang desain sampul yang menarik, menyiapkan foto dan artikel-artikel. Saya terkesima karena para sahabat di daerah begitu antusias untuk memublikasikan pengalaman dan kisah-kisah mereka sendiri.

Para sahabat di desa-desa itu telah menampar keangkuhan akademik saya yang hingga kini hanya bisa menghasilkan sejumput publikasi. Pada akhirnya, menulis adalah soal keberanian untuk mengabarkan sesuatu. Menulis tak terkait gelar akademis, atau aktivitas ilmiah. Menulis adalah cara berekspresi, menyampaikan gagasan, menjerat rasa ingin tahu, lalu mengalirkan kecintaan pada tanah air. Menulis adalah cara lain untuk mengabarkan tentang satu keping kenyataan, lalu mengubah cara pandang atas kenyataan itu. Menulis adalah cara lain untuk mengibarkan revolusi.

Tak percaya? Saatnya belajar ke desa-desa



0 komentar:

Posting Komentar