PEKAN ini, film yang paling ditunggu-tunggu adalah Star Wars: The Last Jedi akan segera tayang. Jutaan penggemar Star Wars di seluruh dunia tengah menanti dengan harap-harap cemas seperti apakah kelanjutan film yang dinanti-nanti sejak episode A New Hope tayang di tahun 1977. Selama 37 tahun, film ini telah membentuk barisan penggemar di seluruh dunia.
Beberapa spekulasi bermunculan sebelum film ini tayang. Mulai dari kehadiran kembali Luke Skywalker sebagai Jedi atau ksatria terakhir, kemunculan kembali ksatria boncel tapi sangat sakti Master Yoda, petualangan Rey untuk memperdalam kesaktiannya, hingga bagaimana Kylo Ren menjadi sosok pengganti Lord Darth Vader. Sayang, di kisah ini, tak ada lagi Han Solo, sosok favorit saya di semua episode Star Wars.
Tak disangka, film ini menghadirkan semesta baru yang tak sekadar berhenti di layar, tapi juga hadir di luar layar. Keyakinan akan adanya The Force yang diperkenalkan dalam Star Wars seolah menjadi agama baru yang dianut warga dunia. Bahkan di beberapa negara seperti Inggris, jumlah penganut agama The Force terus bertambah setiap kali film Star Wars hendak tayang. Para penggemar juga mendirikan Gereja Jedi yang menjadi tempat ritual untuk merasakan aliran energi the Force.
Pertanyaan kritis mencuat, apakah butuh fatwa haram agar film ini tidak merusak keimanan banyak orang? Apakah butuh fatwa sesat agar penganut agama baru yang diambil dari film ini tidak terus-terusan bertambah?
***
“Remember! The Force will be with you. Always!”
Kalimat itu keluar dari bibir Obi Wan Kenobi kepada Luke Skywalker dalam kisah Star Wars: A New Hope. Saya masih mengingat persis kalimat ini sebab diulang beberapa kali. Bagi para penggemar Star Wars sama paham kalau The Force diyakini sebagai energi yang menyatukan seluruh semesta. The Force menjadi kekuatan yang maha besar, di mana semua makhluk menyerap kekuatan itu untuk dirinya.
Dalam film, para ksatria Jedi ibarat para rasul yang bertugas untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Tugas para Jedi adalah membela galaksi dari para mahluk jahat yang berada di kubu The Dark Side. Dialektika antara Jedi dan pengikut The Dark Side adalah jantung kisah Star Wars, yang kemudian diletakkan dalam kisah pergaulan antar galaksi. Di situ ada banyak kisah, peradaban, serta banyak narasi, yang dikemas dalam tontonan ala Hollywood.
Yang tak saya duga, ternyata kisah dalam film Star Wars ini tak berhenti ketika komposer John Williams menghentak di akhir film, saat barisan nama pembuat film naik ke layar. Para penonton membawa nilai-nilai dalam film itu keluar bioskop, lalu meyakininya sebagai sesuatu yang hidup hingga akhirnya menjadi agama. Di Inggris, mereka yang meyakini The Force lalu membentuk agama baru yang disebut Jediism sejak tahun 2001 silam. Saat itu kurang lebih 390 ribu orang mendeklarasikan Jedi sebagai agama mereka. Sementara Gereja Jediism (The Church of Jediism) telah didirikan pada 2007 di Anglesey, North Wales, Inggris dan kini sudah memiliki enam cabang di seluruh dunia.
Di satu media, saya temukan fakta bahwa seiring dengan pemutaran film Star Wars: The Force Awaken, jumlah pengikut agama baru ini bertambah hingga 250 ribu orang. Mingguan The Telegraph mewawancarai Patrick Day-Childs, salah satu dari penggiat Gereja Jedi di Inggris yang menyatakan, "Pendaftar baru meningkat substansial dalam beberapa hari terakhir. Ujian sesungguhnya akan muncul beberapa pekan lagi saat kemeriahan film nantinya memudar."
Dalam wawancara itu, Patrick juga menjelaskan beberapa hal penting tentang Jediism yang dianutnya. Di antaranya adalah ritual, sikap mental, serta apa yang harus dilakukan. Ia juga menjelaskan sesuatu yang dalam ranah filsafat disebut sebagai eskatologis, keyakinan akan hari akhir. Hal-hal semacam ini selalu ditemukan dalam berbagai agama. Ia menjelaskan:
“Ada aturan Jedi yang kami ikuti dan praktikkan setiap hari; emosional tapi damai; ketidaktahuan tapi berpengetahuan; gairah tapi tentram; kacau tapi harmonis; dan kematian tapi Force. Kami percaya bila Anda mati, Anda memberikan jiwa Anda kepada Force; dalam arti Anda telah meninggalkan jejak di dunia ini dan semua orang akan mengingat Anda, dengan baik atau buruk. Kami sangat menyambut orang yang menganut dua kepercayaan, seperti Jedi Muslim atau Jedi Buddha.”
Tak cukup sampai di situ. Otoritas keagamaan Turki mengeluarkan peringatan tentang bahaya penyebaran agama Jediisme yang dipelopori para ksatria Jedi dalam film Star Wars. Dalam majalah bulanan Hurriyet Daily News, Profesor Bilal Yorulmaz, atas nama pemerintah Turki, mengeluarkan pernyataan menarik. “Jediisme menyebar saat ini dalam masyarakat Kristen. Sekitar 70.000 orang di Australia dan 390.000 orang di Inggris saat ini mendefinisikan diri mereka sebagai Jedi.”
Hal ini diperkuat dengan adanya doktrin resmi kitab suci, yang menuliskan perihal catatan Gereja Jedi di situsnya bahwa “mengakui semua makhluk hidup saling berbagi kekuatan hidup dan bahwa semua orang memiliki pengetahuan bawaan tentang apa yang benar dan salah, dan Gereja Jedi merayakan ini tidak seperti yang agama lain lakukan.”
***
JIKA ditinjau secara filosofis, beberapa elemen keyakinan dalam kisah Star Wars sejatinya merupakan sintesis dari berbagai tradisi pemikiran di timur dan barat, di antaranya adalah Bushido, Zen, Taoisme, serta Buddhism, yang kemudian bersintesa dengan tradisi ksatria ala Eropa abad pertengahan.
Dalam tulisan “Jedi Philosophy”, Chris Sunami menyebutkan tiga tradisi utama yang bisa ditemukan dalam kisah Star Wars adalah Taoisme, Buddhisme, dan Zoroasterianisme. Ketiganya merupakan filsafat timur yang hingga kini masih memiliki penganut setia. Ketiga unsur ini bisa ditemukan dalam dialog para ksatria Jedi, kepercayaan yang dianut Anakin Skywalker yang menyeberang ke sisi jahat (the dark side) demi menyeimbangkan kehidupan, serta terselip dalam kearifan berbagai mahluk dalam film.
Unsur pertama adalah Taoisme. Tao merupakan bagian dari filsafat Cina klasik yang bermakna “Jalan” (the way) atau “Jalan Alamiah” (the way of nature). Ada dua tujuan utama Tao yakni mencapai keseimbangan dan harmoni bersama semesta serta mahluk hidup lainnya. Penganut Tao percaya terhadap adanya realitas sempurna (ultimate reality) sebagai energi utama.
Energi ini termanifestasi di alam dunia melalui dua kekuatan yang setara dan saling berhadapan, yang disebut unsur “Yin” atau kekuatan feminimitas dan unsur “Yang” yang merupakan representasi dari maskulinitas. Dua unsur ini selalu berdialektika demi menggapai keseimbangan. Dalam unsur baik, terdapat unsur buruk, demikian pula sebaliknya.
Ketegangan antara Yin dan Yang akan menghasilkan “qi” (seringkali dilafalkan sebagai “chi”). Qi bisa ditemukan di dalam semua aspek, khususnya organisme hidup. Pemahaman atas qi adalah akar dari berbagai praktik Cina tradisional, termasuk akunpuntur, feng shui, dan tai chi. Mengacu pada beberapa legenda, keadaan qi yang selalu mengalir menghadirkan kekuatan mistik bagi seorang master.
Kekuatan ini sama persis dengan kekuatan yang dimiliki oleh para ksatria Jedi, termasuk kemampuan untuk memindahkan obyek dengan pikiran. Dalam film Star Wars, nama master Qui-Gon Jin (guru dari Obi Wan Kenobi) diduga berasal dari kata “Qi Gong” yang merupakan sebutan bagi para master atau pengendali qi.
Belakangan, sejak Tao dianggap sebagai aliran filosofis, keyakinan ini kera disandingkan dengan beberapa ajaran agama, misalnya Buddha dan Kristen. Akan tetapi, wacana ini juga ditemukan dalam Islam, setidaknya ada persesuaiannya. Saya membacanya pada buku Tao of Islam yang ditulis Sachiko Murata. Buku lain yang juga menjelaskan ini adalah Taoism yang dikarang Toshihiko Izutsu yang isinya adalah pemikiran Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi yang disintesiskan dengan pemikiran filsafat Cina.
Unsur kedua dalam keyakinan para Jedi adalah Buddhism, khususnya Zen, satu varian yang banyak ditemukan di Jepang. Sebagaimana aliran Buddha lainnya, penganut Zen mempraktikkan ajaran untuk tidak tergantung pada banyak hal. Penganut zen melepaskan semua ikatan emosional ke orang, tempat-tempat, dan banyak hal lainnya.
Mereka meyakini bahwa ha-hal tersebut akan membuat seseorang kehilangan bahagia serta memantek langkahnya. Tujuan utama adalah menggapai keadaan individualis serta kemerdekaan dari segala ikatan emosi sehingga seseorang hanya memikirkan semesta.
Dalam film Star Wars, para ksatria Jedi dikisahkan memilih jalan hidup serupa biksu yang asketik (melepaskan diri dari dunia) serta selibat (tidak menikah). Pada titik tertentu, para biksu Zen dikenal mengembangkan kemampuan khusus yang membuat mereka memiliki kekuatan super.
Unsur ketiga dalam film ini adalah Zoroasterianisme, satu keyakinan dalam Persia kuno yang melihat dunia sebagai pertarungan abadi antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Walaupun Zoroaster hanya dianut sedikit orang, tapi pahaman filosofis ini bisa ditemukan dalam berbagai agama, termasuk pada keyakinan beberapa agama samawi yang percaya pada setan sebagai pemilik “jalan kegelapan” yang berhadapan dengan para rasul atau para dewa yang berada di jalan terang.
Seingat saya, kisah dialektika ini ada dalam semua agama. Dalam satu publikasinya, sosiolog asal Iran, Ali Syari’ati, pernah bercerita tentang dialektika Qabil dan Habil sebagai awal dari perseteruan antara dua sisi kemanusiaan. Qabil dan Habil adalah putra-putra Adam yang tercatat dalam kitab sebagai perseteruan pertama, sehingga satu di antaranya tewas. Keduanya mewakili dua pandangan dunia yang saling berhadapan, saling mempengaruhi, serta saling berkonfrontasi. Dua pandangan inilah yang lalu diwariskan ke dalam berbagai peradaban.
Terakhir, filsafat Jedi bisa diasosiasikan dengan tatanan para ksatria di abad pertengahan Eropa yang menjalankan code of ethics yang mencakup aturan berperang, standar tinggi kehormatan, dan nilai-nilai kependekaran (warrior virtue) yang mencakup kehormatan, loyalitas, keberanian, serta pancaran cinta kasih.
Memang, fundasi bagi agama Jedi ini justru berakar pada beberapa tradisi dan filsafat. Semua tradisi itu bisa didamaikan dalam Jediisme. Padahal, di aras pemikiran, terdapat perbedaan prinsip di antara masing-masing tradisi tersebut. Tapi semuanya memiliki elemen yang sama; (1) keyakinan tentang alam semesta yang selalu mengalir, (2) kepercayaan tentang unsur baik dan unsur jahat yang selalu bergerak, (3) keyakinan tentang adanya jalan terang yang bisa digapai melalui para ksatria Jedi.
Hal lain yang juga menarik buat saya adalah bagaimana nilai-nilai dalam keyakinan baru ini tersebar melalui sebuah film. Bayangkan, film menjadi satu medium yang menggugah banyak orang untuk menemukan alternatif dari kekosongan nilai masyarakat modern.
Bayangkan, bahasan film yang sedemikian singkat dan sederhana bisa diolah menjadi luas dan sarat makna. Film itu memantik satu diskusi filosofis yang mendalam, munculnya sekte atau aliran tertentu, munculnya komunitas yang selalu bertemu sembari memakai pakaian para ksatria Jedi, lalu saling belajar dan menginspirasi. Maka lahirlah agama baru.
Tapi Jika dilihat secara substansial, tak banyak perbedaan antara film dengan lahirnya agama-agama besar dunia, yang kebanyakan bermula dari narasi seseorang yang memiliki kekuatan dahsyat. Bagi orang Yahudi, kisah tentang agama menjadi sedemikian bertenaga saat Musa mengisahkan tentang dunia langit serta betapa berkuasanya Yahwe sebagai pencipta. Narasi tentang keperkasaan langit itu semakin kuat tatkala Musa membelah lautan, sesuatu yang dianggap sebagai adi-kodrati serta melampaui batas kemampuan manusia biasa.
Artinya, baik film dan narasi sama-sama memiliki benang merah yakni keyakinan tentang sesuatu yang melampaui manusia, sesuatu yang berada di luar nalar dan membentuk semesta, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang maha dan melingkupi sesuatu. Artinya, kesadaran akan ketuhanan itu selalu ada dalam diri setiap manusia, yang lalu menggerakkan semua orang untuk menemukannya.
Nah, dalam proses penemuan aspek ketuhanan, yang sejatinya ada dalam diri itu, orang-orang akan melakukan komparasi terhadap apa yang dilihatnya. Saat agama resmi dipandang hanya menjadi sumber konflik dan pertentangan, dianggap sebagai sumber keresahan dan hidup yang nestapa, manusia akan berpaling pada nilai-nilai lain yang menyentuh hatinya dan diyakini bisa menjadi jalan terang keselamatan. Pada titik ini, kisah Star Wars menjadi inspirasi yang bisa menggerakkan seseorang.
Mengapa mencari keyakinan baru? Boleh jadi, ini dikarenakan tekanan hidup serta tiadanya jawaban dari agama-agama resmi atas problem kehidupan dan upaya untuk mengatasinya. Kita bisa mengajukan banyak hipotesis untuk menjawabnya. Fenomena agama baru jelas menunjukkan tumbuhnya religiusitas dan jiwa-jiwa yang senantiasa ingin menemukan kebenaran, namun tidak menemukan janji keselamatan pada agama-agama tradisional yang terlanjur ada.
Ternyata ada sesuatu dalam diri manusia yang mengidealisasi kesempurnaan dalam keyakinan-keyakinan serta kepercayaan yang datang, meskipun keyakinan itu disaksikannya hanya dalam film seperti Star Wars.
Saya teringat sosiolog Emile Durkheim pernah mengamati agama suku Aborigin di Australia. Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim menemukan aspek penting dalam agama yakni pemisahan antara dunia—akhirat dan pembedaan antara hal-hal yang suci (sacred) dan hal yang nyata (profane).
Yang saya tangkap dari situ adalah apa yang disebut agama berpulang pada tafsir yang menyejarah pada diri seorang individu. Saya teringat filsuf Ludwig Wittgenstein yang mengatakan bahwa ada satu dimensi dalam agama yang sukar dijelaskan yakni kepercayaan dan keyakinan. Aspek ini tak melulu lahir dari rasionalitas atau ikhtiar menemukan kebenaran.
Anda bisa menertawakan penganut agama Jedi yang menuhankan apa yang disebut dalam film Star Wars. Tapi, Anda tak akan pernah bisa memahami logika berpikir tersebut, sebelum Anda menjadi penikmat Star Wars, merasuk dalam pemikiran penganutnya, dan merasakan betapa The Force mengatur alam semesta. Kita hanya bisa berempati, tanpa memahami persis sebab terhalangi batas rasionalitas yang sebagai konsepsi yang memandu cara berpikir kita sendiri.
Dan apa yang disaksikan dalam Star Wars adalah jalan keselamatan yang sengaja dipilih sejumlah demi menentramkan hati, menguatkan keyakinan bahwa di tengah masalah seberat apa pun, Tuhan selalu menemani. Para penganutnya percaya bahwa Mereka yakin bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan mereka sebab Tuhan berdiam dalam hati.
“May the force be with you. Always!”
0 komentar:
Posting Komentar