BIARPUN
masa pensiun belum tiba, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo diberhentikan
dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo. Pertanyaan yang mencuat adalah mengapa
pergantian itu sedemikian cepat? Apa salah Jenderal Gatot hingga diganti
sebelum waktunya? Apakah karena dukungan Gatot pada aksi-aksi yang disusupi
orasi kecaman pada pemerintah?
Marilah
bersama kita menyaksikan manuver dan langkah-langkah politik yang taktis antara
Jokowi dan Gatot. Di satu sisi, Gatot terkesan membangkang pada Jokowi. Di sisi
lain, Jokowi membiarkan tarian Gatot, tidak memberikan respon berlebihan,
hingga akhirnya memaksanya masuk dalam pusaran permainan yang perlahan
menenggelamkan Panglima TNI itu. Marilah kita memprediksi, apakah setelah dia
turun dari posisi panglima, bintangnya masih seterang sebelumnya atau malah
redup?
***
MASSA
berteriak marah saat ada isu mengenai para komunis rapat di LBH Jakarta. Banyak
organisasi berdatangan hendak merangsak. Polisi siaga di tengah-tengah. Dalam
situasi itu massa mengecam polisi lalu meneriakkan dukungan pada TNI. Mengapa
harus membawa-bawa nama TNI dalam orasi yang isinya kecaman pada polisi?
Peta
politik baru terhampar. Selama sekian dekade, TNI dan Polisi adalah institusi
yang akur. Di era Orde Baru, polisi adalah bagian dari militer. Setelah
reformasi, polisi berada di bawah wewenang sipil. Militer masuk ke barak,
menanti-nanti kapan ada guncangan stabilitas sehingga keluar barak dengan
senjata di tangan.
Di
era Gatot, TNI seolah menjadi kekuatan politik. TNI mereproduksi wacana yang
isinya respon pada pemerintah berkuasa. Ada insubordinasi serta pembangkangan
dalam beberapa pernyataannya. Sejarah mencatat, respon berlebihan pemerintah
pada seorang jenderal bisa berujung pada popularitas. Kita sama paham bagaimana
nama Susilo Bambang Yudhoyono melejit gara-gara sentilan dari Taufik Kiemas,
suami Presiden Megawati.
Ini
pula yang menjelaskan bagaimana Jokowi tidak merespon Gatot. Jokowi tidak ingin
masuk dalam pusaran permainan politik yang dikendalikan oleh Gatot. Dalam
situasi politik yang menyudutkan pemerintah, gatot melainkan kartu. Mungkin
saja ia berharap popularitasnya akan terkerek. Mungkin ia sedang membangun
fundasi dan infrastruktur politik yang akan dimasukinya saat pensiun. Jokowi
memilih hati-hati, dan tidak banyak menanggapi Gatot. Dia bergerak melalui dua
prajurit bawahannya yang merupakan mantan jenderal yakni Ryamizard dan Wiranto.
Kini,
bola ada di tangan Jokowi. Gatot dalam posisi menyiapkan exit plan yang
baik setelah keluar dari TNI. Apakah hendak fokus ke penggalangan opini menjadi
calon pemimpin, sesuatu yang pernah diinginkan seniornya Jenderal Moeldoko
namun gagal diterapkan? Ataukah ia memilih menunggu saat yang tepat untuk masuk
arena.
Secara
normatif, urusan pergantian Panglima TNI adalah sepenuhnya wewenang Presiden.
Idealnya, Panglima TNI diganti ketika masa pensiunnya tiba. Jika dirunut
sejarah, maka dari enam panglima TNI terakhir, hanya Gatot yang memiliki rekor
diganti dua bulan sebelum masa pensiun berakhir. Sebelumnya, Moeldoko diganti
sebulan sebelum pensiun. Panglima lainnya diganti setelah pensiun. Di antaranya
adalah Djoko Suyanto yang diganti 26 hari setelah pensiun, Djoko Santoso (dua
hari setelah pensiun), Agus Suhartono (lima hari setelah pensiun).
Di
antara banyak Panglima TNI itu, hanya Gatot pula yang pernah diminta oleh
berbagai organisasi masyarakat sipil dan pengamat politik untuk segera mundur.
Banyak pihak yang gerah dengan manuver Panglima TNI yang terkesan melakukan insubordinasi
terhadap pemerintah. Gatot dituduh melakukan beberapa pembangkangan politik,
menarik TNI ke dalam gerbong kegaduhan dengan institusi lain, serta beberapa
pernyataan yang memicu reaksi.
Di
tangan Gatot, TNI menjadi lembaga yang lebih aktif, bukan pasif. Padahal
sebagai hulubalang negara, TNI harus selalu berada di mana pun posisi
pemerintahan. TNI bukan partai politik yang bisa dikemudikan oleh kepentingan
politik, melainkan penjaga wawasan Nusantara yang akan selalu mengawal
kepentingan negara. Dalam banyak hal, dia harus di tengah, bukan malah
memperparah silang pendapat dan kegaduhan politik. Jika serdadu, yang memiliki
senjata itu berpihak, bisa dibayangkan bagaimana kekacauan akan terjadi.
Gatot
menggeser institusi TNI untuk masuk dalam pusaran politik. Sejak reformasi,
tentara berada di barak dalam posisi siap siaga ketika dipanggil. Tapi di era
Gatot, seorang panglima TNI menjadi media darling untuk
membahas banyak aspek politik. Dalam posisi yang serba mendua itu, tak salah
jika banyak organisasi non-pemerintah dan pengamat militer yang meminta Gatot
untuk masuk arena politik. Dia harus segera menanggalkan seragam TNI, lalu
fokus ke dunia politik.
Saya
mencatat ada lima pernyataan Gatot yang memicu reaksi.
Pertama,
mengkritik pemerintah melalui puisi Denny JA berjudul Tapi Bukan Kami
yang Punya. Puisi ini berisikan celoteh seorang pemuda yang melihat
betapa kayanya Indonesia, namun bukan kita yang punya. Beberapa syairnya
adalah: “Dari kepala burung garuda, Ia melihat Indonesia. Lihatlah hidup
di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya. Tapi bukan kami punya.
Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang kaya raya. Tapi
bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata, ramai
pasarnya. Tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual belikan orang.
Oh makmurnya, tapi bukan kami punya.”
Kedua,
Gatot mengeluarkan instruksi penayangan ulang film G.30.S/PKI. Sebenarnya, tak
ada yang salah dengan pernyataan itu. Sah-sah saja jika dirinya meminta
prajurit untuk menonton film itu. Persoalannya, ia memberikan instruksi serta
pernyataan yang terkesan arogan, mengabaikan begitu saja seniornya Jenderal
Ryamizard, serta menantang pemerintah yang saat itu diam-diam saja. “Iya, itu
memang perintah saya. Memangnya kenapa? Yang bisa melarang saya hanya
pemerintah,” katanya.
Ketiga,
pernyataan tentang makar. Dalam acara di salah satu televisi, ia menyatakan
makar itu hoax. “Perjalanan 6 bulan terakhir, sudah membuktikan bahwa kita
ditakut-takuti, sekarang jangan baper. Kita cuma ditakut-takuti doang. Itu
beda, demo dengan makar itu,” ujarnya.
Ia
menyebut demonstrasi yang tengah marak bukanlah indikasi makar. Pernyataan ini
dianggap banyak kalangan telah merusak wibawa kepolisian yang telah
mengeluarkan label tersangka pada sejumlah orang atas tuduhan makar, serta
tidak menunjukkan koordinasi yang baik dengan aparat penegak hukum lainya,
termasuk mengabaikan wibawa seorang presiden.
Gara-gara
pernyataan ini, Menko Polhukam Wiranto memanggil Kapolri Tito Karnavian dan
Gatot untuk dimediasi. Padahal, sebagai Panglima TNI, ia harus selalu
berhati-hati dalam setiap pernyataan. Sebab pernyataannya akan selalu dilihat
secara politis.
Tak
berhenti di situ, ia juga mengeluarkan pernyataan dukungan kepada ulama. Gatot
terlihat merapat ke kelompok Muslim tradisional demi menaikkan popularitasnya.
Dia melempar wacana dukungan, di saat pemerintah tengah disoroti banyak
kelompok.
Keempat,
pernyataan TNI harus dilibatkan dalam penanganan terorisme. Ia mengusulkan
kepada pemerintah dan DPR agar merevisi II No 15 Tahun 2003 yang mengatur
tindak kejahatan itu. Ia ingin agar TNI terlibat dalam aksi penanganan teroris.
Tak pelak ini memicu reaksi dari Polri sebagai aparat sipil. Polri bisa
kehilangan “piring.” Jualan “anti-komunis” yang selalu dipakai TNI tidak selalu
laku dan membuat publik khawatir. Makanya TNI pindah ke isu terorisme.
Kelima,
pernyataan Gatot tentang isu pembelian senjata ilegal. Inilah pernyataan Gatot
yang paling kontroversial. Mabes TNI malah menyalahkan pers karena membocorkan
pernyataan di satu acara terbuka. Menko Polhukam Wiranto lalu melakukan
klarifikasi. Tapi lagi-lagi klarifikasi itu terlanjur memberi image sikap
Panglima TNI yang tegas dan hendak membela negara. Padahal, persoalan itu
menunjukkan betapa rapuhnya koordinasi antar lembaga negara, yang seharusnya
dibicarakan dalam rapat-rapat internal.
***
APA
yang sudah dilakukan Gatot selama menjadi Panglima TNI? Jika pertanyaan ini
diajukan ke pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, Gatot tidak punya
prestasi hebat. Ia hanya akan dikenang karena pernyataan politiknya, bukan pada
kerja-kerja nyata yang dilakukannya. “Makanya dia harusnya pensiun dini,”
katanya sebagaimana dikutip media.
Banyak
hal yang harusnya dikerjakan Gatot. Ketika Presiden Jokowi memiliki visi poros
maritim dunia, seharusnya Gatot merespon itu dengan menyusun road map TNI
untuk membangun armada maritim yang tangguh. Hingga kini, road map itu
tidak juga selesai. Gatot tidak membangun konsepsi TNI sebagai pertahanan
negara dalam menyongsong visi poros maritim dunia.
Boleh
jadi, ini juga yang menjelaskan mengapa Jokowi menunjuk pengganti Gatot dari
Angkatan Udara. Kata Connie, “Di zaman modern, mana bisa Angkatan Laut bergerak
tanpa dukungan Angkatan Udara?” Panglima TNI yang baru diharapkan bisa
memperkuat pertahanan maritim dan udara untuk mendukung visi pemerintah.
Tentunya, dia harus bisa berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan demi
mewujudkan semua visi itu.
Saya
menduga, pergantian itu segera dilakukan demi merespon iklim politik yang kian
memanas. Tahun depan adalah tahun politik. Dalam waktu dekat, pilkada akan
segera digelar. Para calon kepala daerah akan mendaftar ke KPU mulai Januari.
Pilkada ini menjadi barometer untuk menentukan pemilihan legislatif, kemudian
pemilihan presiden.
Partai-partai
akan menjadikan pilkada ini sebagai arena terakhir untuk menguji seberapa cepat
lari mereka dalam menghadapi pemilihan legislatif. Demikian pula para calon
presiden akan turun full di ajang pilkada ini demi menggarap basis dukungan
partai, serta memperkenalkan diri. Jika seorang Panglima TNI berpihak, maka
bisa ditebak kerawanan akan muncul. Pilkada menjadi sangat politis. Ketika
chaos terjadi, tentara akan keluar barak dan mengambil alih.
Jika
seorang Panglima TNI berpihak, maka ia bisa menggunakan kartunya untuk memberi
angin pada sejumlah kandidat demi satu proses tawar-menawar politik. Bisa saja,
dia akan memberi angin pada sejumlah orang dengan imbalan akan didukung jika
kelak memasuki peta perpolitikan yang sesungguhnya.
Berbagai
fenomena ini dibaca dengan jeli oleh Presiden Jokowi. Ketika dirinya memutuskan
untuk mengganti Panglima TNI sebelum waktunya, maka ia telah memutus satu kerja
politik yang sedang dipersiapkan Gatot. Jokowi memang harus bergerak cepat
sebab beberapa lembaga survei telah menempatkan Gatot sebagai salah satu
kandidat kuat.
Malah,
lembaga survei telah memasangkan Jokowi dan Gatot untuk persiapan maju ke arena
pilpres. Tapi saya meyakini duet ini tidak akan terjadi. Jokowi dalam posisi
lebih tinggi untuk menentukan hendak berpasangan dengan siapa. Gatot dalam
posisi kehilangan ribuan prajurit dan institusi TNI yang dahulu bisa
diklaimnya. Secara politik, posisinya akan seperti Moeldoko yang bergerak ke
sana-sini mencari dukungan, namun bintangnya semakin redup saat meninggalkan
baju militernya.
Di
arena percaturan politik, kita sedang menyaksikan fragmen diam, tanpa suara.
Manuver Gatot ditanggapi dingin. Hingga akhirnya, kekuatan utama yang selama
ini menopangnya diambil alih. Tindakannya yang menggalang kekuatan diputus di
tengah jalan. Bahkan dia dilarang untuk mengganti sejumlah perwira tinggi TNI.
Mau tak mau, dia dipaksa menari dengan langgam berbeda. Apakah dia akan sukses
di arena yang baru?
Saya
memprediksi Gatot akan sesepi Moeldoko. Kita lihat nanti.
0 komentar:
Posting Komentar