TAK perlu khawatir berlebihan jika
panglima memerintahkan semua keluarga tentara untuk nonton bareng film G30S/PKI
yang dibuat oleh Arifin C Noer. Tak perlu juga ikut mengeluarkan berbagai
analisis dan data sejarah demi menjelaskan apa yang disebut pelurusan sejarah. Tak ada guna berdebat selagi masih lebih
percaya petikan tulisan di grup WA atau tiga paragraf penuh kalimat bunuh dan
ganyang, ketimbang membaca banyak riset-riset sejarah kredibel. Buang jauh-jauh
nama mereka yang memang studi sejarah, seperti Ben Anderson, John Roosa, Asvi
Warman Adam, hingga Baskara T Wardaya. Mereka kalah kredibel dengan penulis
tiga paragraf di media sosial.
Lebih baik kita mengapresiasi mereka yang
ingin nonton bareng film itu. Betapa luar biasanya orang-orang yang tahan
menyaksikan film mencekam selama tiga jam dengan gambar agak buram itu.
Maklumlah, film itu dibuat bukan dalam format HD. Berilah apresiasi jika ada generasi
milenial yang tahan untuk duduk diam menyaksikan film, tanpa mempertanyakan
secara kritis, mengapa hanya ada satu wajah ganteng ala Korea di film itu yakni
Pierre Andreas Tendean, yang disapa Ade Irma sebagai Om Pier. Kalau tak salah,
diperankan oleh Wawan Wanisar, sosok “Reza Rahadian” di masa itu.
Film Ada Apa dengan Cinta 2 yang
diperankan si cantik Dian Sastro dan si ganteng Nicholas Saputra akan
membosankan kalau ditonton lebih dua jam. Salut benar jika ada generasi
milenial yang sanggup melihat film yang membahas konspirasi, rapat di bawah
kipas angin yang berputar-putar di bawah plafon, hingga operasi militer
penculikan dan penyiksaan. Andaikan saya jadi mereka, mending saya
mengisi tiga jam itu dengan mengunduh versi ori dari serial terbaru The
Flash dan Arrow di layarkaca21. Lumayan, tiga jam mengunduh,
bisa jadi tontonan selama beberapa hari.
Tak perlu juga heboh dengan acara nobar.
Film itu bukanlah bendera pusaka yang hanya dikeluarkan pada momen upacara
17-an. Film itu justru tersebar di banyak kanal Youtube, bisa ditonton kapan
saja, bisa dipilih-pilih mana bagian yang bagus ditonton dan mana yang tidak. Anda mau nonton bareng? Tak perlu tunggu
tanggal 30 September. Lakukan saja malam ini. Ikuti instruksi untuk nonton
dengan proyektor. Mudah-mudahan saja kemeriahannya bisa mengalahkan nonton
bareng saat timnas dikalahkan oleh tim Malaysia. Akan lebih sempurna jika ada doorprize. Nanti ada MC generasi milenial yang ngasih
pertanyaan, “Siapa nama kakak Ade Irma yang ikut berperan dalam serial ACI di
TVRI?” Sekadar bocoran, jawabannya adalah Sylvana Herman.
Jika anda tetap hendak nonton bareng,
ikuti beberapa tips dari saya. Setidaknya, dengan mengikuti tips ini, anda akan
terhindar dari tuduhan dan stigma, yang bisa bikin ‘kelar hidup lo’.
Pertama, datanglah nonton dengan mengenakan pakaian yang
sopan dan rapih. Potong rambut anda dengan rapih. Lebih disukai jika rambut
anda cepak. Bisa jadi, Anda akan mendapat hadiah. Jangan sesekali mengenakan pakaian
proletar. Dilarang merokok sepanjang menyaksikan film itu. Aktivitas merokok
banyak dilakukan oleh para penjahat di film itu.
Kedua, sebaiknya Anda bersikap serius ketika nonton.
Jangan mengeluarkan tawa dan menari-nari seperti para perempuan seksi di Lubang
Buaya yang konon adalah anggota gerakan perempuan. Biarpun banyak adegan yang
terkesan lambat, jangan keseringan ke kamar kecil, keluar arena nonton untuk beli
kopi, atau tiba-tiba saja mengirim SMS atau pesan WhatsApp kepada si doi. Sebab jika Anda ke kamar mandi saat
televisi menayangkan wajah pemimpin militer, maka Anda bisa dicap sebagai antek
dan dianggap berpihak pada kubu pemberontak. Hidup Anda bakal susah.
Ketiga, nontonlah dalam keadaan takut. Biarpun saat
nonton, cinta Anda baru saja diterima seorang gadis, atau Anda baru saja nemu
uang lima ribu rupiah di jalan--yang kata Habib Rizieq ada lambang palu arit. Jangan tunjukkan ekspresi gembira. Anda harus
ketakutan melihat ekspresi orang-orang di film, mendengar musik horor dan suara
lolongan anjing di kejauhan pada banyak adegan film ini.
Jangan lupa setelah takut, Anda juga harus
membenci mereka yang hendak melakukan kudeta dan mengambil alih kekuasaan
negeri ini. Biarpun sejarah kita mencatat pemberontakan lain, tetap saja
penjahat di film itu tak punya ruang.
Keempat, jangan pernah bertanya. Mengapa? Lebih separuh film itu menayangkan adegan penculikan dan pembunuhan, yang justru dilakukan oleh orang-orang berbaju militer. Sebaiknya, Anda diam saja saat melihat bagaimana faksi-faksi militer saling bersilangan di situ, saling tembak-tembakan. Mulai dari Angkatan Udara yang dianggap mendukung pemberontak, juga pasukan Cakrabirawa yang menjalankan operasi penculikan dan penyiksaan. Mereka semua pernah dapat latihan baris-berbaris dan merayap di bawah kabel duri.
Silakan memaki Marsekal Oemar Dhani,
mantan Kepala Staf Angkatan Udara yang ikut gabung pemberontak, juga cacilah
Letkol Untung, seorang prajurit militer yang telah menjalankan banyak operasi
perang demi membela NKRI harga mati, yang diterjemahkan generasi milenial
sebagai NKRI the death price. Mereka memang pernah mengangkat sumpah
prajurit. Anggap saja mereka mau saja mengikuti bujuk rayu kekuasaan kaum yang
hendak berkuasa. Tontonlah hingga akhir, khususnya saat mayat-mayat ditarik
dari sumur tua.
Abaikan fakta bahwa ada banyak kekejaman
serupa di negara kita di penghujung abad ini. Mulai dari operasi penembakan
para preman, tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Lampung, Kedung Ombo, kematian
Marsinah hingga Munir, penculikan aktivis, hingga gerakan rakyat di Aceh,
Papua, dan Timor Leste. Lupakan pula kalau Sumanto punya aksi yang lebih
mengerikan yakni memakan jenazah orang yang sudah dikuburkan. Pokoknya,
pemberontak di film itu itu lebih mengerikan dari siapapun. Mereka tak punya
hak hidup. Sumanto masih lebih beradab ketimbang mereka.
Namanya saja film, yang jelas-jelas fiksi,
bukan sejarah. Film ini hanyalah cara sistematis yang dipilih rezim dan
sejumlah pihak untuk menyampaikan apa yang mereka yakini sebagai sejarah. Kalaupun ada yang hendak membuat film
tandingan ala generasi milenial, sebagai bentuk interpretasi atas sejarah,
lakukan saja. Saya usul agar pemeran Letkol Untung bukan Reza Rahadian. Dia
kurang macho. Sstt... Tahu kan maksud saya?
1 komentar:
Saya sudah baca di Locita hihi. Bang Yusran selalu berbeda melihat sesuatu.
Posting Komentar