Catatan MUHAMMAD TOHA


Pengantar:

Tulisan ini dibuat oleh sahabat Muhammad Toha dan diposting di media sosial pada tanggal 12 September 2014. Saya sengaja menyimpan tulisan ini di blog ini. Bukan untuk narsis. Tapi untuk menyimpan kenangan dari seseorang kepada sahabatnya. Terimakasih Mas Toha.



Catatan Kecil: YUSRAN DARMAWAN

Suatu hari menjelang deadline di pertengahan tahun 1999. Di ruang Redaksi Tabloid Identitas—Penerbitan Kampus yang dikelola Mahasiswa Universitas Hasanuddin, rapat redaksi sedang membahas artikel yang akan dimuat untuk rubrik esai di edisi mendatang. Ada lebih 10 tulisan yang diterima redaksi, tapi hanya satu artikel yang akan dimuat.

Sebagai Pemimpin Redaksi, saya terbiasa menilai kualitas sebuah tulisan hanya dengan membaca sepintas: membaca judul dan 2 paragraf awal, sebuah tulisan sudah bisa dinilai layak cetak atau tidak.

Tiga artikel pertama, saya lalui dengan cepat; bahasa dan isinya tidak menarik. Saya beralih ke esai selanjutnya. Menyimak judulnya saja saya sudah tertarik. Saya coba baca paragraf awal, dan tanpa sadar, saya tidak berhenti membaca saking menarik dan runtutnya tulisan itu.

Artikel itu mengulas tentang fenemona pengkhianatan kaum intelektual yang telah menggadaikan keintelektualannya demi kepentingan duniawi dan kekuasaan. Sebuah fenomena aktual yang memiriskan. Saya menghabiskan tulisan itu hingga titik terakhir, sebelum memutuskan; Layak Cetak!

Sehari setelah cetak dan diedarkan, kami yang sedang berkumpul di redaksi untuk rapat perencanaan edisi berikutnya, kedatangan seorang pria berdandan necis dan tanpa senyum. Di tangan kanannya, dia menenteng Tabloid Identitas edisi terbaru.

“Siapa pemimpin redaksi Identitas?” bertanya orang itu dengan suara keras.
Saya sangat kenal pria itu, karena dia juga alumni Tabloid Identitas yang dikenal “agak angguh” dan blak-balakan. Karena itu dengan agak sedikit gamang saya menjawab, “Saya Pak”.
“Oh kamu....Kamu tau siapa yang tulis artikel ini, mahasiswa mana dia?” katanya sambil menunjuk Tabloid Identitas.
“Saya cuma tau namanya, tapi tidak tahu orangnya,” ujar saya.

Sejurus kemudian saya mulai dihinggapi kekuatiran; ada yang tidak beres dengan tulisan esai ini. Saya menduga pria ini tersinggung dan marah karena tulisan itu mengkritik perilaku kaum intelektual—termasuk dosen—yang menjajakan dirinya untuk kepentingan duniawi. Saya sudah siap-siap disemprot dan dimarahi.

Tapi tak disangka, pria itu justru berujar: “Saya suka tulisan ini. Saya mau ketemu sama penulisnya,” ujarnya. Dan akhirnya setelah diberi petunjuk dimana bisa menemui penulis esai itu, pria itu akhirnya berlalu.

Kawan, anda tahu siapa pria yang rela mencari penulis esai itu? Dia adalah Hamid Awaluddin, seorang dosen Hukum Unhas yang baru memperoleh gelar Doktor dari America University, yang belakangan menjadi Menteri Hukum dan Ham dan Duta Besar Rusia.

Hamid Awaluddin adalah seorang yang mempunya ego akademik yang tinggi. Dia tipe orang yang “kikir” memuji orang lain. Dan jika Hamid Awaluddin sampai rela mencari seorang penulis esai yang statusnya mahasiswa, berarti esai ini memang telah membuat Doktor ini “tersentuh”.

Dan anda tahu siapa penulis esai yang membuat seorang Hamid Awaluddin rela “turun kampus” itu? Mahasiswa itu bernama Muhammad Yusran Darmawan, seorang mahasiswa Komunikasi Unhas yang masih duduk di semester 6.

Nah, semenjak kejadian itu, saya penasaran untuk bertemu dan berkenalan dengan penulis esai itu. Belakangan, saya akhirnya berkenalan dengan penulis itu, dan bahkan bukan sekedar kenal, kami akhirnya menjadi kawan karib. Tetapi dengan status, Yusran sebagai sumber ilmu saya.

Bagi saya, Yusran adalah sosok mahasiswa yang sangat unik. Jarang sekali saya dapati seorang mahasiswa yang mempunyai kemampuan selengkap seperti Yusran; Dia penikmat bacaan buku yang akut, pembicara yang fasih serta penulis yang handal. Kami kerap berseloroh, “Jangan biarkan Yusran berbicara atau menulis, karena seorang wanita yang cantik pun akan jatuh cinta”!

***

Dalam catatan saya, tepat hari ini, 13 tahun silam, saya dan Yusran berada di sebuah desa terpencil di Kabupaten Polewali—yang sekarang menjadi bagian Propinsi Sulawesi Barat. Kami harus melewati 7 sungai berjalan kaki sekitar 3 jam untuk mencapai desa ini, untuk sebuah penelitian tentang pendidikan di daerah terpencil.

Di desa yang tak berlistrik dan tanpa kendaraan bermotor ini, siang sepulang penelitian sambil menelusuri jalan setapak , Yusran bercerita tentang keinginan besarnya untuk bisa kelak melanjutkan pendidikan pasca sarjana ke luar negeri. “Semoga kelak saya bisa lanjut sekolah ke luar negeri,” begitu kalimatnya.

Sembari berjalan di belakangnya—karena jalan setapak hanya bisa dilalui satu orang—saya amini cita-cita itu dengan sebuah keyakinan; hanya soal waktu kamu kelak akan lanjut sekolah ke luar negeri! Saya percaya Tuhan selalu mengabulkan doa hambanya sepanjang syarat terpenuhinya doa itu telah tercukupi.

Dan, ketika beberapa tahun lalu saya mendapat kabar Yusran akan melanjutkan studi S2 di Amerika, saya langsung tercekat; ada perasaan bahagia, bangga sekaligus iri. Rupanya hari itu Tuhan langsung mendengar keinginan besar seorang pemuda kumal yang kala itu masih gamang akan masa depannya...dan Tuhan pun mendengar sahutan amin dari sosok dekil yang hanya bisa mengamini doa kawanku itu. Kini Yusran Darmawan masih tetap kawan karib saya, tetapi dengen level yang jauh berbeda!




0 komentar:

Posting Komentar