Berhaji Tanpa Selfie



SAAT melihat buku ini di rak toko buku, saya langsung membelinya. Sejujurnya, saya agak kesal melihat postingan seorang teman yang berangkat umroh, dan setiap saat memosting fotonya saat selfie depan Ka'bah. Bahkan, ia juga memosting dirinya yang berdoa dalam keadaan menangis. Aneh saja melihat foto dirinya berdoa sambil nangis. tangan kiri menyeka air mata, tapi tangan satunya memegang hp kamera lalu menjepret diri sendiri alias selfie. Barangkali, di saat doa belum tuntas, dia memilih posting dulu. Ah, setiap orang beda-beda. Mungkin juga saya iri karena belum pernah memijak tanah Arab.

Melihat buku yang kaya data sejarah ini, saya seketika penasaran. Saya ingin tahu bagaimana orang-orang dulu berangkat haji, juga penasaran dengan bagaimana pemerintah kolonial Belanda, yang kafir itu, bisa mengelola perjalanan haji dengan baik. Kesan saya saat membaca lembaran2 awal, yang bisa berangkat haji pada masa itu adalah orang-orang pilihan. Tak hanya uang dan perbekalan, juga harus menyiapkan fisik dan tekad yang kuat sebab menempuh perjalanan dengan kapal layar selama berbulan-bulan. 

Mereka yang berhaji di masa lalu adalah mereka yang siap memperdalam ilmu agamanya. Berhaji adalah ritual penyempurna bagi santri dan orang biasa yang belajar agama. Sepanjang perjalanan di kapal layar, mereka akan belajar, mengkaji agama, lalu berdiskusi,. Demikia pula ketika kembali dari Mekkah. Makanya, mereka yang pergi haji di zaman itu akan berpengetahuan sebagaimana manusia masa kini yang baru usai belajar magister sekolah agama.

Mereka yang berhaji di masa itu adalah mereka yang setiap saat siap melepaskan nyawanya, mengingat jauhnya perjalanan laut dan banyaknya kendala di perjalanan. Mungkin ini pula yang menjelaskan mengapa orang Bugis-Makassar yang hendak berhaji akan diantar seluruh keluarga saat di bandara. Momen melepas haji itu adalah momen penuh mengharukan sebab mereka akan saling bertangisan seolah-olah akan lama tidak bertemu, atau malah tidak bertemu lagi. 

Berhaji di zaman kini tentu saja beda. Di setiap bandara, anda bisa men-tag posisi. Pada setiap tempat bisa memotret lalu memosting foto di media sosial. Saat tiba di depan Ka’bah, anda bisa memilih hendak mengikuti suasana hati yang merasakan gelora spiritualitas, ataukah memilih foto dulu dan posting. Anda bisa milih ingin merasakan indahnya spiritual yang personal, dalam artian cukup anda yang merasakaan indahnya, ataukah memilih untuk memberitahukan orang lain bahwa anda cukup kaya dan mampu ke Baitullah.




0 komentar:

Posting Komentar