Literasi Hebat untuk DESA




Bisakah buku-buku dari khasanah kesusastraan dunia masuk ke desa-desa? Bisakah buku-buku hebat yang merangkum semua jejak dan pencapaian manusia di sepanjang sejarah menjadi literasi yang memperkaya wacana bagi warga di desa-desa? Bisakah kita membangun tradisi baca dan tulis, serta menghadirkan satu perpustakaan yang tak sekadar ruang baca, tapi menjadi jantung dari semua denyut nadi aktivitas warga, juga oase pengetahuan di tingkat desa?

Bisa.

***

SUATU hari, saat melakukan riset lapangan di Berau, Kalimantan Timur, saya menyaksikan satu mobil boks berisi banyak peralatan memasuki pelataran kantor desa. Sekretaris Desa menjelaskan bahwa Pemerintah Desa membeli elekton, sound system, serta gitar listrik, yang akan menjadi inventaris desa. Dari mana dananya? “Kami menggunakan dana desa,” kata Sekretaris Desa itu sembari tersenyum.

Desa-desa di Berau tengah menikmati kucuran dana besar setiap tahunnya. Selain mendapatkan alokasi dana desa sebesar 1 miliar atau lebih, yang diambil dari pos APBN, juga mendapatkan alokasi dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Seorang aparat desa menjelaskan jumlah yang mereka terima setiap tahun bisa melebihi tiga miliar rupiah.

Dana itu digunakan untuk apa saja? Aparat desa yang saya tanyai itu nampak kebingungan. Infrastruktur jalan desa telah dibangun dengan mulus. Kantor desa telah berdiri dengan megah. Sarana pendidikan dan kesehatan dibangun oleh pemerintah kabupaten. Semuanya telah dikerjakan. Seolah kehilangan ide, pemerintah desa membeli semua peralatan musik, mulai dari gitar, elekton, hingga drum yang akan digunakan warga di setiap hajatan. Malah, aparat desa itu bertanya pada saya, apa gerangan yang bisa dilakukan dengan dana sedemikian besar?

Seorang teman mengusulkan agar dibangun sistem informasi desa. Undang-Undang Desa memang menggariskan perlunya membangun sistem informasi desa. Di banyak tempat, ini diterjemahkan sebagai perlunya mengadakan website desa yang merangkum segenap potensi desa. Biasanya, pihak desa mengundang pihak ketiga untuk pengadaan perangkat teknologi demi menghadirkan internet, setelah itu menjadikan kantor desa sebagai penyedia hotspot gratis.

Maka datanglah warga desa berinternet ria di situ. Jadilah internet sebagai jendela untuk melihat segala hal. Warga desa melihat dan membaca banyak hal, yang dahulu dilarang oleh adat dan nilai-nilai lokal. Masuklah warga desa dalam semua debat-debat tidak penting di media sosial. Boleh jadi mereka akan terbelah dalam kubu haters atau lovers pada pemerintah. Atau mungkin mereka menjadi barisan nyinyiers yang setiap saat berkomentar sinis. Tak hanya itu, mereka akan berselancar di banyak situs porno, mengagumi kemolekan tubuh manusia berbagai bangsa, lalu men-download film, menyimpan di laptop. Saya membayangkan warga desa yang akhirnya keseringan membaca berita selingkuh di media-media online. Mungkin saja mereka berpikir bahwa jika selingkuh adalah hal yang wajar-wajar saja di kota, maka di desa pun harusnya demikian.

Internet tak menjadi jawaban atas kebutuhan, tapi menghadirkan banyak masalah baru. Internet malah menjadi virus baru yang merasuki setiap sendi kehidupan desa. Sisi negatif internet akan merasuki semua tradisi dan budaya desa, menghancurkan fundasi nilai, lalu menenggelamkan warga dalam belantara informasi.

Makanya, membangun sistem informasi desa tanpa membangun tradisi literasi adalah kesia-siaan. Yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah bagaimana membangun tradisi baca yang bermakna sehingga pengetahuan bisa menjadi cahaya yang menerangi segenap aspek kehidupan. Pengetahuan lokal warga desa harus dikuatkan dan dilestarikan melalui upaya menuliskan semua pengetahuan itu ke dalam lembar-lembar aksara sehingga bisa menginsprasi dan mencerahkan geerasi yang lebih muda. Membangun tradisi baca dan tulis menjadi penting untuk menjaga dan merawat ruh kearifan agar peradaban tidak berlari lepas dan liar.

Pada titik ini, literasi mesti dibangun di level desa. Tradisi literasi tak sekadar membangun satu sistem informasi, tapi juga bagaimana mengelola informasi itu menjadi sesuatu yang bermakna bagi semua orang. Tradisi literasi menjadi penting sebab di dalamnya terdapat upaya-upaya untuk mengelola informasi sekaligus menjadi arena pertukaran pengetahuan di kalangan warga desa. Warga desa harus diperkenalkan dengan tradisi literasi, yakni baca-tulis serta kesediaan untuk membagikan pengetahuan.

Perpustakaan Desa

Saya membayangkan adanya satu perpustakaan desa sebagai jantung dari semua kegiatan komunitas. Perpustakaan desa yang saya maksudkan bukan sekadar bangunan yang berisikan rak-rak buku, juga menjadi pusat aktivitas semua warga desa. Perpustakaan menjadi community center (pusat komunitas), meeting point (tempat bertemu), juga menjadi tempat memulai dan menjalankan aktivitas.

Saya teringat pengalaman saat menyaksikan perpustakaan desa di Athens, Ohio, Amerika Serikat. Di situ, perpustakaan adalah gedung paling megah di desa. Selain ruang luas untuk buku-buku, pihak aparat desa cukup mendapat ruangan kecil untuk berkantor. Perpustakaan menjadi magnet warga sebab banyak kegiatan dilaksanakan di sana.

Saya sempat menyaksikan para ibu beserta bayi datang pada hari tertentu untuk mengikuti babies stories berupa pembacaan dongeng bagi ibu dan bayi-bayi. Para ibu berkumpul, berbagi makanan dan camilan, lalu mendengarkankan pembacaan dongeng. Para bayi juga saling berinteraksi dan bermain. Perpustakaan itu menyediakan banyak mainan untuk anak-anak.


Perpustakaan bukan sekadar ruang baca, melainkan ruang untuk belajar, berbagi, bermain, serta menjalankan banyak aktifitas. Di hari ketika saya berkunjung, tersedia arena bermain bagi bayi dan anak-anak, disediakan pula minuman serta makanan berupa pop corn yang gratis dan bisa diambil kapan saja, serta berbagai aktivitas lainnya.

Di tempat itu, saya menyaksikan aktivitas warga usia lanjut yang berkumpul bersama demi membaca puisi atau bercerita tentang pengalaman. Suasananya sangat menyenangkan sebab semua orang bergantian membaca puisi. Para warga usia lanjut bisa bertemu teman sebayanya, bisa saling berbagi informasi, hingga saling bernostalgia atau menceritakan tentang cucu-cucunya yang sedang bermain.

Saya melihat papan pengumuman. Di situ tertera demikian banyak kegatan di perpustakaan umum. Mulai dari latihan yoga, aktivitas merajut, latihan komputer, pembacaan dongeng, hingga melihat bintang di malam hari.

Kita bisa mengadaptasi berbagai konsep bagus itu untuk membangun perpustakaan di level desa. Saya membayangkan desa-desa mengalokasikan 10 persen dana desa untuk perpustakaan dengan konsep ini. Dana desa yang cukup besar itu bisa dipakai untuk mendatangkan banyak buku-buku bagus yang berkualitas. Desa-desa akan mengoleksi khasanah sastra dunia yang hebat-hebat, juga menjadi jendela untuk melihat desa-desa di tempat lain.

Dahulu, kampus-kampus di tanah air menjadi jantung pengetahuan. Tapi kini tidak lagi. Jika berkunjung ke kampus, maka bangunan paling megah adalah rektorat, yang notabene adalah ruang administrasi, yang menunjukkan orientasi kekuasaan di sana. Sungguh beda dengan kampus di luar negeri yang menjadikan perpustakaan sebagai bangunan paling megah sebab ada pertukaran ilmu di situ.

Saya membayangkan desa-desa kita akan menjadi kekuatan baru dalam dunia pengetahuan melalui perpustakaan yang bermutu. Perpustakaan menjadi wadah pertukaran pengetahuan. Pada hari tertentu bisa dibuat diskusi buku atau mendengarkan pembacaan dongeng-dongeng yang dahulu dituturkan setiap malam oleh para tetua kampung. Atau barangkali dibuat diskusi atau musyawarah bagaimana petani bisa meningkatkan hasil panen. Pengambilan keputusan strategis bisa pula dilakukan di perpustakaan desa, di tengah-tengah buku bagus dan berkualitas.

Tak kalah penting adalah membuat pelatihan menulis bagi warga desa. Kita bisa merangkainya dengan pelatihan membuat vidio dan fotografi. Tujuannya adalah warga desa mengenali potensi dan kekuatannya, kemudian bisa menyebar kekuatan itu ke desa lain, juga warganya agar tidak ikut arus urbanisasi ke kota-kota. Tujuannya mengenali semua sudut desa, dan mendisenimasi semua informasi penting itu ke banyak titik.

Tadinya saya berpikir bahwa menulis adalah sesuatu yang sulit dilakukan warga desa. Saya pernah ditantang untuk buat pelatihan menulis warga desa. Saya merancang materi yang memudahkan warga desa untuk menjadikan aktivitas menulis semudah aktivitas berbicara. Hasilnya lahir buku-buku bagus mengenai desa, yang saya yakin tidak semua orang kota bisa melakukannya. Ada bakat hebat yang tersimpan di desa-desa, yang memutuhkan ruang untuk diaktualisasikan.

Buku ibarat jendela pengetahuan yang memungkinkan warga desa untuk melihat keluar dari lingkaran desanya. Buku memungkinkan perjalanan untuk menelusuri banyak tempat, merangkum ide-ide dan gagasan, lalu menghadirkan refleksi dalam diri sesudah sejauh mana jejak yang ditorehkan di kanvas sejarah. Jika saja buku-buku bagus menjangkau desa, maka betapa banyaknya inspirasi dan pengetahuan warga desa.

Jika 10 persen dari dana desa itu digunakan untuk membangun perpustakaan desa, maka betapa banyaknya literasi dan pengetahuan yang akan dimiliki warga desa. Jika saja dana besar itu dipakai untuk membeli berbagai buku-buku bagus, maka betapa banyaknya perubahan yang bisa terjadi di tingkat desa. Warga desa kita bisa belajar pada desa-desa di Amerika Latin, atau desa-desa India demi mengatasi masalah yang mereka hadapi. Mungkin saja, mereka menemukan sekeping kenyataan bahwa manusia di manapun selalu bergelut dengan persoalan yang sama, dan hanya melalui pikiran kreatif, semua hal-hal berat bisa dipecahkan.

Andai saja, semua desa mengalokasikan 10 persen dana desa untuk membangun kegiatan literasi, maka desa-desa tak cuma tumbuh sebagai kekuatan ekonomi, tapi juga kekuatan peradaban. Desa menjadi mata air nilai, merawat semua pengetahuan, lalu mengembangkan kecakapan warganya di banyak aspek. Melalui literasi, desa merawat pengetahuannya, merekam semua makna dan menjadikannya persembahan bagi semua warganya.

Mungkin Anda mengatakan saya sedang bermimpi. Tapi saya rasa impian ini tidak muluk-muluk. Kita bisa melakukannya sepanjang ada niat baik dan keinginan kuat. Kita bisa memulainya dengan membangun ide melalui kata-kata. Bukankah, sebagaimana dikatakan penyair Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata?


Bogor, 5 September 2017





0 komentar:

Posting Komentar