KISAH tentang pendidikan untuk anak-anak
di pelosok tanah air ibarat mata air yang tak kunjung habis untuk dieksplor.
Setelah beberapa waktu lalu film Laskar Pelangi yang menampilkan kisah
anak-anak di Belitung hadir di layar kaca dan mencatatkan dirinya sebagai film
terlaris, kini film Jembatan Pensil yang mengisahkan anak-anak sekolah
di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, tayang di bioskop.
Film ini mengisahkan lima anak yang
belajar di pulau kecil dalam kondisi serba terbatas. Kelima anak itu adalah
Inal, Yanti, Nia, Aska, dan Ondeng. Di antara mereka, Inal memiliki
keterbatasan penglihatan sehingga membutuhkan bantuan temannya. Sedangkan Ondeng
adalah anak anak yang berkebutuhan khusus. Secara fisik, Ondeng adalah orang
dewasa, tapi secara mental dia masih kanak-kanak.
Kelimanya belajar di sekolah gratis yang
gurunya hanya seorang. Demi menjangkau sekolahnya, anak-anak itu setiap hari
berjalan di hutan, lalu meniti di jembatan yang sangat rapuh. Mereka harus
menghadapi risiko setiap saat bisa jatuh di jembatan itu dan terseret arus. Di
tengah kesulitan itu, kelimanya tetap punya mimpi dan obsesi untuk tetap
bersekolah.
Di sisi lain, ada pula cerita seorang
perempuan yang kembali dari kampung halaman demi menggantikan ayahnya sebagai
guru. Ada juga nelayan senior dan nelayan junior yang sama-sama melaut, serta
punya pertalian darah dengan anak berkebutuhan khusus. Juga beberapa figuran
yang meramaikan film yang berlatar di Pulau Muna ini.
Sebagai warga Sulawesi Tenggara, film ini
adalah nostalgia melihat kampung halaman sendiri. Saya senang melihat
gambar-gambar cantik tentang lanskap Pulau Muna yang memiliki pantai-pantai
berpasir putih, pulau-pulau yang sama indahnya dengan Raja Ampat, juga sekolah
kecil di pesisir laut. Film ini serupa jendela bagi masyarakat luar untuk
mengenali betapa banyaknya tempat-tempat indah di tanah air yang perlu
dikunjungi.
Tak sekadar menampilkan pantai dan pulau,
aspek budaya yang ditampilkan di sini adalah layang-layang kaghati, yang diyakini
sebagai layang-layang tertua di dunia. Kaghati pertama diketahui dari lukisan
yang ada di dinding Gua Sugi Patani, yang diperkirakan berasal dari masa 9.000
– 5.000 SM. Lukisan gua tentang layang-layang ini adalah rekaman data sejarah
paling tua tentang layang-layang.
Penanda budaya lain yang ditampilkan
adalah gua-gua masa pra-sejarah yang menampilkan lukisan manusia zaman purba.
Kesemuanya membentuk satu lanskap kebudayaan Muna sebagai warisan budaya yang
harus dilestarikan.
Dua Catatan
Sebagai orang yang tinggal tak jauh dari
Pulau Muna, punya banyak keluarga dan sahabat, serta amat sering berkunjung ke
pulau itu, saya merasakan ada beberapa hal yang cukup mengganggu dalam film
ini.
Pertama, saya melihat jalan ceritanya
hampir sama dengan Laskar Pelangi. Ada cerita tentang anak-anak, guru
yang berdedikasi, hingga perempuan yang memilih jadi guru di sekolah terpencil.
Yang membedakan hanyalah lokasi dan beberapa variasi cerita. Taruhlah, jika
lokasinya di Raja Ampat ataupun Kalimantan, kisahnya akan mengalir seperti
biasa.
Yang baru dari kisah Jembatan Pensil
adalah hadirnya sosok anak berkebutuhan khusus yang kemudian menjadi jantung
dari cerita ini. Anak itu paling peduli pada teman-temannya dan terobsesi untuk
membuat jembatan agar dilewati temannya. Sayangnya, beberapa gambar dibuat
tanpa perencanaan matang. Aneh saja melihat seorang anak nelayan berkebutuhan
khusus itu tewas karena sengaja ke laut lalu tenggelam di lautan yang teduh dan
tanpa riak. Sepengetahuan saya, para nelayan justru makin piawai saat
menghadapi arus dan gelombang.
Andaikan pembuat film ini sedikit
melakukan riset, pastilah akan menemukan fakta-fakta menarik di masyarakat.
Banyak kisah yang bisa dieksplor. Setiap anak, termasuk anak berkebutuhan
khusus, menjadi tanggungjawab komunitas. Masyarakat menerima dan memperlakukan
mereka sebagaimana anak lain, sesuatu yang berbeda dengan kenyataan di
kota-kota.
Skenario film ini terasa kurang greget.
Pengambilan gambar-gambar serupa sinetron. Lebih banyak zoom in. Peran
aktornya juga tidak maksimal. Rasanya aneh saat melihat ada seorang nelayan dan
juga seorang peternak dengan wajah semulus bintang sinetron, serta berbicara
dalam aksen Jakarta. Apakah wajah nelayan itu tak pernah dipanggang oleh terik
matahari dan asinnya air laut sampai-sampai terkesan seperti baru keluar dari
salon?
Jika film ini diniatkan untuk menghadirkan
menu yang baru, maka harusnya kisah dan skenario dibuat dengan matang, yang
bisa mengeksplorasi khasanah lokal dengan baik. Menyajikan sesuatu yang sudah
pernah dibuat terasa seperti menyodorkan menu yang sama pada orang-orang yang
sudah pernah menikmatinya.
Kedua, tak semua pemainnya bisa menampilkan
aksen dan cara berbicara yang khas Muna. Mungkin ini disebabkan oleh para
aktornya yang kebanyakan berasal dari Jakarta. Figur pemeran anak-anak pun
didatangkan dari Jakarta. Padahal, jika menggunakan pemeran warga lokal, pasti
nuansa lokalnya akan lebih kuat. Dalam film ini, semua anak-anak sekolah
berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal kesehariannya
belum tentu demikian. Aksen lokal adalah hal yang tak mungkin dihindarkan.
Bahasa dan aksen adalah penanda budaya
penting di setiap komunitas. Melalui bahasa dan aksen, kita bisa merasakan
detak jantung setiap kebudayaan. Kita mengalami keragaman budaya dan kekuatan
karakter masyarakat melalui ikhtiar mereka untuk mempertahankan bahasa dan
aksen. Belakangan ini, beberapa film bertema lokal di Makassar, di antaranya
adalah Uang Panai dan Silariang, sukses menjadi tontonan wajib karena kemampuan
untuk menampilkan kekhasan lokalitasnya, dan tidak sekadar mengikuti wacana
Jakarta.
Peran aktor dari Jakarta ini bisa
dipahami. Mungkin mereka dihadirkan agar film ini memiliki nilai jual yang
tinggi. Nama seperti Meriam Bellina masih punya magnit kuat di tanah air. Tapi
pemeran anak-anak seperti Didi Mulya, Azka Marzuki, Permata Jingga, Nayla D,
Angger Bayu, serta Vickram Priyono, harusnya digantikan dengan para pemain
lokal seperti La Ondeng, La Boge, La Utu, La Dambo, dan La Iping sehingga
memberi kesempatan bagi talenta lokal untuk tampil di panggung nasional.
Akan sangat baik jika aktor-aktor Jakarta
itu bersinergi dengan para aktor lokal yang juga hadir dalam porsi penting.
Kombinasi antara Cut Mini Theo dan anak-anak Belitung bisa menjadi pelajaran
baik tentang bagaimana mengombinasikan aktor luar dan aktor setempat sehingga
tampilan filmnya ciamik.
Satu-satunya pemain yang bisa menampilkan
aksen Muna secara natural adalah bapak juragan ternak. Pemainnya ini adalah
warga asli Muna. Makanya, aksen bicaranya sangat natural dan tidak dibuat-buat.
Beberapa teman saya asal Muna yang sama-sama menyaksikan film ini selalu
tertawa terbahak-bahak saat bapak itu berbicara. Penonton terhibur oleh
penampilan aktor ini.
Ke depannya, riset film-film bernuansa
lokal harus dimatangkan sehingga problem yang dihadirkan adalah problem yang
sehari-hari dirasakan warga sekitar. Riset juga harus dilakukan untuk
mengetahui cara bertutur, topik-topik perbincangan di masyarakat, serta apa
saja keunikan semua wilayah. Riset naskah penting untuk menghadirkan film
bermutu, yang tak hanya bisa menjadi ajang promosi untuk mengangkat potensi
daerah, melainkan bisa pula memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat tentang
satu daerah.
***
APAPUN itu, film Jembatan Pensil ini
sukses mengobati rasa penasaran untuk menyaksikan sudut-sudut indah Pulau Muna.
Film ini menjadi media promosi yang tepat sehingga Indonesia bisa mengenali
mutiara indah yang selama ini terpendam. Dengan publikasi yang intens, film ini
bisa menjadi ajang promosi Pulau Muna yang saat ini mulai disentuh pemerintah
daerahnya.
Scene paling saya sukai adalah lanskap danau air asin
Napabale yang diambil dari atas. Gambarnya terlihat sangat alami berupa laut
biru kehijauan, air tenang, serta tebing-tebig batu menjulang. Gambar itu
diambil dengan menggunakan drone. Lokasi menarik yang memorable adalah Pantai
Towea, Gua Liangkabori, dan permandian air tawar Sangia. Melihat scene menarik
ini, semerbak rindu pada Pulau Muna, yang digambarkan dalam syair:
"newatumo kalembohano reangku." Di situlah tumpah darahku.
Jika pemerintah jeli, maka lokasi syuting,
termasuk bangunan sekolah dasar di Pulau Towea yang sederhana itu, akan
dipertahankan agar kelak menjadi obyek wisata sebagaimana bangunan SD Gantong
di Belitung yang menjadi tempat pengambilan gambar film Laskar Pelangi. Suatu
saat, pengunjung Pantai Towea akan berpose di dekat bangunan sekolah dasar itu
sembari mengenang film Jembatan Pensil.
Di balik segala kelebihan dan
kekurangannya, film Jembatan Pensil menampilkan mutiara indah di Pulau Muna,
Sulawesi Tenggara. Tertarik ke sana? Yuk.
0 komentar:
Posting Komentar