BELAKANGAN ini saya rajin mengikuti
catatan harian dari beberapa akademisi yang diposting di blog pribadinya.
Membaca catatan mereka terasa berbeda dengan beberapa publikasi di ranah
akademik. Catatan mereka terasa lebih orisinil, lebih intim, lebih reflektif,
dan lebih menampilkan sisi terdalam mereka. Bahwa seorang intelektual
sekalipun, punya sisi lain yang tak sekadar berwajah akademik, tapi juga sisi
humoris, sisi ragu-ragu, ataupun sisi gamang saat berhadapan dengan realitas.
Bahwa seorang intelektual adalah manusia
biasa yang tak hanya berurusan dnegan langit-langit pengetahuan, tetapi juga
bumi manusia, yang penuh urusan tetek-bengek dan remeh-temeh. Nah, kita lihat
satu per satu beberapa blogger akademisi ini.
Salah satu akademisi yang selalu saya
ikuti postingannya adalah Tom Pepinsky. Ia adalah salah satu ilmuwan politik,
dengan spesialisasi kajian Asia Tenggara, yang mengajar di Cornell University
at Ithaca. Ia meminati kajian ekonomi politik, khususnya relasi antara pasar
dan negara di negara-negara berkembang. Blog pribadinya (klik DI SINI)
berisikan etalase pemikirannya. Di situ terpampang data diri, data publikasi,
serta beberapa makalah yang dibuatnya untuk kepentingan ilmiah. Dia seorang
intelektual yang cukup disegani di bidangnya.
Blog pribadinya berisikan catatan-catatan
serta renungan pribadinya tentang ekonomi politik. Berbeda dengan publikasinya
yang berisikan berbagai pemikiran yang sudah utuh, blognya berisi
lintasan-lintasan pemikiran. Barangkali, ia meniatkan lintasan pemikiran itu
sebagai amatan awal, yang selanjutnya akan dilanjutkan pada riset yang lebih
serius. Saya cukup suka dengan uraiannya tentang Asia Tenggara sebagai satu
fakta sosial. Saya juga terbantu atas peta yang ditampilkannya tentang
persebaran agama-agama besar dunia.
Nampaknya, beberapa akademisi asing selalu
memiliki blog yang menampilkan buku-buku serta catatan-catatan hariannya.
Dugaan saya, blog itu merupakan satu medium yang merekam dirinya secara utuh,
serta bisa menjadi panduan bagi orang lain untuk menelusuri karya-karya mereka.
Mungkin mereka berpikir bahwa pengetahuan harus didialogkan sehingga terus
menyempurna. Seorang akademisi yang tak membuka ruang diskusi bukanlah
akademisi tulen. Akademisi sejati akan bersifat sebagaimana ilmu pengetahuan
yang selalu terbuka dan meniscayakan dialog.
Barusan, saya berkunjung ke blog milik Jared Diamond, seorang akademisi yang meraih hadiah Pulitzer berkat bukunya
berjudul Guns, Germs, and Steel. Di blog pribadinya, ia menjelaskan pendekatan
geographic determinism yang menjadi ruh dari semua bukunya. Ia mendefinisikan
fenomena manusia, baik prilaku, ekonomi, dan politik, yang selalu dipengaruhi
oleh dua faktor yakni geografi dan non-geografi. Yang dimaksud geografi adalah
lingkungan, bentang alam, serta faktor hayati. Sedangkan non-geografi adalah
faktor manusia dan kebudayaan.
Saya juga berkunjung ke blog Tania Murray
Li, seorang etnograf hebat dari University of Toronto. Berkat blognya, saya
tahu kalau ia menerbitkan buku baru berjudul Land’s End; Capitalist Relation on an Indigenious Frontier. Setiap
berkunjung ke blognya, ada perasaan kagum serta malu dalam diri saya. Saya
kagum karena ia sangat produktif dan melahirkan demikian banyak buku-buku
bagus. Saya malu karena kebanyakan publikasinya mengenai masyarakat marginal di
Indonesia, sesuatu yang justru tak banyak ditulis para akademisi kita. Hey guys.... Where are you?
Namun tak perlu terlampau berkecil hati.
Ada beberapa akademisi di tanah air yang setia menulis blog. Di antara mereka,
saya menyukai beberapa nama, yakni I Made Andi Arsana, Rhenald Kasali, Yohannes
Surya, dan Faisal Basri. Mereka adalah akademisi yang sangat kondang, memiliki
capaian akademik yang tidak diragukan lagi, dan membuka diri pada banyak orang
melalui blognya. Malah mereka menantang orang lain untuk berbeda pandangan
dengan mereka.
I Made Andi Arsana adalah akademisi
Universitas Gadjah Mada, yang lama hidup di Australia. Spesialisasinya adalah teknik geologi. Ia mengikuti berbagai
konferensi internasional di banyak negara. Dengan cara itu, ia bisa keliling
dunia, lalu menulis buku mengenai bagaimana hidup di negeri luar. Blognya (bisa
diklik DI SINI) berisikan catatan harian yang isinya menarik. Saya
tersenyum-senyum saat membaca pengalamannya mengejar mahasiswa nakal yang
sengaja melintasi genangan air hingga dirinya basah kuyup. Melalui blog ini
saya menemukan sisi lain seorang akademisi, yang juga bergelut dengan hal-hal
sebagaimana warga biasa lain.
Namun blog yang paling saya senangi
belakangan ini adalah blog milik ekonom asal Universitas Indonesia (UI), Faisal
Basri. Saya menyukai perjalanan pemikirannya di blog pribadi (silakan klik DISINI). Setiap menemukan data baru akan segera dipostingnya. Saya suka melihat
bagaimana karakter intelektualitasnya mencuat saat meladeni mereka yang tak
sepaham dengannya. Blognya membuat saya banyak belajar hal baru. Barusan, syaa
membaca tulisannya tentang the forth industrial revolution. Ia menjelaskan
perubahan sosial yang dipicu teknologi, serta bagaimana negara seperti Amerika
Serikat dan Korea Selatan menyikapinya.
Di dunia maya, ekonom UI ini menjadi guru
yang sabar mengajari para netizen, serta tak henti mencerahkan semua yang
hendak belajar hal baru.
***
MENGAPA mereka menulis blog? Mengapa
mereka tak fokus menulis di media-media cetak yang udah lama mapan dan punya
nama besar? Pertanyaan ini harus ditanyakan kepada mereka. Saya hanya bisa
menduga-duga.
Pertama, menulis blog sama dengan
merayakan kebebasan. Jika menulis di media massa, maka kita harus menyesuaikan
gaya menulis, serta cara bertutur agar sesuai dengan visi-misi media, serta
sesuai keinginan para kru redaksi. Melalui blog, anda bebas untuk menulis
dengan gaya apapun. Anda bebas untuk memilih style menulis, serta membahas
berbagai topik. Beda halnya dengan media massa yang kerap menuntut anda untuk
spesialis pada topik tertentu.
Kedua, karakter pengetahuan selalu
menuntut keterbukaan dari berbagai gagasan lain. Pengetahuan harus terbuka
sehingga bisa didialogkan. Tanpa dialog, pengetahuan akan secara perlahan mati
dan layu sebelum berkembang. Melalui blog, mereka berdialog, menerima bantahan
keras, serta membiarkan publik untuk memberikan penilaian. Blog menampilkan
etalase diri serta menyajikan lintasan-lintasan pemikiran yang bisa
didiskusikan secara terbuka.
Ketiga, blog adalah terminal yang
menampung gagasan-gagasan mentah, yang selanjutnya akan menginspirasi lahirnya
banyak publikasi jurnal ilmiah. Di blog Tom Pepinsky, saya banyak temukan
penggalan tulisan, yang lalu dikembangkan menjadi makalah. Dengan cara itu,
pengetahuan terus tumbuh.
Keempat, menulis blog adalah bagian dari
tanggngjawab sosial untuk mencerahkan publik. Tugas akademisi bukanlah duduk manis
di kampus, dan sesekali mengajar. Bukan pula untuk menjadikan profesi itu
sebagai pijakan untuk mencari jabatan di pemerintahan. Bukan pula untuk
memperkaya diri melalui kegiatan riset. Tugas akademisi adalah mencerahkan
publik, memberikan cahaya pengetahuan, lalu menginspirasi perubahan sosial.
Sebagaimana kata Marx, tugas mereka “bukanlah
menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya.”
Dan blog dan media sosial hanyalah tangga-tangga kecil untuk merancang perubahan sosial.
Bogor, 21 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar