Riset Hebat di Balik Film Buatan Disney dan Pixar


adegan dalam film Zootopia

SETIAP kali menonton film yang dibuat Pixar dan Disney, selalu saja nurani saya basah. Keluar dari bioskop, saya merasa memetik banyak hikmah. Dalam berbagai film buatan Pixar, saya menemukan karakter yang sepintas nampak biasa, jauh dari kesan pahlawan, akan tetapi memiliki keyakinan serta mimpi yang kuat untuk mewujudkannya. Karakter itu yakin bahwa siapapun bisa menjadi apa yang diimpikan, lalu menjadikan keyakinan itu sebagai kaki-kaki yang menggerakkan.

Dalam film terbaru Zootopia, saya tak hanya belajar tentang bagaimana menemukan karakter. Tapi juga bagaimana keluar dari kerangkeng stereotype, keluar penilaian orang lain, lalu bekerja lebih cerdas dari siapapun untuk menggapai mimpi. Di film ini, karakter kuat itu ada pada sosok kelinci yang cute, lucu, tapi jangan pernah mengatai imut di hadapannya.

Saya sangat menikmati film ini. Meskipun ini kisah tentang dunia binatang, yang sebenarnya muncul adalah panggung kehidupan, di mana karakternya bisa diisi siapa saja. Dalam panggung kehidupan, kita seringkali membangun prasangka-prasangka, yang justru tak selalu mencerminkan kenyataan. Sering kita berpandangan bahwa untuk jadi sosok pahlawan, seseorang harus punya fisik yang kuat, perkasa, serta menyeramkan. Dalam kehidupan nyata, hal seperti itu tak selalu benar.

Di film Zootopia, seorang kelinci muda bernama Judy Hopps ingin menjadi polisi. Mulanya, ia mendapatkan cacian serta tertawaan karena penampilannya yang imut. Seiring waktu, dan berbagai tantangan, ia sukses membalik semua anggapan yang tak berdasar itu. Ia menjadi pahlawan yang menyelamatkan kota, lalu memgubah semua pandangan orang untuk lebih terbuka, dan tidak lagi menilai sesuatu dari tampilan luar.

Sejauh yang saya lihat, formula ini menjadi rahasia dari Pixar dan Disney untuk mengemas kisah-kisah fabel menjadi lebih bertenaga. Kekuatannya adalah bagaimana menemukan satu kisah, kemasan yang menarik, serta jalan cerita yang berliku-liku, akan tetapi mengarah pada satu ending yang melegakan. Kekuatan karakter tidak terletak pada fisik, melainkan pada pikiran yang jernih, semangat baja, lalu kerja cerdik demi menggapai impian.

Yang ditekankan adalah proses menuju hasil yang bahagia selalu tak mudah. Ada tantangan, hambatan, maupun dinamika, yang justru semakin menebalkan semangat. Dengan demikian, keberanian untuk menjalani proses yang tak mudah jauh lebih penting dari sekadar hasil. Hasil itu kita terima sebagai konsekuensi atau efek dari kerja cerdik tadi. Yang lebih penting adalah bagaimana menghadapi tantangan, lalu blajar menjadi bagian dari tantangan itu.

Di luar kisah film yang menginspirasi ini, saya menemukan banyak publikasi tentang riset serius yang dibuat untuk film ini. Ternyata, prosesnya menelan waktu cukup panjang. Tim Disney menurunkan tim untuk mengamati tingkah-polah para binatang, mempelajari gerak dan fisiologi, lalu menentukan seperti apa yang akan ditampilkan di film. Saya juga melihat ada upaya untukmengumpulkan data kultural, yakni berbagai stereotype dan anggapan manusia atas hewan. Misalnya gajah dianggap punya ingatan kuat, singa adalah pemimpin, rubah selalu licik, dan kelinci sendiri dianggap peragu serta hewan yang cute dan imut. Pesan yang saya tangkap adalah kenyataan lebih kompleks dari sekadar penilaian. Tak adil menilai sesuatu hanya dari generalisasi yang dilakukan secara berlebihan.

Kekuatan Riset

Bagi saya, riset yang dilakukan Pixar dan Disney ini menjadi sesuatu yang mahal, dan justru jarang dilakukan rumah produksi kita di tanah air. Kita sering menganggap riset itu tidak peting, riset hanya membuang-buang tenaga. Di level birokras dan pemerintahan, riset itu hanya dilakukan sekadar untuk memenuhi syarat dikeluarkannya kebijakan publik. Dalam praktiknya, riset itu hanya menjadi setumpuk dokumen yang malah tak dibaca, melainkan disimpan di laci meja.

Yang terjadi kemudian adalah riset dikerjakan dengan asal-asalan, sekadar untuk mencairkan anggaran, lalu semua pihak melupakannya. Tantangan bagi kita adalah bagaimana menjadikan riset sebagai nyawa dari banyak aktivitas, bagaimana menjadi riset sebagai upaya untuk menemukan hal baru, demi melahirkan sesuatu yag juga baru, demi menerjemahkan impian jangka panjang yang kita bangun.

Kita bisa menghasilkan film-film sekelas buatan Pixar dan Disney sepanjang ada satu lembaga riset yang kuat, memiliki dokumentasi yang lengkap atas kisah rakyat (folklor), legenda, hikayat, mitos, ataupun urban legend, yang setiap saat bisa dikemas menjadi kisah yang kuat. Sungguh disayangkan, sebagai bangsa besar yang beragam budaya, kita malah kehilangan kisah menarik untuk diolah dalam sinematografi. Kita harusnya malu dengan kualitas beberapa sinetron yang tengah tayang di televisi kita.

Saya teringat JK Rowling, pengarang kisah Harry Potter yang fenomenal itu. Dalam satu wawancara dengan Newsweek, ia mengatakan, “Saya beruntung karena lahir di Inggris, negeri yang punya banyak folklor, mitos, legenda, serta berbagai hikayat. Saya hanya mengolah semua bahan-bahan itu demi membuat kisah Harry Potter.”

Artinya, memiliki kekayaan kisah bukanlah satu-satunya alasan untuk menjadikan kita unggul dalam hal produksi budaya pop. Yang selanjutnya dibutuhkan adalah adanya lingkungan yang mendukung, pengorganisasian semua kekuatan dan potensi, payung regulasi dan insentif yang kuat, dukungan pemerintah, juga dukungan masyarakat luas bagi lahirnya karya-karya baru. Pihak sineas mesti membuka mata terhadap berbagai hal baru, lalu mengajak lembaga riset untuk duduk bersama demi mengembangkan kisah.

Jika semua hal bekerja sesuai dengan harapan, bukan tak mungkin kisah Zootopia akan muncul dari rumah produksi kita. Hey, bukankah kita punya berbagai kisah fabel, serta berbagai mahluk seperti jin, siluman, peri, setan, malaikat, ataupun dewa-dewa yang mestinya bisa dikemas menjadi kisah yang tak kalah hebat?


BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar