Cak Nur yang Selalu Abadi



Apakah yang diwariskan oleh seorang besar?

DI hadapan saya ada buku berjudul Banyak Jalan Menuju Tuhan, terbitan tahun 2013. Di bawahnya tertera tulisan bagian kedua. Buku ini memuat petikan gagasan, lintasan pemikiran, serta sederet kalimat bijak dari cendekiawan yang telah mangkat, Prof Dr Nurcholish Madjid. Jangan mengira isinya adalah buku utuh yang ditulis lelaki yang akrab disapa Cak Nur itu. Isinya adalah penggalan pemikiran yang rutin di-posting di twitter.

Di dunia nyata, Cak Nur telah lama meninggal dunia. Fisiknya telah lama raib dari pandangan mata. Tapi di dunia pemikiran, ia selalu ada. Ia masih wara-wiri di dunia maya dan memberikan pencerahan kepada orang-orang. Murid-muridnya menjaga asa intelektual Cak Nur melalui akun twitter @fileCaknur yang produktif membuat postingan mengenai berbagai isu, mulai dari filsafat, agama, moralitas, problem sosial budaya, hingga berbagai intisari ajaran.

Di dunia maya, Cak Nur akan selalu hidup. Melalui akunnya di twitter, dirinya tak pernah mati. Hampir setiap jam, ia datang dengan berbagai gagasan-gagasan pendek yang sungguh mencerahkan. Sebagai warga di jagad twitter, saya sungguh menyukai setiap postingan Cak Nur. Ia bisa menjelaskan satu konsep dengan bahasa sederhana, namun tetap tidak kehilangan kedalamannya.


Saya menempatkan postingan Cak Nur setara dengan postingan beberapa orang yang sukai pemikirannya. Beberapa di antaranya adalah Rumi (@Rumi_Quote), Paulo Coelho (@paulocoelho), Gede Prama (@gede_prama), Ajahn Brahm (@Ajahn_Brahm), dan Dalai Lama (@DalaiLama). Mereka bicara tentang hal-hal besar, yang disampaikan dalam hal sederhana. Postingan mereka bisa menjadi jeda atau barangkali oase di tengah kesibukan serta rutinitas yang lebih sering membosankan. Bagi saya sendiri, media sosial, seperti facebook dan twitter ibarat telaga untuk sejenak berekreasi di tengah rutinitas. Membaca satu kalimat Cak Nur ibarat membasuh pemikiran sejenak, lalu melihat ulang dunia dengan pandangan yang lebih jernih.

Tentu saja, ada beberapa kontroversi atas diri Cak Nur. Banyak yang tak setuju dengan ide-idenya. Tapi lucunya, mereka yang tak setuju itu tak menyusun satu publikasi yang utuh tentang pemikirannya. Kebanyakan hanya ngomong tak suka dalam satu kalimat atau satu komen di media sosial, tanpa menjelaskan gagasannya secara sistematis. Padahal, jika ketidaksetujuan itu disalurkan melalui kanal yang positif, betapa kayanya wacana dan pemahaman kita tentang agama.

Lagian, dianggap sebagai sosok kontroversial malah mengasyikkan. Sejarah mencatat, kontroversi selalu dilekatkan pada orang-orang besar. Bahkan para rasul pun berhadapan dnegan sikap sinis serta ketidakpercayaan dari banyak orang. Melalui dialog yang mencerahkan, kebekukan pemikiran seharusnya bisa dicairkan. Tapi tak semua orang mau melakukannya. Lebih banyak yang suka hidup dalam dunia yang penuh ketidaksukaan. Mereka yang besar adalah mereka yang tak pernah khawatir dengan perkataan orang. Mereka punya arah dan tujuan yang jelas. Bukankah kita tak terlahir untuk menyeragamkan semua opini tentang diri kita? Bukankah kita tak terlahir untuk membahagiakan semua orang?

Saya sangat menikmati petikan gagasan Cak Nur. Di mata saya, banyak gagasannya yang masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Postingannya yang banyak dan rutin itu laksana kepingan-kepingan yang berserakan, namun membentuk satu tautan utuh tentang Cak Nur. Pada masanya, ia pernah hadir di tengah-tengah umat dan menawarkan berbagai gagasan. Melalui gagasan itu, ia membentuk barisan pengikut yang setia untuk menyebarkan semua ide-idenya. Ia punya banyak murid, yang masih tekun mengkaji pemikirannya, mendiskusikan idenya, lalu menghasilkan banyak karya-karya tentang dirinya.

Sati di antara murid itu adalah Budhy Munawar Rachman, yang bertindak sebagai editor buku ini. Sewaktu kecil, saya membaca artikel Budhy di jurnal Ulumul Quran. Saya tahu dia seorang intelektual yang sangat mumpuni. Dunianya adalah dunia pemikiran Islam yang serupa padang rumput luas yang pernah ditelusuri para filosof. Jika Budhy mendedikasikan dirinya untuk menjadi editor serta setia mengawal gagasan Cak Nur, maka kita bisa mengambil kesimpulan kalau hubungannya dengan Cak Nur tak sekadar hubungan antara guru dan murid, tapi juga hubungan antara dua orang yang penuh gagasan, dan saling mewarnai.

Barangkali, inilah warisan berharga Cak Nur. Ia mencerahkan banyak orang, yang kemudian tergerak secara suka-rela untuk mengawal gagasan-gagasannya. Cak Nur meletakkan fundasi pemikiran keislaman yang inklusif di pikiran banyak orang, lalu menjadi dasar untuk menemukan betapa indahnya ajaran ini bagi kesemua orang. Mereka yang pemikirannya pernah disentuh Cak Nur untuk melihat keindahan-keindahan itu, yang kemudian menjadi satu gerakan sosial untuk tidak kaku melihat segala yang hendak dikakukan oleh sejarah.

Kontribusi dari akademisi, periset, dan pemikir selalu berkisar pada dua hal: (1) kontribusi pada pengayaan the body of knowledge atau tubuh pengetahuan, (2) kontribusi pada pengayaan tool of analysis atau alat-alat analisis. Namun, warisan berharga yang menentukan kebesaran seseorang adalah karya-karya yang akan membuatnya abadi, serta barisan orang-orang yang secara suka-rela merawat ajaran, menumbuhkan pemikiran yang baik, serta memiliki kesadaran untuk membentuk dunia yang indah, di mana semua pihak duduk setara demi saling memperkaya nurani kemanusiaan.

Pada titik ini, saya akan mengenang Cak Nur.



Bogor di tengah malam,
21 Februari 2016

0 komentar:

Posting Komentar