Sisi Lain Abraham Samad


Abraham Samad memegang badik di Makassar

HARI-hari belakangan, warga media sosial sibuk membahas Abraham Samad. Ada yang hendak menikamnya, namun dukungan atasnya juga berlipat-lipat. Mereka yang mendebat dan mendukung kepada Abraham sejatinya bermuara pada harapan tentang bangsa yang bebas dari korupsi. Namun tahukah orang-orang siapakah sesungguhnya Abraham?

***

SUATU hari di awal tahun 2004. Saya bergegas datang ke Warkop Phoenam di Makassar untuk menjadi moderator diskusi. Pembicaranya adalah guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Daniel Sparingga. Ia akan dipandu dengan dua intelektual Makassar yakni Husain Abdullah dan Abraham Samad.

Nah, dua yang terakhir ini tak asing dengan publik Makassar. Husain adalah wartawan RCTI yang juga berprofesi sebagai akademisi Universitas Hasanuddin. Sedangkan Abraham adalah pengacara dan aktivis yang hampir setiap hari bisa ditemukan di warung kopi itu. Abraham akrab dengan semua jurnalis Makassar.

Saat itu, saya berposisi sebagai asisten redaktur politik dari koran Makassar yang belum lama berdiri. Sebagai pengambil kebijakan untuk liputan politik, saya dekat dengan banyak politisi dan aktivis. Saya sering berada di tempat para aktivis selalu berkumpul dan bersenda-gurau. Tempat itu adalah warung kopi yang banyak bertebaran di kota Makassar.

Di mata saya, Abraham adalah aktivis yang suka berkumpul di warung kopi. Sungguh mudah mencarinya. Pada saat itu, salah satu topik paling hangat di Makassar adalah dugaan korupsi beberapa anggota DPRD Sulsel. Sebuah LSM bernama Anti-Corruption Committee (ACC) berdiri di shaf terdepan untuk menggugat korupsi itu. Pimpinannya adalah Abraham.

Lelaki itu menyediakan waktunya 24 jam untuk wawancara. Keseringan ngobrol di warung kopi membuat saya cukup dekat dengannya. Ada atau tidak ada isu, Abraham bisa dicari di situ. Abraham merelakan namanya dikutip di koran, meskipun tak ada wawancara sebelumnya. Saya melihat sisi lain dirinya. Ia suka tampil di media dan forum-forum diskusi.

Di masa itu, Makassar diramaikan dengan diskusi. Setiap minggu selalu saja ada diskusi. Demi meramaikan diskusi, saya bersama Abraham ikut dalam pertemuan yang diadakan oleh kawan Zainal Dalle dan Rusman Madjulekka. Kami merancang beberapa diskusi. Nah, Abraham menjadi salah satu pembicara yang rutin kami undang.

Saat itu, Abraham memang tokoh yang lahir dari iklim aktivisme di Kota Makassar. Kiprahnya nyaris tak pernah terdengar di Jakarta. Padahal, ia seorang penulis kolom yang produktif di koran tempat saya bekerja. Ia juga tampil di banyak diskusi. Ia menjadi sahabat jurnalis yang kerap membutuhkan analisis demi memahami satu kenyataan dengan lebih baik.

Sepintas penampilannya dingin, sorot matanya juga tajam. Awalnya saya tak mau mengakrabkan diri dengannya. Namun beberapa senior dan sahabat saya sering bersamanya, maka sayapun jadi ikut-ikutan akrab dengannya. Ia adalah sosok yang mudah tertawa, agak kontras dengan tampilannya yang sangar.

Di warung kopi itu, kami sering mendiskusikan situasi terkini di tingkat lokal. Waktu itu, Makassar menjadi satu kota yang ramai dengan diskusi. Pada saat wacana korupsi menguat, Abraham menjadi ikon aktivis LSM yang vokal menyuarakan isu ini. Ia juga sangat dekat dengan aktivis organisasi Islam di Makassar.

Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas ini hanya punya satu baliho di perempatan Lapangan Karebosi, dikarenakan tidak punya uang. Nasib belum berpihak padanya. Nasib itu pula yang membuatnya kian kondang sebagai aktivis.

Ia lalu kembali ke jalur yang selama ini ditekuninya yakni sebagai pengacara dan aktivis anti korupsi. Ia membela kasus besar. Di antaranya terdakwa bom Makassar, Kaharuddin dan Muhtar Dg Lau. Ia juga ikut membela terdakwa teroris Agus Dwikarna, yang ditangkap dan masih ditahan pemerintah Philipina tanpa pengadilan jelas. Di luar aktivitasnya, ia juga suka membaca wacana keislaman, sampai-sampai ia mengidolakan pemimpin Iran, Rafsanjani, hingga diabadikan sebagai nama anaknya.

Pernah pula saya bertengkar dengannya hanya gara-gara komentarnya yang agak pedas dan menyinggung media tempat saya bekerja. Saya melapor ke atasan saya, Zainal Dalle, yang saat itu juga menelepon Abraham sambil berteriak, “Abraham, apa ko bilang sama wartawanku?”

***

DI mata saya, Abraham adalah produk lokal yang kemudian menasional. Tak heran jika publik tanah air sempat bertanya-tanya siapakah gerangan sosok yang begitu masuk Jakarta langsung menjadi pimpinan tampuk tertinggi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai orang yang menyaksikan kiprahnya, saya mencatat satu celah Abraham. Beliau suka tampil di depan. Dalam banyak diskusi, ia selalu ingin menonjol. Ia juga suka tampil di media massa. Tipenya sangat beda dengan sosok kharismatis Baharuddin Lopa yang lebih memilih tenang, meskipun sedang meniti di dekat bara api. Di satu sisi, sikap suka tampil ke depan ini memang menjadi kekuatan bagi seorang figur. Tapi di sisi lain, ini bisa jadi bumerang. Sebagai garda depan pemberantasan korupsi, ia diharapkan bisa menarik jarak dari apapun, termasuk politisi dan media massa. Sekali masuk pusaran arena, ia bisa jadi sasaran tembak dari banyak orang, termasuk yang sedang membidiknya saat ini.

Saya juga melihat Abraham pandai melihat peluang. Anda bisa bayangkan, bermula dari aktivitas di lingkup lokal, tiba-tiba menjadi pemimpin dari lembaga yang diincar banyak orang. Ia melompat jauh dan melampaui banyak tahapan yang sejatinya dilalui mereka yang hendak meniti karier di ibukota. Boleh jadi, kekuatannya berpangkal pada kemampuannya dalam membangun lobi dan jejaring dengan partai politik. Mungkin ini bisa dianggap hal wajar sebab pemilihan komisioner KPK sendiri harus melalui fit and proper test di DPR RI.

Pada titik ini, lobi, koneksi, klik, dan jejaring sosial bisa bermain. Boleh jadi, pengakuan Anas Urbaningrum dan Gde Pasek Suardika benar tentang lobi yang dilakukan Abraham ke Anas saat hendak menjadi Ketua KPK.  Artinya, demi menggapai posisi tertinggi itu, Abraham bisa saja memaksimalkan semua jejaring politik untuk menaikkan dirinya. Mungkin saja ia menjalin relasi dengan banyak pihak lalu membangun beberapa deal politik demi posisi puncak yang hendak dikejarnya. Entah.

***

HARI-hari belakangan ini, nama Abraham sering disebut-sebut. Saya tiba-tiba teringat liputan media ketika Abraham kembali ke Makassar setelah terpilih jadi Ketua KPK. Di liputan itu, ada gambar Abraham yang sedang memegang sebilah badik dan diacungkan ke atas.

Saya masih ingat kata-katanya. Ia berkata, “Saya akan tuntaskan kasus Century, cek pelawat, kasus Gayus, dan kasus Wisma Atlet. Kalau keempat kasus itu tidak selesai, maka saya akan pulang kampung dengan membawa rasa malu.”

Setahun lagi periodenya di KPK akan berakhir. Kepada yang bertemu dengannya, saya ingin menitip pertanyaan, apakah janji yang diucapkannya beberapa tahun lalu itu masih relevan ataukah tidak?


Bogor, 23 Januari 2015

3 komentar:

dian mengatakan...

pak, coba nanti bikin artikel 'sisi lain jokowi'.. kalo abraham saja disebut menonjol, apalagi jokowi yg nyata2 media darling, hehehe.. tdk usah tunggu 5 tahun pak, untuk melihat janji jokowi itu masih relevan atau tidak :))

Achmad Yahya mengatakan...

bisa jadi krn janjinya ingin dia penuhi itu, shg dia sangat keras dan tegas tanpa mengenal kata kompromi, sayangnya terlalu banyak publikasi shg jadi sasaran tembak. Mestinya stlh sdh jadi ketua kpk, dia belajar strategi dan taktik, shg dia bisa menyelesaikan janji2nya dgn cantik.

Achmad Yahya mengatakan...

bisa jadi krn janjinya ingin dia penuhi itu, shg dia sangat keras dan tegas tanpa mengenal kata kompromi, sayangnya terlalu banyak publikasi shg jadi sasaran tembak. Mestinya stlh sdh jadi ketua kpk, dia belajar strategi dan taktik, shg dia bisa menyelesaikan janji2nya dgn cantik.

Posting Komentar