Novel Filsafat, Rasa Remaja


SELALU saja ada kekaguman pada novelis Jostein Gaarder. Setiap novel yang dihasilkannya selalu membahas tema-tema besar dan filosofis, yang dikemas dalam kalimat-kalimat sederhana. Setelah sebelumnya membaca Dunia Sophie, kini saya hanyut saat mengikuti petualangan remaja bernama Anna dalam kisah Dunia Anna.

Jika Dunia Sophie membahas tentang petualangan ke rimba raya filsafat, dengan berbagai karakter dan barisan pemikir besar, kisah Dunia Anna hadir dengan tema-tema tentang lingkungan dan semesta. Keduanya punya benang merah yang sama, yakni alam pikiran remaja yang di dalamnya terdapat begitu banyak rasa ingin tahu.


Benang merah yang lain adalah surat. Dalam novel terbarunya, terdapat kisah tentang remaja bernama Nova, yang hidup pada tahun 2082, dan menerima surat dari nenek buyutnya Anna dari tahun 2013. Surat itu tak berisi rasa kangen, melainkan mendiskusikan tema-tema seperti lingkungan, alam semesta, serta berbagai fauna yang hidup pada tahun 2013. Sayangnya, beberapa tanaman dan hewan yang dibahas itu malah punah pada tahun 2082. Di sini terletak ironi dan kegetiran.

Novel ini membuat saya sesaat merasa kekosongan. Saya langsung melihat alam semesta sebagai ruang hdup yang juga punya posisi yang sama dengan manusia. Kita hanya mengontrak sebuah ruang hidup, yang kelak akan kita kembalikan kepada anak cucu kita. Ketka ruang hidup itu hancur, maka kelak kita akan menerima gugatan dari generasi mendatang.

Ada bagian yang membuat saya terdiam. Yakni ketika Nova bertemu nenek buyutnya Anna, lalu menuntut agar beberapa hewan punah dibangkitkan kembali. Anna jelas tak punya kuasa untuk itu. Anna hanya bisa diam sebab menyadari bahwa pangkal kerusakan itu terletak pada keangkuhan manusia hari ini yang memosisikan alam sebagai obyek yang akan ditaklukan. Manusia mengidap kesombongan sebagai pengendali alam semesta, lalu mengabaikan hak hidup bagi hewan dan tumbuhan.

Jika dilihat dari sisi filosofis, kisah yang dituturkan Gaarder ini telah banyak ditemukan. Para pemerhati lingkungan telah lama menyampaikan kekhawatiran atas bumi yang didiami hari ini. Malah, mereka telah membuat banyak aksi dan gerakan yang mengingatkan banyak orang tentang perubahan iklim serta betapa pentingnya menjagai bumi untuk diwariskan ke masa depan.

Hanya saja, Gaarder sukses menyampaikan gagasan itu dalam kalimat-kalimat sederhana, yang bisa dipahami para remaja, sekaligus mengetuk kesadaran mereka untuk mencintai alam lebih dari apapun. Menyelamatkan generasi muda hari ini amatlah penting untuk merekayasa masa depan, membentuk zaman yang lebih baik dan lebih arif secara ekologis.

Saya membayangkan bahwa kelak saya pun akan melakukan dialog serupa dengan anak saya Ara yang masih berusia tiga tahun. Barangkali, kelak dia akan bertanya hal-hal yang mulai susah saya terangkan. Ketika kami menonton beberapa film animasi, ia bertanya tentang beberapa hewan yang tidak saya ketahui namanya.

Kelak, anak saya akan mengutip kalimat dari novel Jostein Gaarder yang telak menohok saya. Barangkali ia akan mengutip Anna yang mengatakan,Kita telah menjauhkan diri kita dari alam tempat kita hidup dan mengabaikan seluruh eksistensi. Sudah sebegitu jauh hingga kebanyakan orang lebih bisa menyebutkan nama-nama pemain sepak bola dan bintang film ketimbang menyebutkan jenis-jenis burung.” (hlm 173).

Hmm. Boleh jadi, Ara pun akan mengutip kalimat itu saat ‘menghardik’ ketidaktahuan saya atas alam semesta.


0 komentar:

Posting Komentar