buku yang dibuat komunitas wisata di Wakatobi |
SIAPA bilang warga desa tak bisa
melahirkan sebuah buku bagus? Selama dua bulan, saya berkeliling empat daerah
dan memberikan pelatihan menulis bagi warga desa dan para sahabat di daerah.
Niat awalnya adalah untuk mengenalkan mereka pada dunia menulis dan dunia
teknologi informasi. Hasilnya sungguh mencengangkan dan melebihi apa yang saya
bayangkan. Mereka membuat saya terbelalak ketika berhasil membuat buku. It’s amazing!
***
BEBERAPA bulan silam, saya menerima
undangan dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk mengisi
materi tentang penulisan blog bagi para aktivis di Kupang. Saat itu, saya
sangat tertantang untuk membumikan keterampilan menulis secara praktis bagi
para sahabat di daerah.
Ketika pelatihan dilaksanakan, saya
menemukan antusiasme yang sangat tinggi dari teman-teman di daerah tentang
dunia menulis. Mereka mengejutkan saya dengan artikel serta tulisan yang sangat
bagus, seolah ditulis oleh penulis profesional. Saya berkesimpulan bahwa siapapun
akan sangat lancar ketika diminta menulis tentang kegiatannya sehari-hari.
Memang, saat itu saya memosisikan diri
sebagai pendengar yang baik. Saya tidak memperkenalkan berbagai teori tentang
kepenulisan yang dipelajari di kampus-kampus. Saya tak mau mengutip kisah para
penulis hebat. Setiap orang punya jalan
sendiri untuk menemukan spirit kepenulisannya.
Teori-teori menulis hanya cocok diajarkan
di kampus-kampus atau di masyarakat kota. Untuk masyarakat biasa, yang harus
dilakukan adalah bagaimana membiarkan mereka bebas bercerita secara lepas.
Tugas kita adalah menyediakan kanal-kanal agar semua kisah itu ditampung dalam
aksara. Sebagai trainer, saya memilih
untuk menjadi pendengar yang baik ketika masyarakat bercerita tentang dunia
yang setiap hari mereka hadapi. Hasilnya mengejutkan. Kawan-kawan kita di
daerah punya sedemikian banyak kisah-kisah hebat untuk dituliskan.
Sayangnya, saat itu Bakti belum berencana
untuk menerbitkan hasil pelatihan menulis. Padahal, saat itu saya menemukan
banyak tulisan menarik tentang dunia yang dihadapi para aktivis dan jaringan
masyarakat di Kupang. Kisah-kisah rakyat biasa itu justru menjadi luar biasa
sebab di dalamnya terdapat orisinalitas, kejujuran atas apa yang dihadapi,
serta cara-cara khas masyarakat memahami persoalan, lalu menemukan cara unik
untuk menghadapinya.
Dua bulan silam, kantor tempat saya bekerja
di Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki program kerjasama dengan satu
kementerian, serta pemerintah daerah. Program itu terkait promosi pariwisata di
beberapa daerah, yakni Raja Ampat (Papua Barat), Sikka (NTT), Wakatobi
(Sultra), lalu Seruyan (Kalteng). Salah satu item kegiatan adalah melahirkan
beberapa produk promosi. Kembali, saya merasa tertantang untuk memberikan
keterampilan menulis bagi warga desa demi mengenalkan daerahnya ke dunia luar.
Hal pertama yang dilakukan adalah
mengidentifikasi komunitas menulis dan fotografi yang akan ikut dalam pelatihan
di daerah. Untuk menulis, tolok ukurnya sederhana. Setiap orang pasti punya
kisah menarik. Yang penting adalah kemauan untuk membagikan kisah itu pada
orang lain. Itu sudah cukup. Saya juga baru tahu kalau komunitas fotografi ada
di semua daerah. Tak semua memakai kamera DSLR. Banyak di antara mereka yang
justru memakai smartphone. Itu sudah cukup. Yang penting adalah ada niat dan
keinginan untuk mengabadikan momen.
suasana pelatihan di Sikka, NTT |
Selanjutnya adalah bagaimana merancang
pelatihan. Kami coba membuat satu pelatihan yang sangat fleksibel. Materinya
bisa berkembang sesuai kebutuhan peserta. Lokasi pelatihan bisa berpindah-pindah.
Kami bisa menggelarnya di tepi sawah-sawah hijau saat petani pulang dari sawah,
di satu dangau kecil yang di bawahnya terdapat sungai jernih, atau barangkali
di atas satu tebing yang dari situ terdapat pemandangan fantastis.
Pelatihan menulis didesain sebagai satu
ruang belajar bersama di mana setiap orang bebas bercerita tentang dunianya.
Saya percaya bahwa setiap orang punya kisah unik untuk dikisahkan. Setiap orang
punya sumur dalam, tempat di mana berbagai imajinasi dan kisah-kisah menarik dipendam
sekian lama.
Tugas dari pelatihan menulis adalah
menyediakan tali dan timba sehingga setiap orang bisa mengambil inspirasi dari
sumur dalam pengalamannya lalu disajikan sebagai inspirasi bagi banyak pihak.
Tugas dari pelatihan menulis adalah menemukan rasa percaya diri serta mengasah
keberanian untuk bercerita secara bebas, melalui medium tulisan, agar
kisah-kisah yang terpendam itu bisa menggugah banyak pihak.
Saya teringat sebuah buku berjudul Transformed by Writing karangan Robert
Hammond. Buku ini menjelaskan tentang kekuatan sebuah cerita yang bisa mengubah
cara pandang atas kehidupan, serta mengubah dunia. Buku ini membuat saya yakin
bahwa kisah-kisah yang ditulis para aktivis dan warga desa menyimpan kekuatan
dahsyat untuk mengubah sesuatu. Melalui kisah, orang-orang bisa memahami
dinamika, mengetahui apa yang dirasakan satu komunitas, serta menggalang
solidaritas yang kukuh.
Bagi para aktivis dan peneliti sosial,
menulis bisa menjadi senjata hebat. Ketimbang penurunkan tim peneliti yang bertugas
untuk memahami satu masyarakat, jauh lebih baik memberikan keterampilan bagi
warga biasa untuk menuliskan pengalamannya. Semua tulisan itu akan menjadi
informasi berharga, memperkaya analisis, serta memperdalam pengetahuan tentang
sesuatu, dari sisi pandang masyarakatnya.
buku yang dibuat komunitas wisata di Raja Ampat, Papua Barat |
Di Raja Ampat, Papua Barat, seorang
perempuan bercerita tentang rekannya yang berprofesi sebagai pelukis dengan
medium pasir kuning, yang ternyata adalah limbah dari PT Freeport. Tulisannya
membuat saya tersentuh karena menghadirkan ironi bahwa warga Papua berkreasi
dengan limbah pasir, sementara emas justru dinikmati segelintir orang.
Di Sikka, Nusa Tenggara Barat, saya
mendapati tulisan warga tentang tempat-tempat wisata eksotik yang justru
terabaikan. Sungguh menyedihkan kala menyaksikan begitu gandrungnya warga kita
yang hendak berwisata ke negara-negara tetangga, sementara di kampung halaman
kita ada banyak tempat wisata hebat yang justru tak pernah dipijak. Saya
merasakan betapa bangsa ini punya potensi hebat yang justru diabaikan oleh anak
bangsanya. Melalui kisah sahbaat di Sikka itu, saya merasakan betapa indah dan
menakjubkannya tanah air kita, yang justru tak banyak kita kenali.
***
BEBERAPA waktu setelah pelatihan, beberapa
email berdatangan. Yang membuat saya terharu ketika ada email dari Wakatobi,
Sikka, Raja Ampat, dan Seruyan yang menampilkan rencana buku yang akan
diterbitkan. Mereka merancang desain sampul yang menarik, menyiapkan foo dan
artikel-artikel. Saya terkesima karena para sahabat di daerah begitu antusias
untuk memublikasikan pengalaman dan kisah-kisah mereka sendiri.
Para sahabat di daerah itu telah menampar
keangkuhan akademik saya yang hingga kini hanya bisa menghasilkan sejumput
publikasi. Pada akhirnya, menulis adalah soal keberanian untuk mengabarkan
sesuatu. Menulis tak terkait gelar akademis, atau aktivitas ilmiah. Menulis
adalah cara berekspresi, menyampaikan gagasan, menjerat rasa ingin tahu, lalu
mengalirkan kecintaan pada tanah air. Menulis adalah cara lain untuk
mengabarkan tentang satu keping kenyataan, lalu mengubah cara pandang atas
kenyataan itu. Menulis adalah cara lain untuk mengibarkan revolusi.
Tak percaya? Saatnya belajar ke desa-desa.
0 komentar:
Posting Komentar