ilustrasi (foto; ilalangmbojo.blogspot.com) |
DEMI menyelesaikan urusan terakhir terkait
administrasi kepindahan, saya akhirnya pulang kampung. Ketika berkunjung ke
kantor pemerintah daerah, kantor tempat saya beraktivitas selama beberapa
tahun, saya merasa terharu. Saya mengenang saat-saat ketika menjalani hari-hari
di kantor ini. Saya mengingat ada banyak orang baik yang bekerja tulus di balik
meja birokrasi.
Kita sering terlampau sederhana dalam
melihat sesuatu. Seringkali, kita hanya melihat sisi luar, lalu memberi label
bahwa sesuatu itu tidak bagus. Padahal, mereka yang menjalaninya pasti akan
punya penilaian berbeda. Pada akhirnya, kita akan mengamini bahwa perbedaan
pendapat selalu bermuara dari begitu cepatnya memberikan penilaian, tanpa
proses belajar dan memperkaya pengetahuan.
Ketika pertama kali memutuskan berkarier
di dunia birokrasi, saya terjebak pandangan bahwa seorang PNS selalu identik
dengan kemalasan, kelambanan, dan ketidakbecusan dalam bekerja. Dahulu, saya
masih menjadi mahasiswa, amat sering saya ikut demonstrasi dan mengeam
pemerintah. Dahulu, saya menuduh bahwa para pegawai adalah mereka yang suka
kongkalikong demi memperkaya diri sendiri.
Saat mulai bekerja, saya masih memelihara
anggapan itu. Saya butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan keadaan yang
memaksa kita untuk disiplin dalam menjalani hari. Perlahan, saya menyesuaikan
diri. Saya mulai menikmati apel pagi, apel siang, perjalanan dinas, hingga
beberapa kali menyusun naskah pidato.
Saya melakukan semua pekerjaan dengan
penuh semangat. Beberapa kali saya mendengar rumor tentang politik. Bahwa si
pejabat A suka meminta uang. Pejabat B suka menyuruh-nyuruh, atau pejabat C
sering menerima gratifkasi. Saya semakin yakin bahwa anggapan saya sebelumnya
benar.
Kenyatan itu memang ada, namun tak selamanya
demikian. Saya bertemu banyak orang yang tulus membantu, tanpa menghaapkan
apapun. Saya teringat seorang ibu di Bagian Hukum dan Organisasi yang membantu
saya mengurus berkas, menyempurnakan semua isian tentang kepindahan. Ketika
hendak saya beri tip, dia justru menolak. Ia hanya berkata, “Suatu saat ada
anak atau keluarga saya yang barangkali sedang susah dan kamu sedang senang.
Saat itu, saya ingin kamu membantunya.”
Saya juga ingat seorang bapak yang
menjabat sebagai kepala bagian. Jelas-jelas, semua urusan lewat dia. Tapi ia
sangat marah ketika diajak bicara uang, sebagaimana para pejabat lain. Ia
melakukan semua pekerjaan dengan ikhlas, tanpa mengharap apapun. Bapak, yang
sering diam-dam berzikir itu, meniatkan semua kerja-kerjanya sebagai bagian
dari kewajiban. Ia berharap ada banyak silaurahmi dan saling mendoakan.
Selama bekerja di situ, ada begitu banyak
pegawai biasa, para staf rendahan sebagaimana saya, yang justru saling menjaga
ikatan sulaturahmi. Kami bersahabat dan sering mengolok-olok. Semua hal jadi
topik obrolan yang tak pernah habis. Kami sering duduk di kantin belakang
kantor sembari membahas kelucuan-kelucuan. Mulai dari tingkah pejabat eselon
satu, hingga tingkah seorang kepala bidang yang hobi menjilat atasan.
Tak disangka, obrolan-obrolan itu justru
menjadi kenangan indah, yang membantu saya untuk memahami kompleksitas dunia
birokrasi. Di tengah disiplin dan ritme kerja atasan, saya menemukan banyak hal
menarik dan lucu, yang tak akan habis dibahas dalam semalam.
Terhadap semua kawan seperjuangan itu,
saya menitip banyak harapan. Ada banyak orang baik di dunia ini yang ketika
bersatu akan bisa mengubah keadaan. Hanya saja, ada banyak orang baik yang
justru menjadi bagian dari struktur organisasi. Mereka kehilangan kedirian, lalu
bertindak dan berperilaku sebagaimana arus besar dalam organisasi itu.
Akan tetapi, selalu saja ada anomali
(penyimpangan) dalam anggapan kita.Ternyata, setelah menjalani dunia birokrasi,
saya bertemu banyak orang yang secara ikhlas siap membantu saya untuk melakukan
banyak hal. Mereka tak berharap apapun, selain dari komitmen untuk saling
menjaga persahabatan.
Merekalah yang membuat saya terharu dan
betah berada di komunitas ini. Mereka yang justru amat memahami saya itu adalah
para pahlawan yang kepadanya saya jaminkan persahabatan abadi. Terimakasih
karena telah menjadi bagian dari kekerabatan di lingkup birokrasi. Terimakasih
karena telah saling belajar bersama.
Kini, saya siap memasuki tantangan baru.
Saya akan kembali beradaptasi dengan ritme pekerjaan baru. Namun hati, pikiran,
dan nalar saya senantiasa siap menghadapi perubahan apapun, sepanjang ada
keyakinan bahwa sesuatu seberat apapun bisa diselesaikan, sepanjang ada
kerjasama dan saling membantu.
Terimakasih brothers and sisters.
0 komentar:
Posting Komentar