Tulisan ini dibuat setahun silam. Sungguh amat
disayangkan jika hanya tersimpan rapi di laptop, tanpa sempat di-posting di
blog ini.
ilustrasi |
HARI itu,
pertengahan Juni 2012, aksi penembakan terjadi di bumi Papua. Media massa tak
banyak mengisahkan apa yang terjadi. Namun di dunia maya, terdapat banyak
sahutan yang mengabarkan bahwa rentetan penembakan sedang terjadi di bumi
Cenderawasih. Tak jelas benar apa yang sesungguhnya terjadi. Penembakan itu
diduga telah dilakukan oleh aparat keamanan pada warga sipil di tanah Papua.
Konflik ini
memicu reaksi. Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif sangat prihatin
dengan meningkatnya eskalasi konflik di Papua. Tak henti-henti ia meminta agar
pemerintah pusat segera melakukan rekonsiliasi atau dialog dengan masyarakat
Papua. Tanpa dialog, mustahil ada kesejajaran pandang. Tanpa dialog, mustahil
ada kesepahaman antara pemerintah dan masyarakat.
Papua ibarat
bara yang terus bergejolak. Rentetan konflik yang terus terjadi di sana seakan
memberikan isyarat bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem dan cara-cara kita memahami republik ini. Dengan menguatnya
eskalasi konflik yang bermuara pada tuntutan Papua untuk lepas dari Indonesia
menjadi catatan penting bahwa sesungguhnya terdapat aspek ketidakadilan serta
jurang yang cukup lebar antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua.
Papua ibarat
cermin yang menjelaskan wajah negeri ini. Selama puluhan tahun merdeka, negeri
tak kunjung mencapai apa yang disebut Bung Karno sebagai ‘jembatan emas’ untuk
mencapai cita-cita kebangsaan. Kian hari, kita selalu dihadapkan pada kenyataan
tentang konflik sosial, konflik etnik, ataupun konflik antar kelompok yang sering
memosisikan masyarakat sebagai korban. Melihat dinamika sosial yang terus
meninggi itu, terbersit sebuah keraguan, jika keberadaan negeri ini hanya
melahirkan para algojo yang kemudian menembak rakyatnya sendiri, mengapa kita
harus mempertahankan negeri ini hingga titik darah penghabisan.
Saya menangkap
kesan bahwa di masa kini, kita seakan kehilangan arah dan visi yang jelas ke
mana negeri ini hendak menuju. Kompleksitas persoalan ekonomi dan sosial di
Papua sekaan memberikan pelajaran bahwa banyak pihak yang tidak memahami dengan
baik arah dan visi jelas tentang negeri ini yang digali dari bumi Indonesia.
Saat negara ini
didirikan, para founding father telah
meletakkan Pancasila sebagai pandangan dunia diposisikan sebagai sukma yang
melandasi gerak kebangsaan. Pancasila diposisikan sebagai sungai yang
mengalirkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta
keadilan, yang disebut Bung Karno sebagai nilai-nilai dasar yang digali dari
bumi keindonesiaan. Saat menjelaskan Pancasila, Bung Karno menyebutnya sebagai ‘wetanschauung.’, Dalam khasanah filsafat
Jerman, ‘weltanschauung’ adalah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Lewat istilah
ini, ia hendak menegaskan Pancasila sebagai dasar filsafat, yang kemudian
menjadi fondasi, perekat, dan sekaligus payung.
Pada masa itu,
konsepsi ini menjadi jalan tengah dari silang perdebatan tentang dasar negara
dari berbagai kelompok yang berbeda-beda. Konsepsi Pancasila juga merangkum
cita-cita serta gagasan ke mana negeri ini hendak bergerak. Jika hari ini kita
menyaksikan gejolak di Papua, maka kita bisa bertanya apakah konsep Pancasila
yang dulu digagas masih relevan dengan situasi bangsa hari ini? Ataukah konsep
ini kemudian menjelma sebagai sesuatu yang mengeras dan kaku sehingga Pancasila
menjadi pengabsah kekarnya kekuasaan yang menginjak warganya sendiri?
Langit Pancasila
Selama ini, kita
hanya melihat Pancasila berdasarkan tafsiran negara. Persoalan yang kemudian
mencuat adalah negara sering memberikan tafsir yang semena-mena atas Pancasila.
Dalam pandangan Goenawan Mohamad, salah besar pemerintahan Orde Baru dalam
melihat Pancasila adalah: (1) membuat Pancasila menjadi keramat, (2) membuat
Pancasila sebagai bagian dari bahasa, simbol eksklusif si penguasa, (3)
mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.
Goenawan benar.
Hampir setiap tahun kita selalu mendengar istilah kesaktian Pancasila. Hampir
setiap tahun kita merayakan hari lahirnya Pancasila. Ini seolah mengesankan
bahwa Pancasila adalah sesuatu yang digdaya, keramat, dan serupa pendekar yang
sanggup mengalahkan semua ideologi. Pemerintah lalu memakai frase ‘atas nama
Pancasila’ demi menghancurkan gerakan sosial serta daya kritis masyarakat yang
hendak mempertanyakan Pancasila. Setiap gugatan akan dipandang subversif
terhadap negara.
Di masa Orde
Baru, kita sering mendengar bagaimana negara menggempur masyarakat sipil yang
memiliki tafsiran berbeda tentang Pancasila. Negara memakai kekerasan dan
menembak warganya lalu menyebut upaya itu sebagai upaya untuk menjaga kemurnian
Pancasila. Puncak dari ‘pembantaian’ atas nama Pancasila itu terjadi pada kurun
periode 1965 – 1966. Cribb (1990) memperkirakan jumlah korban yang dibantai
hingga lebih 500.000 orang, sementara yang ditahan dan kemudian terkena
dampaknya bisa mencapai jutaan orang.
Di era 1970 –
1980-an, kekerasan juga dilakukan negara pada berbagai kelompok organisasi
masyarakat. Sungguh disayangkan jika kemudian negara lagi-lagi mengatasnamakan
Pancasila sebagai pengabsah segala tindakan tersebut. Bahkan ketika di beberapa
daerah seperti Aceh dan Papua, muncul gerakan yang ingin melepaskan diri dari
Indonesia, lagi-lagi negara memberikan label sebagai anti-Pancasila.
Saya berpendapat
bahwa Pancasila diperlakukan hanya sebagai kedok untuk menutupi upaya
pemberangusan gerakan-gerakan sosial tersebut. Pancasila hanya menjadi selubung
atas upaya untuk menjinakkan masyarakat sekaligus upaya untuk melumpuhkan daya
kritis. Yang hendak dicapai bukannya tata keadilan dan tertib keamanan, namun upaya
melanggengkan kekuasaan.
Kita
memperlakukan Pancasila sebagai sesuatu yang berdiam di langit-langit. Kita
melihatnya sebagai teks-teks mantra yang tak bisa diganggu gugat, dan di saat
bersamaan, kita selalu saja melakukan hal-hal yang sejatinya telah mengotori
nilai-nilai tersebut. Jika hari ini kita berbicara korupsi di lembaga
pemerintahan, maka kita bisa meneropongnya dari sisi keterbelahan sikap atas
Pancasila. Di satu sisi menerimanya sebagai landasan negara, di sisi lain kita
tidak menjelmakannya sebagai sistem nilai yang bisa membatasi prilaku negatif
seorang penyelenggara negara.
Bumi Pancasila
Hari ini,
Pancasila ibarat kisah Sinta dalam Ramayana. Meski tak tepat benar, dalam kisah
itu disebutkan bahwa setelah Sinta kembali direbut Rama melalui perang yang
melelahkan atas Rahwana, Sinta kemudian dianggap tidak suci sehingga mesti
menjalani ritual berjalan di atas api. Pancasila telah dicemari oleh prilaku
dan tindakan elite negara ini. Ia seolah ternoda.
Hari ini, kita
membutuhkan Pancasila sebagai rumusan-rumusan ringkas yang merangkum konsepsi titik
temu dari berbagai perbedaan. Kita membutuhkannya sebagai perekat dan buhul
dunia sosial kita, sekaligus sebagai visi untuk melihat masa depan. Kita
seyogyanya berhenti memperlakukannya sebagai sesuatu yang sakral, kemudian
melihatnya sebagai sederhana sebagai hal-hal yang menjaga garis gerak bangsa
ini. Namun, bagaimanakah upaya untuk melakukan de-sakralisasi tersebut?
Dalam pidatonya
saat hari lahir Pancasila, Bung Karno memakai istilah ‘menggali.’ Istilah ini
meniscayakan sebuah upaya untuk terus-menus melakukan interpretasi atas Pancasila.
Kata menggali identik dengan kata manusia sebagai subyek aktif, serta kata
bumi. Sukarno bermaksud menjelaskan bahwa Pancasila adalah pandangan yang ditemukan
dalam bumi Indonesia melalui proses menggali, proses berpeluh keringat, proses
untuk menemukannya dalam kandungan bangsa Indonesia.
Kosa kata
menggali bisa pula ditafsirkan sebagai proses yang belum selesai. Ini berarti
pada setiap zaman, manusia Indonesia mesti melakukan upaya revitalisasi makna
Pancasila sehingga bisa adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Memang,
Sukarno sendiri selalu berpandangan bahwa taka da satupun teori revolusi yang
linier dan ‘ready to use’. Semua
pandangan, semua teori revolusi, atau smeua pandangan dunia, mesti ditemukan
dari Rahim suatu masyarakat, kemudian jalan takdir sejarahnya juga kelak akan
ditentukan masyarakat tersebut.
Artinya,
Pancasila tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang sudah selesai. Pancasila mesti
dilihat sebagai cita-cita yang merupakan konsep-konsep kita tentang keakanan.
Dengan memperlakukannya sebagai cita-cita, maka terbuka ruang yang cukup luas
untuk melakukan reinterpretasi atas kandungan makna dan hikmah-hikmah yang
merefleksikan keindonesiaan.
Berbeda halnya dengan
konsep langit pancasila, konsep bumi memberikan ruang yang cukup luas bagi
proses interpretasi. Manusia Indonesia ditempatkan sebagai subyek yang
berpikir, yang memiliki gagasan untuk menterjemahkan Pancasila sesuai dengan relevasi
dan kondisi zamannya. Sebagai cita-cita, Pancasila mesti diikuti dengan
penyusunan strategi kebudayaan untuk menggapainya. Segala sektor kehidupan,
seperti pendidikan, kesehatan, dan dunia sosial kita mesti digerakkan untuk
menggapai cita-cita tersebut.
Hari ini, kita
berhadapan dengan konflik sosial di Papua. Idealnya, konflik itu bisa diatasi
apabila kita bisa mengelola Pancasila sebagai sukma atas segala aspek
penyelenggaraan negara. Dalam kasus Papua, kita bisa berkata bahwa pada saat
itu, Pancasila tidak bekerja sebagai landasan nilai. Pancasila hanya menjadi
retorika belaka demi menutupi praktik kekerasan yang terjadi di sana.
Saya pikir, hal
terbaik yang mesti dilakukan adalah melakukan refleksi dan revitalisasi atas
makna-maknanya yang universal sehingga bisa menjadi jembatan untuk penyelesaian
konflik. Tentu saja, prinsip dasar dalam Pancasila seperti keniscayaan dialog,
sikap saling tenggang rasa, serta bingkai kesatuan mesti ditempatkan sebagai common ground untuk memulai proses
dialogis dan penyelesaian masalah. Namun, kesemua gagasan ini akan tiba pada
pertanyaan, seberapa siapkah kita untuk tidak melihat Pancasila di
langit-langit pengetahuan teoritik dan retorik, namun terletak di bumi kita
sendiri?
Athens, 29 Juni
2012
0 komentar:
Posting Komentar