Tafsir Baru Keterpencilan


SELAMA dua minggu, saya tidak pernah mengisi blog ini. Selama dua minggu, saya juga tidak pernah berselancar di dunia maya. Saya sedang berada di Kendari untuk suatu urusan. Saya terjebak pada satu rutinitas yang wajib saya ikuti. Saya tak mau membahas tentang rutinitas tersebut. Mungkin kelak saya mesti menulis khusus tentang pesan dan pendapat saya atas rutinitas tersebut.

Saya teringat antropolog asal India Arjun Appadurai. Dalam satu tulisannya di jurnal ilmiah yang diterbitkan Sage Publication, ia mengatakan bahwa di era globalisasi seperti ini, defenisi keterpencilan bukan lagi dilihat dari satuan geografis. Definisi lama tentang keterpencilan sudah waktunya dipertanyakan. Katanya, keterpencilan didefinisikan dari sejauh mana akses kita pada satu jaringan global bernama internet. Meskipun seseorang tinggal di satu hutan yang jauh dan terpencil sekalipun, namun ketika ia masih bisa mengakses internet, maka ia tidak sedang terpencil.

Bahkan ketika seseorang berada di tengah padang es sekalipun, ia tetap tidak terisolasi sepanjang masih bisa menekan tuts di keyboard dan menyapa sesamanya dalam jaringan global. Keterpencilan adalah situasi ketika kamu tak bisa mengakses apapun, tak bisa menyapa siapapun di jaringan global. Di zaman ini, ketika anda tak punya akun fesbuk, maka sama saja dengan kehilangan penanda bahwa diri anda eksis di dunia ini.

Selama dua minggu, saya mengalami keterpencilan itu. Memang, saya masih punya akun fesbuk dan blog, namun apa artinya itu semua ketika saya sama sekali tak bisa berkunjung, tak bisa mengetahui apa wacana serta isu-isu yang marak di dunia maya ini. Saya mengalami keterpencilan dari pergaulan global, terpencil dari sebuah situs di mana saya bisa bertemu dan berbincang dengan banyak orang, meskipun secara fisik saya tidak banyak bersua dengan mereka. Terus terang, saya kehilangan rutinitas di dunia maya.

Tapi setidaknya saya menemukan sisi-sisi lain yang membuat senyum tetap merekah. Di tengah keterpencilan itu, saya mulai bisa beradaptasi. Saya mulai menemukan mata dan tangan untuk membantu saya menelusuri labirin-labirin keterpencilan ini. Saya jadi ingat kata Norman K Denzin dalam buku Handbook of Qualitative Research. Ketika memasuki sebuah tempat baru, kita akan tersesat dan tertatih-tatih saat berjalan. Namun seiring waktu, kita mulai mengenali kenyataan, mengenali jalan-jalan yang mesti dilalui di rimba raya kenyataan.

Perlahan, saya mulai lepas dari belitan belenggu teknologi. Saya mulai bisa beradaptasi dan menemukan hal-hal lain yang lebih asyik ketimbang berjam-jam memelototi laptop atau berselancar di dunia internet. Mungkin kelak saya akan berkisah banyak tentang pengalaman selama dua minggu ini. Tunggulah dalam beberapa hari ini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar