Dua Hari Bersama Prof Song

SELAMA dua hari ini saya selalu bertemu dengan perempuan Korea bernama Song Seung Won. Dia adalah profesor yang bekerja di Insitute for East Asian Studies di Sogang University, Korea Selatan. Perempuan yang spesialisasinya di bidang sejarah ini sedang melakukan riset selama sebulan di kota Bau-bau. ia hendak mengetahui sejauh mana penerimaan orang Cia-Cia di Buton terhadap huruf hanggul.

Mulanya saya menghadiri presentasi yang dihadiri Prof Song di aula pemerintah daerah. Bersama dua rekannya dari Korea, mereka menjelaskan kerjasama dalam bidang pertanian. Suasananya serasa sedang menyaksikan drama Korea di televisi. Ciri yang saya perhatikan pada cara bertutur orang Korea adalah kalimat-kalimatnya terdengar manja di telinga kita orang Indonesia. Suaranya pelan dan seolah sedang merajuk. Padahal, boleh jadi mereka sedang terlibat pembicaraan serius.

Keesokan harinya, tiba-tiba saya kembali bertemu dengan Prof Song. Ia mewawancarai saya banyak hal tentang sejarah Buton dan sejauh mana peran orang Cia-Cia di situ. Saya menjawab hal-hal yang saya ketahui. Selanjutnya, kami bertemu lagi. Kali ini wawancaranya lebih panjang, dan membahas isu-isu yang cukup sensitive, mulai dari ideology, filsafat, hingga kebudayaan bangsa Korea yang berbeda dengan Cina dan Jepang. Selama wawancara, saya terus memperhatikan cara yang ditempuh Prof Song. Ia rajin mengumpulkan catatan, dokumen, serta bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitiannya.

….

Maafkan karena tulisan ini sampai di sini saja. Saya ingin bercerita banyak tentang pertemuan tersebut, diskusi tentang bagaimana dua kebudayaan bisa bertaut hingga menjalin kerjasama. Sayangnya, saya keburu lelah dan hendak tidur. Besok pagi saya mesti ke Kendari. Insyallah, saya akan banyak membahasnya pada tulisan lain. Thanks.(*)

1 komentar:

dewi mengatakan...

saya juga suka mencermati nada suara orang Korea ini Bang, memang beda dengan bahasa Tiongkok yang cenderung pendek dan bernada akhir tinggi ya..

Posting Komentar