Ojek Sepeda Dihimpit Belantara Kota


PERTAMA kalinya aku naik ojek sepeda. Pengalaman itu cukup mengasyikkan. Ternyata, ada begitu banyak hal-hal yang sepele bagi sebagian orang, namun cukup mengasyikkan ketika dilakukan. Kesimpulan itu kudapat setelah hari ini aku menumpang ojek sepeda dan menempuh jarak sekitar dua kilometer, dari Stasiun Kota menuju Mal Mangga Dua di Jakarta Utara.

Sungguh!! Awalnya aku tidak terlalu tertarik. Entah kenapa, kemarin saat aku turun dari kereta di Stasiun Kota, tiba-tiba aku tertarik melihat barisan sepeda tua yang berjajar rapi di dekat stasiun. Hey!!! Jangan bayangkan sepeda itu berbentuk sepeda balap modern. Jangan pula bayangkan seperti sepeda listrik yang sering digunakan Jubir Presiden, Andi Mallarangeng, di sekitar istana. Semua bayangan itu keliru. Bentuk sepeda yang kunaiki itu agak kuno, seperti sepeda yang biasa digunakan pada tahun 1960-an. Sepeda itu berwarna hitam, memiliki lampu depan dan bisa dinyalakan dengan baterai atau dinamo. Waktu aku kecil di Pulau Buton, sepeda itu sangat populer dan sering kusaksikan. Kalau tak salah, warga kampung menyebutnya sepeda kumbang. Ada juga yang menamakannya sepeda unta, sebab bentuknya agak tinggi dan ketika dinaiki, kerap terdengar suara berderit-derit serta bergoyang. Kata orang kampungku, serasa mengendarai unta. Entah, apa mereka udah pernah naik unta.

Kini, sepeda kumbang itu menjadi barang langka yang jarang disaksikan di jalan-jalan utama kota. Sepeda itu seakan-akan kehabisan napas ketika bersaing dengan angkutan yang lebih modern seperti sepeda motor. Di kota Yogyakarta, sepeda justru menjadi alat transportasi utama dari pedesaan menuju kawasan urban atau perkotaan. Petani kerap membawa poduk hasil pertaniannya dengan sepeda untuk dijual ke kota. Namun di Kota Jakarta, sepeda hanya terlihat di jalan-jalan tertentu. Memang, belakangan ini ada kampanye di kalangan profesional untuk ke kantor dengan mengendarai sepeda. Tetapi tetap saja sepeda menjadi barang langka di tengah deru angkutan bermotor. Apalagi seepda kumbang.

Kelangkaan sepeda itu, menyebabkan pengalamanku naik ojek sepeda itu jadi hal yang sungguh mengasyikkan. Jika diperhatikan, sepeda yang dijadikan ojek ini sudah mengalami modifikasi berupa penambahan jok tipis seperti layaknya sepeda motor. Jadinya, penumpang sepeda akan merasa lebih nyaman. Tukang ojeknya sangat sopan ketika diajak bernegosiasi harga. Ia tidak menyebut angka tinggi-tinggi, melainkan menyebut harga standar dari Stasiun Kota ke Mangga Dua. ”Yah, cukup tiga ribu saja deh,“ katanya dengan sedikit memelas. Yup... murah banget!!! Aku langsung setuju dan menaiki bagian belakang.

Rata-rata tukang ojeknya berusia lanjut dan mengenakan kopiah. Meski sempat pula kulihat beberapa orang anak muda, namun jumlahnya tidak begitu banyak. Pantas saja jika gaya komunikasinya untuk mengajak calon penumpang terkesan adem-ayem dan tidak seheboh pengemudi angkutan umum atau ojek motor. Mereka hanya duduk saja dengan sepeda dan menunggu penumpang. Saat itu, aku berpikir kalau si tukang ojek itu agak minder dengan kenderaan lain. ”Bukannya minder Nak. Tapi, kita punya pelanggan tersendiri. Mereka yang rumahnya di gang-gang sono tuh,“ kata Bang Jali, tukang ojek sepeda yang kunaiki sembari menunjuk lorong-lorong di dekat stasiun.

Usut punya usut, ternyata Bang Jali sudah lebih dua puluh tahun menjalankan profesinya. Menurutnya, jumlah pengendara ojek sepeda kian menyusut sepanjang tahun sebab tidak banyak anak muda yang cukup percaya diri untuk menjalankan profesi itu. Pantas saja jika rata-rata tukang ojek sepeda sudah berusia lanjut. Namun, pria asli Betawi, yang kalau ngomong punya logat kayak Mandra ini, mengaku bangga dengan profesinya. ”Jelek-jelek gini, anak gue udah gue sekolahin berkat narik ojek sepeda,” katanya dengan penuh kebanggaan. Iya deh......

Mengacu pada beberapa referensi, penemu sepeda tidaklah satu orang, namun disempurnakan oleh banyak orang. Jika harus merunut inspirasi lahirnya sejarah sepeda, maka bisa dilacak sejak seniman kondang Leonardo Da Vinci menggambar sketsa lukisan sepeda dengan roda dua, di mana satu rodanya agak besar, sedang yang lainnya lebih kecil. Beberapa tokoh lain yang terkenal sebagai penemu sepeda adalah Comte de Sivrac yang mengendarai sepeda buatannya –yang diberi nama Velocifere-- di Paris tahun 1791. Kemudian Karl Friedrich Christian Ludwig di Jerman tahun 1817. Sayangnya, bentuk sepeda mereka sangatlah sederhana. Konsep sepeda yang lebih modern justru dikembangkan pada tahun 1872 oleh James Starley di Inggris. Starley menciptakan pedal sehingga kecepatan sepedanya bisa ditambah. Ia menamakan sepedanya Ariel Highwheeler.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sepeda menjadi kenderaan paling populer di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Saat itu, sepeda menjadi kenderaan mewah yang identik dengan kaum bangsawan atau aristokrat baru. Meskipun saat itu industri sepeda motor mulai bangkit, namun popularitas sepeda justru tetap menjulang. Apalagi di tahun 1970-an, AS mengalami krisis energi, sehingga sepeda tetap menjadi primadona sebab tidak menelan biaya besar untuk energi.

Sejarah sepeda di Indonesia, bermula sejak masa kolonialisme Belanda. Dibukanya begitu banyak perkebunan serta kota-kota modern, membuat pemerintah kolonial Belanda memikirkan satu solusi untuk mengatasi masalah transportasi. Saat itu, sepeda menjadi andalan untuk menaklukan jalan-jalan kota besar seperti Batavia ataupun Paris Van Java (Bandung). Pada zaman Belanda, sepeda menjadi transportasi yang digratiskan di Kota Bogor dan Depok. Maksudnya, pemerintah menyiapkan banyak sepeda di beberapa tempat khusus di jalan raya. Siapapun warga yang hendak menggunakan sepeda, tinggal memakainya saja dan nanti diletakkan lagi pada tempat parkir di tempat khusus di jalan raya. Saat itu, tak ada pencuri sepeda, sebab sepeda adalah barang langka, sehingga jika dicuri, pasti akan ketahuan. Sepeda juga menjadi kenderaan para mahasiswa bumiputera di beberapa sekolah Belanda. Beberapa tokoh seperti Soekarno, Sjahrir hingga Hatta juga menggunakan sepeda di jalan-jalan utama Jakarta.

Bahkan, Soekarno kerap dikisahkan suka mengendarai sepeda dengan kencang, sebagaimana kencangnya sepeda yang dikayuh tukang ojek yang kunaiki ini. Kalau persoalan ini, aku angkat topi. Meski tua, namun persoalan kegesitan, pantas diacungi jempol. Bayangkan saja, Bang Jali ini begitu lihai menjalankan sepeda di tengah-tengah lalu lintas kenderaan bermotor. Di saat hendak menikung, ia menoleh dulu ke belakang --sebab tak punya spion—kemudian berbelok secara tajam. Ciittt!!!! Awas!!! Ada suara keras. Aku tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Bunyi ban mobil berdecit nyaring, tepat di belakang sepeda yang kukendarai. Pengemudi mobil itu menggerutu saat memandang ke arah kami. Ia nyaris menabrak kami. Namun, Bang Jali hanya nyengir saja. Hey.... wajahku pucat pasi.

Depok, 4 Oktober 2007

Pukul 17.31 (jelang buka puasa)


0 komentar:

Posting Komentar